Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2015

Rasa Menggugat

Ummi... Sukma berancang mendahului waktu Ada biduk serempu pula Angan ini, Ummi, tertatih lagi dan lagi Ummi... Hilir malam mudik tak singgah Kelopak buluh bahkan tak urung tumbuh Merah, Ummi... Merah padam kulit wajahku Megak tinta merajut kalam Nyatanya rasa bergulung pilu Rebas sudah ia di atas pucuk anai-anai Melerai diri turut menjalar Ummi, Tali rasa tak suang putus Bertabuh sudah ia iringi cakapan Penuhi dengar pun pandangan Batinku tersiksa, Ummi Bak menunggu gantungan jelaga tumpah ruah di atas daratan

Suatu Siang di Waktu yang Lain

Nur mengingatnya dengan sangat jelas. Suatu siang yang terik di sebuah rumah yang nampak sangat lengang. Di halaman depan rumah yang cukup megah itu hanya tersuguh pemandangan pohon mangga dengan buah-buah ranum yang siap dipetik serta satu ekor ayam jago yang mondar-mandir mengawasi sejak tadi. Di bagian teras terjejer rapi pot-pot tanaman hias meski keseluruhannya hijau tanpa variasi warna yang lain. Ada satu pancuran air di dekat pohon, gemericiknya membuat dahaga terbayar sudah setelah satu jam lalu sebuah perjalanan panjang dilakoni Nur dan Emak. Rumah itu bercat putih gading. Dekorasi halaman yang dipadukan dengan tampilan dinding serta kaca membuat Nur meyakini bahwa pemilik rumah pastilah seseorang yang memiliki selera tinggi terhadap desain. Rumah itu terkesan elegan meski minimalis. Ada sisipan warna merah hati di sekitar sisi genteng, seolah mempertegas bahwa bahkan proses pengecatan rumah memiliki pengaturan yang rumit. Nur mendelik ke samping kiri. Emak terlihat

(Klise) Persatuan Dalam Satuan Barikade

17 Agustus 1945, sekelompok orang yang menyebutkan diri sebagai Bangsa Indonesia meminta pengakuan dunia untuk kemerdekaan negaranya, Indonesia. Sebuah negara dengan keanekaragaman perwilayahan, etnis, budaya, pendidikan, agama hingga pola pikir yang sepenuhnya tidak bisa dibilang serupa. Pada peristiwa bersejarah itu, tercetus sebaris semboyan yang dikutip dari Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular pada abad-14 di masa kejayaan Majapahit, yaitu   Bhinneka Tunggal Ika ,   yang jika diterjemahkan secara bahasa menjadi “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Atau jika dirunut semboyan yang mirip dengannya, adalah sebaris semboyan Bangsa Amerika,   e pluribus unum ,   yang artinya “Dari yang banyak menjadi satu”. 17 Agustus 1945, merupakan awal sebuah kesatuan. Begitu banyak orang yang telah jauh memimpikannya. Tidak ada lagi fraksi-fraksi penganut Nasionalisme, Islamisme ataupun Marxisme yang diizinkan melantangkan dan memisahkan diri dari ideologi lainnya. Semua lapisan masyaraka

Soekarno, Putera Sang Fajar

Saya baru saja selesai membaca ulasan ringkas Lambertus Johannes Giebels mengenai Bapak Proklamator Indonesia, Kusno Sosrodihardjo atau kini sering kita sebut sebagai Bung Karno. Buku Giebels dengan judul ‘Soekarno: Biografi 1901-1950’ dan tebal 522 halaman itu sedikit banyak telah mempengaruhi pemikiran saya yang cenderung pragmatis. Saya adalah penggemar Soekarno, sekaligus pembencinya pada beberapa bagian kehidupannya yang lain. Ditambah buku itu, saya kira, seperti ada tirai yang tersibak dan membuat benci sekaligus kekaguman saya kian bertambah pada sosoknya, meski dengan sudut pandang yang baru. Giebels jelas berusaha menampilkan Soekarno sebagai sosok manusia biasa, bahkan dalam beberapa ulasannya, Giebels lebih tampak seperti mencari celah-celah kesalahan Soekarno di masa kepemimpinannya. Misalnya, di salah satu ulasan yang sengaja dibuat lebih panjang, adalah peristiwa 1934 saat Soekarno memilih menulis surat permohonan ampun pada Jenderal Belanda dibanding meringkuk di

Sahabat dan Cinta

"Kau camkan ini, Borno. Banyak sekali orang yang jatuh cinta lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarganya sendiri, teman sendiri. Padahal, siapalah orang yang tiba-tiba mengisi hidup kita itu? Kebanyakan orang asing, orang baru. Mei misalnya, baru kau kenal setahun kurang. Sedangkan Andi? Kau kenal dia sejak bayi, satu ayunan. Apa yang telah dilakukan Mei buat kau? Apa yang tidak dilakukan Andi? Apa Mei pernah menyelamatkan kau yang hampir tenggelam di Kapuas? Kau lupa, Borno. Kalau hati kau sedang banyak pikiran, gelisah, kau selalu punya teman dekat. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kau abaikan. Nah, itulah tips terhebatnya. Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan." *** "Kau tahu, Andi, dari begitu banyak kalimat bijak tentang cinta yang kau catat berbulan-bulan ini, untuk orang seperti kau, cukup camkan saja kalimat yang satu ini, sisanya lupakan. Camkan, bahwa c