I.
Latar Belakang
Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki.
Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfungsi sebagai antioksidasi dapat diformulasi menjadi pangan fungsional antioksidan dan menjadi menu sehari-hari. Temu-temuan yang digunakan dalam formula pangan fungsional berfungsi sebagai imunomodulator (daya tahan tubuh), growth regulator (meningkatkan nafsu makan) dan growth stimulator (mempercepat pertumbuhan badan), dan secara tidak langsung mengobati berbagai penyakit (Sumardi et al., 2007).
Orang-orang yang bijaksana sering mengatakan bahwa
"kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini".
Sehat dan bugar adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang
agar hidup ini menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat dilakukan
melalui pengaturan makanan.
Dalam kehidupan modern ini, filosofi makan telah
mengalami pergeseran, di mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi
yang lebih utama adalah untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang
optimal. Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi
kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas
fisik, dan bobot tubuh. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah
fungsi primer (primary function).
Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan
sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu
memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya
kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen bila penampakan
dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya. Itulah
sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam menentukan apakah
suatu bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen.
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan
pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati
konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan
dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis
tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian dikenal sebagai fungsi tertier (tertiary
function). Saat ini banyak dipopulerkan bahan pangan yang mempunyai
fungsi fisiologis tertentu di dalam tubuh, misalnya untuk menurunkan tekanan darah,
menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah, meningkatkan
penyerapan kalsium, dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat kemakmuran dan
kesadaran seseorang terhadap kesehatan, maka tuntutan terhadap ketiga fungsi
bahan pangan tersebut akan semakin tinggi pula.
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju
dalam memilih bahan pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan
kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg,
1994). Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan
kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan
atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Kenyataan tersebut
menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan dasar tubuh
(yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional. Dari
sinilah lahir konsep pangan fungsional (fungtional foods), yang
akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Kepopuleran
tersebut ditunjang oleh suatu keyakinan bahwa di dalam pangan fungsional
terkandung gizi-gizi dan zat-zat non gizi yang sangat penting khasiatnya
untuk kesehatan dan kebugaran tubuh.
Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan
di Jepang pada
tahun 1984 dengan istilah FOSHU yang merupakan singkatan dalam bahasa Inggris Food
for Special Dietary Uses yang berarti pangan yang dikhususkan
untuk diet tertentu. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin
banyaknya populasi orang tua di Jepang yang berpotensi terhadap peningkatan
penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, hipertensi, osteoporosis, dan kanker. Berlatar belakang hal tersebut, maka
Kementerian Pendidikan Jepang pada tahun 1984 mencanangkan proyek
pengembangan dan penelitian yang memfokuskan pada sifat fungsional pada
pangan. Proyek tersebut merupakan proyek penelitian mengenai pangan
fungsional yang pertama kali di dunia dengan melibatkan berbagai peneliti
dari latar belakang disiplin ilmu seperti ilmu gizi, farmakologi, psikologi, dankedokteran.
Hingga akhir tahun 2007, Jepang sudah memberikan
label FOSHU pada 755 produk pangan. Klaim kesehatan untuk produk FOSHU di
Jepang diklasifikasikan menjadi delapan kelompok yang memberikan efek
kesehatan untuk kondisi IG (Indeks
Glikemik), tekanan darah, serum kolesterol, glukosa darah,
absorpsi mineral, kesehatan gigi, lemak netral pada darah, serta kesehatan
tulang.
Fenomena pangan fungsional telah melahirkan
paradigma baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi pangan, yaitu
dilakukannya berbagai modifikasi produk olahan pangan menuju sifat
fungsional. Saat ini, di Indonesia telah banyak dijumpai produk pangan
fungsional, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor. Contoh pangan
tradisional Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan fungsional adalah:
minuman beras kencur, temulawak, kunyit-asam, serbat, dadih (fermentasi susu
khas Sumatera Barat), dali (fermentasi susu kerbau khas Sumatera Utara),
sekoteng atau bandrek, tempe, tape, jamu, dan lain-lain. Contoh makanan
tradisional mancanegara yang dapat dikategorikan sebagai makanan fungsional
adalah: yoghurt, kefir, koumiss, dan lain-lain.
|
II.
Definisi Pangan Fungsional
Pangan fungsional adalah pangan
yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi
kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang
terkandung di dalammya (The First Internasional Conferensi East- West
Perspective on Fungsional Foods 1996).
