Skip to main content

Posts

Mati

Apakah kamu pernah terbayang proses kematian? Saya sering. Dua kali saya mengalami kematian lewat mimpi. Di mimpi pertama, saya melihat diri saya sendiri tengah mengapung di atas lautan warna warni dengan air terjun di sampingnya. Saya melihat tubuh saya menggeliat. Sakit sekali, sungguh. Padahal cuma mimpi, tapi sampai terbangun sakitnya masih terus terbayang. Di mimpi kedua, tetiba saya berada di dalam liang kubur. Kondisinya sangat gelap. Saya ketakutan. Saya berusaha mencari teman, tapi nihil. Ketika terbangun saya masih saja diserang rasa takut tersebut. Beberapa malam setelahnya saya sulit tidur dan harus terus ditemani suami. Sejak itu saya kian takut mati. Bukan hanya takut akan neraka, tapi juga bagaimana cara melewati proses kematian itu sendiri membuat saya takut luar biasa. Kata Rasulullah SAW, sakitnya sakaratul maut itu, seperti tiga ratus kali sakitnya tusukan pedang. Apakah bisa kamu bayangkan seperti apa sakitnya? Belum lagi menghadapi gelap dan mencengkamnya liang kub
Recent posts

Melepas Mimpi

Semakin menua saya menyadari bahwa manusia cenderung semakin berkeinginan sederhana. Atau itu hanya saya? Dahulu saya berpikir menjadi manusia dengan segudang prestasi, gaji dua dijit, punya banyak relasi, bisa sering traveling, adalah sebagian pencapaian hidup yang layak diperjuangkan. Kini, cukup dengan keheningan, sebuah buku cetak tua juga segelas kopi di pagi hari, adalah sebuah kemewahan bagi saya. Kontras sekali bukan? Saya banyak memikirkan ini. Beberapa tahun lalu, di awal pernikahan ketika suami memaksa saya berhenti bekerja, hati saya sangat terluka. Sejujurnya, bukan karena harus merelakan diri tak berpenghasilan. Sebab saya yakin suami saya adalah lelaki yang sangat mampu menafkahi. Pun jika kurang, saya yakin dengan segenap hati bahwa dia adalah lelaki yang punya prinsip dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Lagi pula, saya bukan wanita yang memandang uang sebagai dasar kehidupan. Mengapa dulu saya sangat terluka dengan keputusan berhenti bekerja? Sebab suami menghajar

Beratnya Menjadi Ibu

Sebulan lebih anak-anak sakit. Sebulan lebih bolak-balik ke RS, rutin menjalani drama anak sulit minum obat-muntah-menangis-tetap harus minum obat lagi, nafsu makan anak menurun, hingga tidak tidur semalaman karena menunggui anak demam tinggi di IGD. Fisik dan jiwa saya sempat lelah. Hampir setiap hari mengeluh kepada suami, padahal saya tahu beliau pun tengah merasakan lelah yang sama. Tidak mood menjalani aktivitas karena memikirkan kondisi anak-anak. Puncaknya saat kemarin harus ke RS membawa tiga anak sendirian, di dalam taksi saya menangis sejadi-jadinya. Ya Allah, mengapa menjadi orang tua itu berat sekali? Mudah saja jika ingin menjadi Ibu yang cuek. Tapi saya tidak bisa. Saya terlalu sayang kepada anak-anak. Jangankan cuek di saat mereka sakit, saat mereka sehat dan banyak gaduh saja hampir tidak bisa saya marah. Saya sendiri terkadang bingung, kenapa Allah ciptakan rasa cinta yang amat besar bagi seorang Ibu terhadap anak-anaknya? Apakah benar rasa cinta terhadap anak adalah j

Pembuka

Halo... Sudah lama sekali sejak postingan terakhir 😁 Sebagai pembuka, kini saya Ibu anak tiga. Bisa kamu bayangkan? Perempuan ngeyelan, ngotot, dan suka ribut ini ternyata Allah suruh mengasuh anak kecil. Tidak tanggung hanya satu, guys , tapi tiga :') Fyi, Ibu mertua malah sering sindir-sindir saya, kapan lahir yang keempat? Wkwkwk respon dengan ketawa saja ya. Tiga kali melahirkan masing-masing memiliki cerita istimewa untuk saya. Tapi lain kali ya saya ceritakan. Sebab waktu saya untuk menulis saat ini sungguh-sungguh terbatas. Seperti saat ini, saya bisa membuka laptop beberapa menit sambil menunggu anak-anak pulang sekolah. Oh, kadang saya sungguh rindu memiliki waktu banyak seperti gadis dulu. Meski demikian, saya sangat bersyukur dengan jalan hidup saya saat ini. Banyak anugerah yang Allah hadiahkan untuk saya. Bahkan seringkali saya memiliki ketakutan yang tidak beralasan. Rasanya cemas sekali bahwa hidup saya tidak akan sama lagi. Memang banyak ujian yang saya dapatkan, t

