Apakah kamu pernah terbayang proses kematian? Saya sering. Dua kali saya mengalami kematian lewat mimpi. Di mimpi pertama, saya melihat diri saya sendiri tengah mengapung di atas lautan warna warni dengan air terjun di sampingnya. Saya melihat tubuh saya menggeliat. Sakit sekali, sungguh. Padahal cuma mimpi, tapi sampai terbangun sakitnya masih terus terbayang. Di mimpi kedua, tetiba saya berada di dalam liang kubur. Kondisinya sangat gelap. Saya ketakutan. Saya berusaha mencari teman, tapi nihil. Ketika terbangun saya masih saja diserang rasa takut tersebut. Beberapa malam setelahnya saya sulit tidur dan harus terus ditemani suami. Sejak itu saya kian takut mati. Bukan hanya takut akan neraka, tapi juga bagaimana cara melewati proses kematian itu sendiri membuat saya takut luar biasa. Kata Rasulullah SAW, sakitnya sakaratul maut itu, seperti tiga ratus kali sakitnya tusukan pedang. Apakah bisa kamu bayangkan seperti apa sakitnya? Belum lagi menghadapi gelap dan mencengkamnya liang kub
Semakin menua saya menyadari bahwa manusia cenderung semakin berkeinginan sederhana. Atau itu hanya saya? Dahulu saya berpikir menjadi manusia dengan segudang prestasi, gaji dua dijit, punya banyak relasi, bisa sering traveling, adalah sebagian pencapaian hidup yang layak diperjuangkan. Kini, cukup dengan keheningan, sebuah buku cetak tua juga segelas kopi di pagi hari, adalah sebuah kemewahan bagi saya. Kontras sekali bukan? Saya banyak memikirkan ini. Beberapa tahun lalu, di awal pernikahan ketika suami memaksa saya berhenti bekerja, hati saya sangat terluka. Sejujurnya, bukan karena harus merelakan diri tak berpenghasilan. Sebab saya yakin suami saya adalah lelaki yang sangat mampu menafkahi. Pun jika kurang, saya yakin dengan segenap hati bahwa dia adalah lelaki yang punya prinsip dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Lagi pula, saya bukan wanita yang memandang uang sebagai dasar kehidupan. Mengapa dulu saya sangat terluka dengan keputusan berhenti bekerja? Sebab suami menghajar