Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2015

Tentang Pertentangan

Di persinggahan bara, saya menitipkan seonggok tanda tanya. Di dalam batin ini, ada sekelumit bingung yang menghimpit, sangat mengganggu. Hari itu, Allaah menempatkan saya pada satu diskusi panjang. Isya sudah menjelang, dan diskusi masih saja jauh bergulir. Saya terduduk canggung, mendapati diri saya telah banyak meminta waktu. " Maafkan saya, saya hanya kalut. In syaa Allaah ini demi hari baik kemudian " batin saya mengunci. Saya terduduk dan termangu di sebuah sofa yang cukup nyaman untuk berpikir. Di sebelah saya, seseorang lainnya, juga diam menunggu. Di depan kami ada meja kaca, lengkap dengan taplak putih berenda yang membuatnya tampak indah. Di bawahnya tertumpuk beberapa kertas HVS bergambar yang sedikit berdebu karena mungkin sudah terlalu lama terjebak di sana. Di seberang meja itu, kakak tingkat saya, seseorang yang selalu menuntun saya dalam berbagai putusan besar yang saya pikir tidak mampu saya pecahkan sendiri. Saya tidak yakin dengan segala hal yang

Friksi

Sore itu saya sedang berdiri kaku di tepi trotoar, sekedar untuk menatap mentari yang beranjak pergi. Di kejauhan, ia masih mengintip malu-malu di balik awan. Sesekali sekawanan burung  yang mencari sarang berteduh, saya kira, melintas di antara saya dan mentari itu. Di kejauhan yang lain, ada asap mengepul yang tak sabar menunggu antrian, warnanya hitam pekat dan terlihat seperti apusan krayon abu dari tempat saya berdiri. Saya terpana, menyadari bahwa Kota Bandung tempat saya merantau ini ternyata sudah bukan lagi kota petani, melainkan kerajaan besar karyawan dan karyawati industri. Seksama saya tatap langit tadi, ia sudah tak mampu menampakkan kecerahan yang saya harapkan. Meski enggan, akhirnya saya menyerah. Saya seret langkah menuju tempat peristirahatan. “Sih, emang apa salahnya menikah dulu sebelum kamu beneran hijrah?” Sahabat saya, yang sejaki tadi berdiri di pinggir saya, lagi-lagi menanyakan hal yang sama. Mungkin karena tak kunjung mendapat jawaban, ia masih

Mampir (Part 1)

Bismillaah Sedikit mengkritik tentang kejadian yang baru saja saya alami beberapa waktu ini. Semoga apa yang tersurat tidak mengurangi pemaknaan yang tersirat di dalamnya. Dan lagi, semoga apa yang disampaikan masih dalam koridor kebaikan sehingga keberkahan masih dapat mengalir ke setiap intisari pemikiran. Kawan, di empat hari waktu libur kemarin, saya putuskan untuk mengunjungi pemerintah daerah tingkat desa. Untuk mencapai tempat itu, saya harus menaiki angkot arah Parung dengan lama waktu kurang lebih sepuluh menit, ditambah jalan kaki sejauh kurang lebih dua puluh meter dari jalan raya.  Perlahan saya menelusuri jalanan setapak menuju Kantor Kepala Desa. Kaki saya sibuk memperhatikan sepatu karet hitam saya yang mulai dilapisi lumpur cokelat, ditambah gerimis yang sejak tadi nyaris tak mau berhenti mengguyur kerudung saya yang terlanjur kuyup. Beberapa kali sepeda motor melintas, sayangnya Bapak/Ibu pengemudi melaju tak tahu diri. Meski genangan air jelas terlihat,

Sebab Cinta

Bismillaah, akhirnya dipos juga :D Sebuah lagu, tak terlalu istimewa, tapi cukup membuat saya puas saat menyanyikannya Cinta tak pernah pergi Bertahan di dalam hatiku Menanti, menanti kau di sini Tak pernah buatku jenuh Cinta dekapi diri Rengkuh aku dalam bahagia Meski dunia terus saja tertawa Berkata kau pergi tinggalkan ku terluka Reff: Biarkan saja.... Biarkan saja.... Sedihku temui bisumu Bukan karena waktu Tak perlu tergesa Sebab cinta kan temui masanya

Bimbang

Di tengah hikmat gerimis pagi Bertabuh gendang mengalir ke hilir Sayup terlantun penembrama salam datang Untuk merpati yang tak kunjung hinggap di kelopak mayang Elok sang surya dalam angan Lukiskan lekuk tubuhmu berdiri penuha angkuh Mengangkat pongah gayamu penuh kepuasan Sedang di sini, rebas tangisku di atas kapalan Batin menimbang berteman sunyi Satu tandang mungkin tak apa Berkirim surat mungkin tak terhitung dosa Hingga angin bergemuruh menghardik daku Oh merpati, Berteman laut aku mengadu Bertenteng nyiur mengharap kabar Kegetiran dan kepiluan rasamu di seberang tanah lapang Di balik gerimis mentari runduk mengulum senyum Dalam kesunyian ia bicara “Tetaplah di sini, hingga kelopak mayang beriring tandangnya” Batin diam menimbang Mungkin ini hanya mimpi, balasku

Frame Tak Nampak

Hai, apa kabar? Kau masih semangat kan? Ini nampaknya sebuah pertanyaan yang ditujukkan lebih untuk diriku sendiri, semoga tidak mengurangi makna yang terkandung di dalamya. Semoga jawaban yang akan dikecap sesuai dengan harapan dalam benak. Oh... Ini masih pagi. Seraya menulis ini, aku masih bisa menatap sisa-sisa purnama tadi malam. Jelas sekali keindahannya, hal yang selalu kusuka. Bersamanya, setitik bintang tengah berkelip. Entah karena memang hanya ia yang masih kuat bertahan atau jarak pandangku yang tak mampu mencapai kelipan bintang yang lain. Kawan, aku tengah terduduk sendiri. Kamar kost yang biasanya diramaikan oleh dua orang dengan tingkah mereka yang konyol kini harus bertahan dengan hanya senandung musik dan satu gelas kopi jahe setiap pagi. Sedihnya lagi, mungkin ini bukan kali terakhir. Sebab setiap akhir pekan nampaknya akan selalu begini. Aku tidak mengeluh, sungguh... (Bohong! # Faistyle ) Hehe, lupakan soal rasa sepi :'D Sejujurnya aku mulai

Setitik Jingga

Mentari tak pernah pergi Tidak pula ia tenggelamkan diri Namun menyertainya, Lembayung teduh indah dipandang Tanpa kata, ia kian menghardik Bahwa sudah saatnya kaki bergegas Bukan lantas diri tundukkan kepala dan lunglaikan pundak Bukan pula pertanda usai Melainkan telah datang masanya untuk kembali memulai *** Satu tahun memegang mimpi. Kurasa kita sepakat, bahwa setahun itu tidaklah sebentar. Bertahan dalam barisan, meski air mata tak kuasa untuk dibendung, kemarahan yang terkadang muncul, bahkan langkah kaki yang sepintas rasanya ingin jauh melarikan diri. Ah, banyak hal lalu untuk dicaci memang. Namun di balik itu, masih kupegang sebingkai foto sebagai simbolis bahwa kita pernah juga mengalami hari-hari yang menyenangkan. Tentu ada penyesalan. Kuputar waktu ke belakang, rasaku terlalu sering mencampur emosi tak terkendali. Aku pernah murka, pernah juga mengiba. Aku menangis haru, tapi tak jarang pula balik menghardik. Oh saudariku, maafkanlah sikapku yang seringn