Skip to main content

Tuk Tuk Dua-Dua

Hampir genap dua bulan. Setiap hari kepala saya dipenuhi pertanyaan, hari ini saya mau mempersiapkan apa, esok saya bisa apa, hei tahun depan masih bisa aktif nulis tidak ya. Aneh sih memang, tapi itulah saya. Saya yang penuh kegelisahan, bahkan hingga ke perkara-perkara kecil.

Tidak perlu ditanya berapa buku yang sudah saya habiskan demi mengatasi kegelisahan saya ini, atau usaha saya untuk sekadar mengalihkan fokus sesaat. Ya Allah, kapan ini akan benar-benar berakhir? Batin saya.

Rasanya baru kemarin ketika saya masih menjadi Asih ‘Si Bengal’. Ya, saya ini salah seorang anak yang ‘hiperaktif’ bahkan sejak di sekolah dasar. Teman bermain saya banyak, begitupun teman bertengkar. Jangankan anak perempuan, anak lelakipun pernah bergulat dengan saya. Hanya karena saya adalah anak yang paling berprestasi, atau karena diseganinya orangtua saya, guru-guru tidak ada yang berani membentak atau sekadar memberikan surat peringatan kepada saya di sekolah.

Di setiap seremoni kenaikan kelas, selalu nama saya yang disebut di urutan pertama. Atau di setiap pertunjukan pentas seni, kerap saya menjadi salah satu lakon di sana; kadang membacakan puisi, bermain drama, atau pula bernyanyi.

Sayangnya, hampir di setiap seremoni itu pula, kedua orangtua saya tidak hadir. “Bapakmu mana?” adalah pertanyaan yang biasa dilontarkan wali kelas, yang selalu saya jawab dengan tundukan kepala dan diam untuk waktu yang lama.


Sejak usia saya masih sangat belia, saya terbiasa hidup mandiri. Bapak saya sibuk berbisnis ke luar kota, Ummi sibuk dengan kehidupan sosialita. Saya terbiasa mengerjakan tugas rumah sendiri, bertemankan botol minum pink berstiker jerapah dan boneka barbie berambut pirang, dua hadiah istimewa pemberian Bapak ketika pulang dari Jakarta di tahun-tahun sebelumnya.

Saya pernah protes keras kepada kedua orangtua saya. Setiap kali Bapak menyuruh ke warung, atau ketika Ummi menyuruh saya mencuci piring, saya pasang muka angkuh dan membanting barang di sekitar. Tentu saja ini adalah tindakan yang tidak bisa diampuni di keluarga saya. Alih-alih dimaklumi, tangan mereka segera saja menempel di betis atau paha saya, meninggalkan bekas kemerahan yang kemudian berubah biru keesokan harinya. Sekali dua kali saya menangis dan meraung-raung kesakitan, tetapi esoknya tetap saja kelakuan saya masih sama bahkan semakin menjadi-jadi.

Saya dan adik-adik saya kurang akur. Bagaimana tidak, watak kami yang begitu berbeda membuat saya malas bermain bersama adik-adik saya. Saya sibuk mendominasi, sedangkan adik-adik saya hobi sekali menangis dan mengadu kepada kedua orangtua kami. Waktu itu saya merasa, begitu repotnya mempunyai banyak adik laki-laki yang mentalnya lembek, hal yang akhirnya saya sesali sekarang.

Dullah, adik pertama saya, adalah orang yang paling bisa menyulut kemarahan saya. Dibanding Sahid yang penurut, Dullah lebih sering melawan. Setiap kali saya menyuruhnya melakukan sesuatu, setiap kali itu pula ia tidak mau, bahkan balas meledek saya. Alhasil, saya kerap bertengkar dengannya. Tidak tanggung-tanggung, aksi lempar batu pun pernah kami lakukan. Tentu saja saya yang selalu menang, dan juga saya yang selalu mendapat hukuman, sebab orangtua saya pada akhirnya tahu setelah Dullah melaporkan perbuatan saya itu.

