Skip to main content

(Klise) Persatuan Dalam Satuan Barikade

17 Agustus 1945, sekelompok orang yang menyebutkan diri sebagai Bangsa Indonesia meminta pengakuan dunia untuk kemerdekaan negaranya, Indonesia. Sebuah negara dengan keanekaragaman perwilayahan, etnis, budaya, pendidikan, agama hingga pola pikir yang sepenuhnya tidak bisa dibilang serupa.

Pada peristiwa bersejarah itu, tercetus sebaris semboyan yang dikutip dari Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular pada abad-14 di masa kejayaan Majapahit, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang jika diterjemahkan secara bahasa menjadi “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Atau jika dirunut semboyan yang mirip dengannya, adalah sebaris semboyan Bangsa Amerika, e pluribus unum, yang artinya “Dari yang banyak menjadi satu”.

17 Agustus 1945, merupakan awal sebuah kesatuan. Begitu banyak orang yang telah jauh memimpikannya. Tidak ada lagi fraksi-fraksi penganut Nasionalisme, Islamisme ataupun Marxisme yang diizinkan melantangkan dan memisahkan diri dari ideologi lainnya. Semua lapisan masyarakat dituntut bertahan dalam satu barikade; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Bahkan semboyan Nazi mengatakan "Ein Volk, ein Reich, ein Führer!"

Namun apa daya, Indonesia tidak mampu menampung berpuluh-puluh hingga beratus-ratus juta kepala dengan isi berbeda. 4 Desember 1976, sebuah gerakan mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Aceh Merdeka, setelah Kahar Muzakkar pada tahun 1950-1965 berhasil mendirikan Darul Islam – Tentara Islam Indonesia (DI–TII) dan menyuarakan ‘gagasan’ separatisme di Sulawesi Selatan. Pasca peristiwa ini, berbagai spekulasi muncul ke permukaan, hingga tak jarang beberapa pihak menuding bahwa gerakan ini merupakan kelahiran DI-TII dengan identitas baru, yang artinya ‘gagasan’ separatisme akan kembali bergulir.

Berbagai insiden mencekam kemudian bermunculan, di antaranya adalah diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer) di beberapa bagian perwilayahan Sulawesi Selatan. Hal tersebut belum dihitung dengan beberapa etnis di dalamnya - Madura, Dayak, Melayu, Tionghoa - yang kemudian terlibat agresi antaretnis hingga menelan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Ribuan rumah dan toko hangus, belum lagi sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tidak jarang menjadi objek tindakan barbar demi tercapainya pretensi atas ‘luka masa lalu’. Sebagian orang masih bertahan dengan optimisme kesatuan, meski pada bagian yang lain mereka lalai terhadap tindakan-tindakan yang dapat meruntuhkan optimisme tersebut.

Wabah divide et impero. Mungkin istilah ini yang dapat mengungkapkan kerusuhan-kerusuhan yang belakangan menjangkiti Indonesia. Betapa lucunya melihat sebuah negara dengan separasi menjalar. Betapa semakin randomnya muatan dalam lapisan barikade-barikade itu memposisikan diri.

Dewasa ini lempar kritik sudah biasa; rakyat tidak puas dengan pemerintah, pemerintah menilai rakyat tidak paham urusan terdalam rumah tangga pemerintahan, begitu seterusnya. Ah! Masalah klasik! Mungkin karena sudah terlalu sering kalimat itu mampir di telinga, sehingga telinga rasanya sudah tidak peka untuk sekedar menanyakan kronologi bahkan intisari permasalahan.

Setiap fraksi memperebutkan kursi di pemerintahan. Pemandangan ini yang selalu tampak. Begitu jika dilihat dari berita-berita terkini yang banyak disiarkan di televisi, radio, berita cetak, dan lain sebagainya. Sehingga kerap kali pertanyaan tak berbobot terbersit “Apakah calon-calon pejabat itu tahu definisi pemimpin dan memimpin?”.

Satu kutipan dari Michel Agniolo Buonarroti (1475-1564) mengingatkan: “jangan sekali-kali mengabaikan detail-detail kecil dalam bekerja, karena kesempurnaan selalu dibentuk oleh perkara-perkara kecil, sedangkan kesempurnan itu sendiri bukan lagi hal yang kecil”.

Kita bisa melihat bahwa ucapan-ucapan atau janji para politisi di Indonesia hanya sebatas proporsi-proporsi umum yang tidak ditindaklanjuti oleh penyelidikan dan uraian mengenai detail. Sehingga pada akhirnya esensi kesempurnaan dan keutuhan Indonesia merdeka tidak tampak di hadapan masyarakatnya. Pemerintahan menjadi satu kelembagaan cacat wibawa, terjadi peningkatan jumlah masyarakat apatis yang bahkan sebagiannya lahir dari mahasiswa-mahasiaswa yang dulunya aktivis, sedang media bergulir di antara keduanya bagai bola tenis tak bertepis. Dan tetap saja, sungguh ironi, bahwa kursi-kursi di pemerintahan masih menjadi rebutan bagi kaum elit politisi meski mereka harus membayar dengan harga mahal, sedang satuan barikade Indonesia masih saja jauh dari kata utuh.


Lantas, jika benar demikian, di manakah letak kesatuan Indonesia?

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...