Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2015

Ironi Pagi

Semburat   orange   itu datang tak malu-malu, elok sekali dipandang. Ditemani kawanan anak burung yang mencicit minta makan, gerombol awan yang melayang anggun, pesona langit semakin nampak di ketinggian. Aku mendesah, rupanya hatiku masih terpaut dengan keindahan panorama di luar jendela sepetak kamar pengap ini. Senyumku tak tertahan. Tidak sampai sepuluh detik. Tetiba hatiku pilu. Memori menyerbuku dengan banyak kenangan tentangnya, Kak Andi yang selalu kurindu. Aku ingat bagaimana rupanya, balita berbadan subur, kulit putih, rambut keriting dan hitam legam, mata sayu, serta hidung yang selalu ingusan. Dialah kakakku, yang ternyata harus mendahului kami pergi ke pelabuhan. Entah mengapa, tega sekali dia pergi dalam kedamaian. Sendirian, Aku dilanda resah berkepanjangan. Ingin sekali kugamit lengannya dan meminta banyak saran. Selama ini, aku terlanjur berada di bawah bayang-bayangnya. Jika begini, Kak Andi akan apa? Jika begitu, Kak Andi akan bagaimana? Seolah hidupku ter

Gemerisik Semut

Saya sedang bersusah-susah menahan kantuk, kepala saya naik turun merasakan beban yang entah mengapa terasa semakin berat. Sudah hampir empat jam kedua mata saya tak henti menatap layar laptop, niatnya berusaha membuat desain yang cukup menarik untuk dipersembahkan kepada kawan2 Eksternal, meski akhirnya saya harus menerima bahwa saya tidak cukup kreatif dalam hal desain mendesain. "Ya sudah, serahkan saja pada ahlinya", logis saya memberikan solusi paling praktis. Di tengah pertentangan fisik, tetiba saya tersadar bahwa sedari tadi terdapat suara gemerisik yang cukup lama menemani. Saya mencari asal sumber suara, dari mp3 player yang mungkin rusak, dari luar jendela yang mungkin tengah haus merajut hujan, bahkan tumpukan hanger dan plastik yang mungkin tergoyang menanggapi gerakan halus karpet untuk melindungi tubuh saya dari dinginnya lantai kamar. Tak ada satupun yang benar. Saya tidak menemukan apa2. Bertolak ke samping kanan, saya melihat bahwa kotak sterofoam

Ironi Tanah Lapang

Mencermati kisruh yang terjadi dalam beberapa dekade ke belakang, saya tertarik dengan studi revolusi yang dipelajari oleh para antropolog dan sejarawan dunia. Saya sadar bahwa saya mempunyai keterbatasan yang tidak sedikit pada ilmu geografi, meski demikian, saya senang bisa mempelajari setiap detail dialektika yang merebas secara perlahan melalui jejaring internet dan buku-buku perpustakaan. Setelah membaca satu persatu konsep ideologi dan tingkah laku masyarakat, saya tertarik pada satu bahasan mengenai imperialisme dan kolonialisme. Saya tertawa kecil melihat cantuman periode yang diberikan, seolah peristiwa ini hanya terjadi di masa penjajahan. Padahal jelas, imperialisme ultra modern masih berlangsung di depan mata. Kolonialisme eksploitasi? Ah, tak perlu meragu, bahkan di desa saya yang masih terbilang jauh dari jangkauan politik, sudah terlihat jelas bagaimana sedikit demi sedikit kepemilikannya direnggut oleh investor asing. Masyarakat Indonesia memang bukan kaum feo

Go Ahead, be a great!

Beberapa waktu ini saya bergabung dengan suatu komunitas penderita epilepsi di media sosial. Saya amati percakapan di grup tersebut di sela-sela rutinitas saya untuk browsing segala informasi media; beberapa meluapkan kesedihannya atas ketergantungan obat yang dialaminya, beberapa meminta saran untuk pencapaian hasil terapi yang baik, beberapa membuat kegiatan bakti sosial di kalangan masyarakat, ada pula pihak yang berperan dewasa dengan menanggapi semua keluhan itu dan memberikan saran2. Berturut dari hal tersebut, saya sempat teringat kembali dengan apa yang pernah saya alami. Saya mengerti bagaimana jenuhnya melihat obat2 tertumpuk menggunung di sudut2 kamar, meminumnya satu per satu meski hal tersebut menyebabkan efek samping yang tidak nyaman, bahkan beberapa kali berniat membuangnya namun terjebak dengan kekambuhan yang tidak lama berselang. Saya bersyukur. Bukan syukur yang muncul karena kini ketergantungan itu berhenti, melainkan syukur karena ternyata hati saya masi

Apa itu TA?