Di antara teman-teman perempuan saya, saya terkenal paling tomboy. Saya menyukai hampir semua permainan anak lelaki; bermain kelereng, balap sepeda, bergulat, bermain layang di sawah, bahkan memanjat pohon.

Pernah suatu ketika, saya ingin sekali minum air kelapa. Menyadari bahwa di sekitar rumah saya tidak ada satupun buah kelapa muda, saya memintanya kepada Ummi Haji yang rumahnya terletak di sawah di belakang rumah. Ummi yang sedang sibuk mengajar TPA, meminta saya menunggu sebentar, kemudian meminta salah seorang pemuda memetiknya di salah satu pohon dekat mushala miliknya.

Namun, setibanya beliau di pohon kelapa yang dimaksud, ternyata saya sudah berada di puncak pohon tersebut, memanjat dan memetiknya sendiri. Melihat tingkah saya, beliau kalap dan menyuruh saya turun segera. “Asih, kamu itu perempuan! Turun!” katanya sambil mengacungkan telunjuk, juga rotan untuk sabetan. Saya panik melihat rotan tersebut, maka tanpa babibu kaki saya melesat dan tubuh saya meluncur ke bawah. Sejak saat itu, saya tidak lagi diizinkan memanjat di rumah Ummi Haji, bahkan untuk pohon petai yang tingginya hanya beberapa meter.

Hal yang paling tidak bisa saya lupa, adalah bagaimana kedua orangtua mendidik saya, terutama Bapak. Meskipun orang-orang mengenal Bapak sebagai pribadi yang humoris, bahkan anak-anak kecil begitu menyukai leluconnya, itu tidak berlaku untuk saya.

Bapak membesarkan saya dengan perlakuan yang keras. Sekali dua kali saya maklum, mungkin karena saya begitu nakal di sekolah maupun di rumah. Namun setelah beberapa waktu, saya mulai sadar bahwa kerasnya Bapak sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu.

Ketika ada pertengkaran antara saya dengan teman-teman saya, maka saya akan disalahkan pertama, bahkan diperintahkan meminta maaf pertama. Tidak peduli siapa yang salah, Bapak keras menyuruh saya segera meminta maaf.

Pernah suatu hari, ketika saya berjalan menuju warung di dekat rumah untuk membeli beberapa barang. Seorang anak mencegat saya, sebab sehari sebelumnya kami bertengkar hebat hanya karena persoalan kelereng (kalo saya tidak salah ingat). Anak itu mengatai, bahkan melempari kepala saya dengan batu hingga berdarah. Saya yang dominan tidak mau kalah. Saya jambak rambutnya kencang-kencang. Ia menangis keras kemudian mengadu pada orangtuanya.

Bapak, yang mendengar pertengkaran itu, sontak saja memarahi dan menyuruh saya bergegas untuk minta maaf, bahkan ketika darah jelas masih basah mengucur deras di kepala saya. Selain menangis pedih, sungguh, saya tidak bisa melawan. Ya, ketika itu, saya benar-benar benci terhadap perlakuan Bapak.

Jika anak-anak lain bebas berkeliaran di kampung kami, saya tidak. Bapak kerap menyuruh saya tinggal di dalam rumah, fokus belajar dan mengajari adik-adik saya. Ruang tengah adalah tempat favorit bagi saya, di mana saya bisa fokus membaca majalah anak-anak dan bernyanyi keras-keras sambil menonton Bapak mengurusi beberapa pekerja.

Beberapa kali Dullah kalem dengan hanya duduk di samping dan menemani saya membaca, tetapi sering pula ia mengganggu dengan merebut mainan atau majalah di tangan saya. “Dullah, lepasin! Nanti sobek,” teriak saya. Dullah yang waktu itu belum paham membaca, justru meraih beberapa lembaran majalah kemudian merobeknya kecil-kecil dan membuangnya berserakan di lantai, membuat saya naik pitam. “Bapaaaaak!” teriak saya sambil menangis.