Jilbab

Dua tahun lalu, saya pernah melalui serangkaian tes penerimaan karyawan di salah satu klinik kecantikan terbesar di Indonesia dengan posisi Supervisor Cabang. Pada saat itu saya sudah mencapai tahap akhir, yaitu wawancara dengan bagian HRD. Pada saat wawancara, semua berjalan dengan sangat lancar. Semua topik mampu saya jawab dan saya merasa bahwa jawaban yang saya berikan cukup memuaskan. Namun, tiba di topik akhir, pewawancara menanyakan apakah saya bersedia melepas jilbab. Sebab di klinik tersebut supervisor tidak diperkenankan memakai jilbab. Tentu jawaban saya tidak lain dan tidak bukan adalah sangat keberatan, sebab jilbab merupakan prinsip bagi saya. Muslimah itu wajib berjilbab. Terlepas dari syarat tersebut, saya memberikan sebuah opini kepada pewawancara. Saya katakan, klinik muslimah kedepannya memiliki potensi berkembang yang sangat besar. Hal ini terlihat dari populernya produk kecantikan yang dikhususkan untuk muslimah, baik itu skincare maupun make up. Dan terbukti, be

Qadar-Nya

Tengah malam Tisya terbangun. Dia gelisah karena haus. Aku langsung menyodorkannya air minum di botol, lalu menyusukannya agar dia kembali terlelap. Sambil mengerjapkan mata, baru aku tersadar bahwa lelakiku masih di sana, bersender pada dinding kamar sambil memainkan benda persegi panjangnya. "Belum bobok, By?" tanyaku. "Belum. Belum ngantuk," jawabnya. Sontak kudekati dia. Kupandangi wajahnya. "Kenapa? Ini udah malem banget, loh." Lagi, aku bertanya sambil mengingatkannya bahwa jam sudah menujuk angka 12.30 WIB. "Mimihnya udah bobok. Aku gak ada temen ngobrol. Kalau ngobrol sama Mimih kan bisa ngantuk." Aku hanya bisa tersenyum. Pelan kuajak dia merebahkan diri, mengusap rambutnya, lalu membacakannya doa sebelum tidur. Tak berselang lama terdengar suara dengkuran halusnya, dia pun terlelap. Masya Allah, lelaki ini, yang tiga tahun lalu dengan gagah berani memintaku pada kedua orang tuaku. Dia yang tak pernah kukenal se

Di Balik Kaca

Hai, Nak, apa yang sedang kamu pandangi di luar sana? Apakah juga ingin kamu tembus kaca itu? Kamu tahu, Nak, saat kamu lahir Bunda tidak bisa langsung menyusuimu. Bunda lemah saat itu. Di kala Bunda masih bersimbah darah, kamu dibaringkan di kotak kaca. Tak lama, kamu dijauhkan dari jangkauan Bunda. Mereka bilang kondisimu belum stabil, hingga Bunda berpikir, apakah semua itu karena kesalahan Bunda? Saat kamu Bunda bawa pulang, kamu tertidur nyenyak di dalam dekapan Bunda. Bunda merasa seperti membawa harta yang amat berharga. Bunda takut kedua lengan Bunda tetiba lemah dan membuatmu terjatuh, atau malah justru terlalu kuat mendekapmu. Tidak tergambar bagaimana rasa Bunda saat itu, bahagia bercampur takut. Di kali pertama Bunda memandikanmu, kamu menjerit. Ah, apakah Bunda melakukan kesalahan? Apakah Bunda membuatmu tidak nyaman? Oh Tuhan, Bunda seketika terburu-buru menyelesaikan apa yang harus Bunda selesaikan. Bunda basuhi kamu dengan air hangat, mengolesimu sab