Ketika TPB, otak gue gak pernah menyentuh satupun komponen yang ada di dalamnya. Gue masih asik main2 di kampus, gabung unit sana dan sini, kenalan sama mahasiwa-mahasiswi dari yang termuda hingga yang tertua, bahkan alay gue masih bertahan dan mengakar di alam bawah sadar. Masuk tingkat dua, rasanya gue mulai kenal kakak-kakak yang katanya lagi sibuk ngedraft. Gue liatin air muka mereka yang keras mikirin setiap latar belakang, tujuan, rumusan, pustaka dan segala aksesoris yang dibutuhkan dalam lembaran syarat kelulusan itu. Gue masih cuek, dengan pedenya beranggapan bahwa waktu gue berhadapan dengan satu sosok itu (TA) masih lama, jadi gue putuskan melanjutkan kegiatan main2 gue di kampus. Di tingkat tiga, gue mulai ketemu dengan hantu2 berjalan di kampus. Beberapa meluapkan depresinya di medsos (gue masuk kelompok yang ini kayanya), beberapa memilih ansos dan fokus beresin draft di kosan yang terkadang membuat mereka gak mandi berhari2, beberapa masih santai karena ngerasa

Just Stop Here

Saya baru saja memikirkan berbagai hal, terutama gagasan-gagasan saya tentang hijrah tahun depan, atau tahun ini jika memungkinkan. Terkadang, sejujurnya, saya merasa sangat frustasi. Saya bingung menghadapi diri saya sendiri, bahkan saya tidak mengenal diri saya sama sekali. Saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan, pun saya tidak melihat adanya kepuasan terhadap apa-apa yang kini saya miliki. Saya hanya melihat kekosongan yang semakin hari justru semakin nyata. Kadang dalam kekosongan itu ada sesuatu yang mengisi, yang tak jarang membuat ambisi saya bangkit dan bangkit lagi. Saya ingin menjelajah dunia, sungguh, tanpa berhenti sepanjang waktu. Saya sudah berhenti memikirkan tentang rencana menikah sejak lama, bahkan kini saya mulai berpikir bahwa saya tidak ingin itu terjadi dalam beberapa dekade ke depan (istighfar). Entahlah, saya hanya ingin menemukan mimpi saya, menelusuri jalan-jalan setapak yang tersembunyi, meraba rongga-rongga dunia yang belum pernah dijamah.

Sepucuk Frasa Cipta

Hai, salam kenal J Sebagian orang berkata bahwa berbicara itu anugerah, lalu sebagian yang lainnya berkata bahwa mendengarkan itu mendatangkan berkah. Maka di sinilah saya, mencoba keduanya, mengundang berkah dalam timbunan anugerah dari Yang Maha Kaya. Genap dua puluh satu tahun lalu, di Desa Babakan, salah satu bagian dari perwilayahan Kabupaten Bogor, saya terlahir. Ummi saya bilang, waktu itu tepat tertanggal 10 Muharram 1415 H. Setelah itu, saya tidak pernah hafal tepatnya tanggal lahir saya jika dikonversikan ke dalam tahun Masehi. Namun di luar itu, Bapak saya mencantumkan 10 Maret 1994 sebagai tanggal keramat atas kelahiran saya di Akte Kelahiran yang didapat melalui Bidan Desa dan baru praktik belum lama ini. Yah, begitulah asal muasal tanggal lahir saya yang sering Anda lihat dalam berkas-berkas administrasi formal saya. Jika saja sepupu saya tidak terlahir lebih dulu beberapa bulan dibanding saya, nama Siti Nurhasanah mungkin akan menjadi milik saya, kata Ummi