Ah ya, sejak kecil, saya senang sekali membaca. Bagi saya, membaca sudah menjadi bentuk peralihan emosi yang sangat efektif. Ketika saya begitu marah atau sedih, apalagi ketika sangat bosan, saya putuskan mengambil beberapa buku dan membalik-balik beberapa lembarannya untuk dibaca. Orangtua saya paham, ketika saya membaca itu, maka fokus saya tidak bisa diganggu.

Dahulu di kampung bahkan di sekolah, tidak ada buku bacaan yang memadai untuk anak-anak. Jangankan novel, komik pun belum ada. Satu-satunya buku yang layak dibaca ketika itu adalah buku teks bahasa Indonesia di sekolah, sedangkan majalah anak-anak sudah menjadi semacam buku berkelas yang tidak semua orang bisa menjumpainya, termasuk saya. Hanya karena beberapa guru begitu baik dan mau membawakannya dari kota untuk saya, dan saya dengan sangat senang hati menerimanya, maka saya mendapatkannya sebagai hadiah atas prestasi-prestasi saya di sekolah.

Selain memanjat dan membaca, aktivitas yang paling sering saya lakukan semasa kecil adalah bermain sepeda. Partner yang paling setia menemani saya balapan sepeda waktu itu adalah para sepupu laki-laki dan Ade, anak perempuan, tetangga saya. Selepas shubuh, ketika para Ibu baru saja disibukkan dengan aktivitas membersihkan rumah dan memasak di dapur, kami sudah meluncur di jalanan, balapan sepeda hingga ke kampung tetangga.

Untuk aktivitas ‘berkeliaran’ satu ini, Bapak saya tidak banyak melarang. Sebelumnya memang saya pernah mengalami kecelakaan fatal, membekaskan luka jahitan di dahi dan lebam biru di punggung kaki. Namun begitu melihat saya bersemangat dan sehat kembali, Bapak mengizinkan saya untuk kembali bersepeda, asalkan saya ditemani sepupu-sepupu saya, dan saya pun setuju.

Pernah suatu sore, terjadi satu momen yang cukup memalukan. Saya yang begitu senangnya menatap layang-layang di sawah, masih dengan kaki sibuk mengayuh sepeda, mengajak Ade menelusuri pesawahan di dekat TPA Ummi Eni untuk melihat pertandingan layang-layang yang sedang ramainya diikuti anak-anak lelaki di kampung kami. Meskipun saya dan Ade satu tingkat sekolah, usia Ade lebih tua dan badannya tumbuh lebih jangkung dibanding saya. Ia begitu gesit dan lincah menelusuri pesawahan, dan saya mengikutinya di belakang.

Tiba-tiba, di satu ruas jalan petakan sawah, kayuhan sepeda saya terhenti. Jalannya begitu sempit. Padahal tinggal beberapa meter lagi menuju lapangan pertandingan, tapi saya terlalu takut (Ah, nampaknya sejak kecil potensi penakut saya memang sudah tumbuh -_- ). Alhasil, seperti terpincang-pincang, saya kayuh sepeda pelan sedang sebelah kaki saya sibuk menapak ruas jalan.

Hingga di satu titik, tidak sengaja, saya menginjak rumput yang ternyata di bawahnya tidak terisi tanah padat. Tidak terelakkan lagi, tubuh saya terperosok ke empang yang sangat dalam, airnya hitam, juga dihuni oleh lele-lele besar dan agresif. Sialnya, alih-alih mendapat pertolongan segera, Ade justru sibuk menertawakan saya, disusul oleh beberapa orang yang menonton kami sejak tadi.

Ingin sekali saya menangis dan mengaduh. Sudah tubuh saya terperosok, sepeda yang saya tumpangi menindih pula. Namun, karena gengsi yang terlalu tinggi, saya justru sok-sokan tertawa, seolah kejadian tadi lucu sekali. “Asih, emang enggak sakit?” tanya Ade bingung, membuat saya ingin berteriak keras di telinganya, “Menurutmu?”.

Beranjak usia di tingkat SMP, saya mulai memperhatikan banyak perubahan pada teman-teman bermain saya. Jika sebelumnya saya bisa dengan bebas mengajak bermain di sawah atau memanjat pohon di depan rumah, kali ini mereka lebih suka bermain dengan geng-geng buatan mereka. Jika sebelumnya bahan obrolan kami adalah seputar pertunjukan kartun atau majalah Bobo yang saya baca, tiba-tiba obrolan kami merambah pada hiburan dan pasar malam. Di beberapa waktu, bahkan, mereka mulai membicarakan betapa asiknya diapeli oleh lelaki dewasa di rumah.

Saya yang terlanjur memiliki popularitas di kalangan teman-teman saya jelas merasa malu. Saya disegani teman-teman saya, selalu menjadi tempat dimintai pendapat, kali ini pengetahuan saya benar-benar kopong. Saya menjadi bahan tertawaan, dikatai anak manja, anak rumahan, dan lain sejenisnya. Aih, andai saja bukan karena Bapak melarang saya keras terhadap teman-teman saya, pasti sudah saya pukul mereka satu-satu.

Bersamaan dengan masa-masa itu, setelah melalui beberapa momen pasang dan surut perekonomian keluarga, akhirnya saya tahu bahwa kondisi keluarga saya tidak lagi sama. Bapak jadi lebih sering tinggal di rumah, begitupun Ummi yang kini lebih sering datang ke pengajian Ummi Eni dan Ummi Haji. Sebagai dampaknya, Bapak jadi lebih keras dan fokus mendidik saya dan adik-adik. Bapak memerhatikan setiap detail pergaulan, bahkan memastikan kepulangan saya selepas sekolah dan mengaji.

Saya masih ingat satu malam itu. Ketika saya dengar dari teman-teman bahwa salah satu tetangga menyelenggarakan hiburan malam dalam rangka jamuan pesta walimah. Saya yang terlalu penasaran, bersekongkol dengan teman-teman saya untuk diam-diam datang ke tempat tersebut tanpa sepengetahuan Bapak.

Benarlah, ide itu kami jalankan. Namun, di sepanjang jalan, saya kalut tiada henti. Saya khawatir ketika saya pulang nanti, Bapak saya akan memarahi karena tidak menemukan saya di kamar. Bagaimana kalau sampai nanti tidak dibolehkan main sepeda lagi? pikir saya penuh khawatir.

Sesampainya di tempat hiburan, saya terkaget-kaget. Teman-teman saya berjanji bahwa kami hanya akan mampir untuk beberapa menit, membeli mainan atau makanan, kemudian pulang dengan hati riang. Nyatanya, di tempat itu, sudah ada beberapa lelaki dewasa menunggu. Bahkan, seorang lelaki dikenalkan kepada saya. Saya geli sekali melihatnya, ingin langsung melemparinya dengan sandal kemudian lari menuju rumah. Namun karena jarak yang jauh, jalanan yang sangat gelap, juga gengsi besar terhadap teman-teman saya, saya berusaha tenang. Sabar, Asih, biar besok kalau mengobrol tidak malu lagi, bisik saya dalam hati.

Awalnya, semua berjalan lancar. Meskipun ada rasa geli yang masih saja saya tahan-tahan sejak tadi, teman-teman saya nampak senang.

Hingga tiba-tiba, di kejauhan, satu sosok mendekat. Masih mengenakan kain sarung dan sandal jepit, sosok itu melotot kemudian berteriak, “Asih! Pulang, kamu!” Jantung saya berdegup kencang. Dada saya bergemuruh. Bapak, Bapak, ucap saya terbata-bata. Sontak saya lari, meninggalkan teman-teman saya yang saling tatap kebingungan.

Esoknya, seperti yang saya duga, saya kembali menjadi bahan tertawaan bahkan kali ini dengan tawa yang jauh lebih keras. Sejak malam itu, teman-teman saya tidak ada lagi yang berani mengajak saya pergi ke hiburan malam, begitupun saya tidak berani diam-diam pergi kecuali diizinkan oleh Bapak dan Ummi.

Sejak malam itu, beberapa lelaki dewasa yang tidak saya kenal, dalam rangka memenuhi ketertarikan mereka terhadap saya, sempat apel ke rumah. Namun, sepanjang apel itu, mereka hanya berhadapan dengan mata melotot dan teguran Bapak, sedang saya cuek menonton sinetron dan konser seru di televisi bersama Ummi dan adik-adik di ruang tengah. Saya sendiri sebenarnya tidak begitu tertarik dengan aktivitas apel pasangan muda-mudi. Apa asiknya? Pikir saya. “Asih, siapa lagi itu?” bisik Ummi. “Au...” jawab saya mengangkat bahu, tetap asik menonton televisi.

Sejak munculnya perbedaan pandangan antara saya dan teman-teman saya tentang definisi ‘aktivitas mengasikan’, kami mulai jarang bertemu dan bercanda riuh. Sebagian besar teman saya itu kini sudah menikah, beberapa bahkan sudah memiliki momongan lebih dari satu. Sedang saya, sejak SD bahkan hingga lulus di bangku kuliah, belum pernah merasakan diapeli dan mengobrol dengan lelaki di rumah, termasuk oleh teman lelaki satu sekolah atau satu kampus. Kadang saya penasaran juga, sungguh, tapi kemudian rasa penasaran itu terlupa begitu kedua mata dihadapkan pada buku-buku menarik di atas meja.



Hari ini, saya menyadari banyak hal. Alhamdulillah, betapa beruntungnya saya memiliki orangtua seperti Bapak dan Ummi. Mereka mungkin tidak banyak memberikan petuah dengan kata-kata yang menusuk dan menghujam, apalagi melontarkan kalimat-kalimat nasihat lembut yang mampu membuat hati terus berdesir. Meski demikian, setiap tindakan mereka – bahkan ketika tindakan itu tidak mampu diterima oleh akal saya –  membentuk pribadi saya seperti sekarang ini.

Orang-orang sering berkomentar bahwa semakin hari saya tumbuh menyerupai Bapak, dari fisik juga watak. Persis seperti Bapak, saya juga tidak pandai mengungkapkan gagasan maupun perasaan melalui kata-kata lisan, bahkan untuk sekadar mengungkapkan rasa cinta saya terhadap adik-adik saya. Saya yang dominan, keras, tetapi juga penuh pemikiran sehingga membuat saya selalu bertindak lamban dan penuh kehati-hatian.

Dua bulan ini, untuk pertama kalinya kegelisahan saya tidak mampu terhalau oleh buku-buku. Ya Allah, sedikit banyak saya mulai paham, betapa beratnya amanah perempuan ketika dihadapkan pada perannya sebagai seorang istri apalagi ibu bagi benih-benih di rahimnya.

Bagaimana tidak, keutuhan cinta menjadi pondasi penting dalam membangun ikatan keluarga, sedang cinta itu hanya bisa tumbuh dan berkembang oleh iman dan pemahaman yang utuh. Dan ironinya, tidak semua perempuan mampu menggapai keduanya, sehingga tidak jarang jika ikatan itu kemudian menjadi rapuh lalu putus. Ah, nampaknya benar, saya masih anak-anak :’(

Ya Allah yang mempunyai kerajaan
Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki
Di tangan Engkaulah segala kebajikan
Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu
Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam
Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup
dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa...
hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu
bertemu dalam rangka menyeru (dakwah di jalan)-Mu
dan berjanji setia untuk membela syariat-Mu
maka kuatkanlah ikatan pertaliannya
ya Allah...
abadikanlah kasih sayangnya
tunjukkanlah jalannya
dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah redup
lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakal kepada-Mu
hidupkanlah dengan ma’rifah-Mu
dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu
Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong...

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...