Pangan fungsional adalah pangan
olahan yang mengandung bahan-bahan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai
fungsi fisiologis tertentu, tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan
(Wildman 2001). Pangan fungsional adalah pangan
yang dapat memberikan manfaat kesehatan diluar zat-zat
gizi dasar (The
International Food Information).
Pangan fungsional adalah pangan
yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih
senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai
fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan.
Serta dikonsumsi sebagai mana layaknya makanan atau minuman, mempunyai
karakteristik sensori berupa penampakan, warna dan tekstur dan cita rasa yang
dapat diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontraindikasi dan
tidak memberikan efek samping pada jumlah penggunaan yang
dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya (Badan POM,
2001).
Pangan Fungsional adalah pangan
yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan di
luar manfaat yang diberikan zat gizi yang terkandung di dalamnya. Dikenal
dengan nutraceutical, designer food, medicinal food, therapeutic
food, food ceutical dan medifood.
Pangan fungsional adalah pangan
yang memiliki tiga fungsi yaitu fungsi primer, artinya makanan tersebut dapat
memenuhi kebutuhan gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral);
fungsi sekunder artinya makanan tersebut dapat diterima oleh konsumen secara
sensoris dan fungsi tersier artinya makanan tersebut memiliki fungsi untuk
menjaga kesehatan, mengurangi terjadinya suatu penyakit dan menjaga metabolisme
tubuh. Jadi pangan fungsional dikonsumsi bukan berupa obat (serbuk) tetapi dikonsumsi
berbentuk makanan. Contoh makanan fungsional yaitu makanan yang mengandung
bakteri yang berguna untuk tubuh: yoghurt, yakult, makanan yang mengandung
serat, misalkan bekatul, tempe, gandum utuh, makanan yang mengandung senyawa
bioaktif seperti teh (polifenol) untuk mencegah kanker, komponen sulfur
(bawang) untuk menurunkan kolesterol, daidzein pada tempe untuk mencegah
kanker, serat pangan (sayuran, buah, kacang-kacangan) untuk mencegah penyakit
yang berkaitan dengan pencernaan.
III.
Klasifikasi Pengelompokan Pangan
Fungsional
Klasifikasi penggolongan pangan
fungsional menurut Juvan et al. 2005 adalah sebagai berikut:
- Berdasarkan golongan dari pangan tersebut (produk susu dan turunannya, minuman, produk sereal, produk kembang gula, minyak, dan lemak)
- Berdasarkan penyakit yang akan dihindari atau dicegah (diabetes, osteoporosis, kanker kolon)
- Berdasarkan efek fisiologis (imunologi, ketercernaan, aktivitas anti-tumor)
- Berdasarkan kategori komponen bioaktif (mineral, antioksidan, lipid, probiotik)
- Berdasarkan sifat organoleptik dan fisikokimia (warna, kelarutan, tekstur)
- Berdasarkan proses produksi yang digunakan (kromatografi, enkapsulasi, pembekuan).
Menurut BPOM, pengelompokkan
pangan fungsional dibagi berdasarkan kandungannya menjadi: Vitamin; Mineral;
Gula alkohol; Asam lemak tidak jenuh; Peptida dan protein tertentu; Asam amino;
Serat pangan; Prebiotik; Probiotik; Kolin, Lesitin dan Inositol; Karnitin dan
Skualen; Isoflavon (kedelai); Fitosterol dan Fitostanol; Polifenol (teh);
Komponen fungsional lain yang akan ditetapkan kemudian.
IV.
Syarat dan Keamanan Pangan
Fungsional
Pangan fungsional wajib memenuhi
kriteria produk pangan sesuai dengan ketentuan Keputusan Kepala Badan dan
terbukti tidak memiliki interaksi negatif yan menimbulkan toksisitas. Selain
mengikuti ketentuan tersebut, pangan fungsional harus:
- Menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan serta standar dan persyaratan lain yang ditetapkan;
- Mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional berdasarkan kajian ilmiah Tim Mitra Bestari;
- Disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman;
- Memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen.
Berbeda dengan aturan
Indonesia, menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus
dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional
adalah:
- Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredient) alami.
- Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari.
- Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh; mencegah penyakit tertentu; membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu; menjaga kondisi fisik dan mental; serta memperlambat proses penuaan.
Pangan fungsional dapat
dikonsumsi tanpa dosis tertentu, maka melibatkan pangan fungsional dalam menu
sehari-hari adalah tindakan yang sangat baik dan tepat dari segi gizi. Konsumsi
pangan fungsional dapat dilakukan oleh semua kelompok umur (kecuali bayi).
Diversifikasi konsumsi pangan fungsional perlu diperkenalkan sedini mungkin
sejak masa kanak-kanak, agar setelah dewasa memperoleh manfaat dan khasiat yang
optimal, yaitu sehat dan bugar, produktif, mandiri, serta berumur panjang.
Bagaimanapun pangan fungsional
tidak dapat mengubah pola makanan buruk, tapi pangan fungsional dapat
dikonsumsi sebagai bentuk upaya peningkatan kesehatan. Beberapa contoh pangan
fungsional yang biasa dikonsumsi meliputi:
1.
Ikan laut dalam
Contoh ikan laut adalah adalah sarden dan salmon. Jenis ikan ini kaya akan
asam lemak omega-3 yang bisa menurunkan risiko penyakit jantung, mengurangi
nyeri sendi dan meningkatkan perkembangan dan fungsi otak. Jumlah takaran saji
yang direkomendasikan adalah 8 ons ikan perminggu.
2.
Kacang-kacangan
Jenis makanan ini bisa menjadi kudapan sehat karena mengenyangkan sekaligus
mengontrol kadar gula darah dalam tubuh. Jenis kacang mete dan kacang almond
bahkan kaya akan magnesium yang mampu menurunkan tekanan darah, sedangkan pecan
dan walnut bisa menurunkan kolesterol.
3.
Biji-bijian
Oat dan barley adalah contoh serealia yang direkomendasikan. Keduanya
memiliki karakteristik yang sama, yakni kaya akan serat, membantu menurunkan
kolesterol, dan mengontrol gula darah pada tubuh.
4.
Buncis
Buncis merupakan sumber serat yang memiliki kelarutan tinggi. Dengan rajin
mengkonsumsi buncis, risiko kanker usus, payudara dan saluran pembuangan
menurun. Lebih optimal lagi jika yang dikonsumsi adalah buncis segar.
5.
Aneka Beri
Stroberi, cranberi, bluberia atau blackberi, semuanya merupakan kelompok
pangan fungsional. Tak hanya rendah kalori, pigmen antosianin yang terkandung
memberikan ekstra manfaat bagi kesehatan.
Industri yang
memproduksi pangan fungsional yang termasuk kategori pangan olahan tertentu
wajib memenuhi persyaratan Cara Produksi Pangan yang Baik dan sistem Hazard
Analysis and Critical Control Points (HACCP).
Pengawasan pangan fungsional dilaksanakan melalui kegiatan sebagai berikut:
1. Penetapan standar dan persyaratan keamanan, mutu dan gizi;
2. Penetapan standar dan persyaratan produksi dan distribusi;
3. Penilaian keamanan, mutu dan gizi produk serta label dalam rangka pemberian
surat persetujuan pendaftaran;
4. Pelaksanaan inspeksi dan sertifikasi produksi;
5. Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi;
6. Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium serta pemantauan label
produk;
7. Penilaian materi promosi termasuk iklan sebelum beredar dan pemantauannya
diperedaran;
8. Pemberian bimbingan dibidang produksi dan distribusi;
9. Penarikan dari peredaran dan pemusnahan;
10.
Pemberian sanksi administratif;
11.
Pemberian informasi.
V.
Klaim Keamanan/Pelabelan
Menurut peraturan BPOM tahun
2005, label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan
pangan. Label pangan fungsional wajib memenuhi Keputusan Kepala Badan POM No.
HK.00.05.52.4321 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan. Pelabelan dapat
dilakukan dengan mengajukan bukti ilmiah dan klaim untuk dilakukan penilaian
oleh Tim Mitra Bestari yang kemudian disetujui oleh Kepala Badan cq. Deputi
Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.
Adapun keterangan yang wajib
dicantumkan pada label produk pangan fungsional adalah: nama pangan, berat/isi
bersih, nama dan alamat perusahaan, daftar bahan yang digunakan, nomor
pendaftaran, waktu kedaluwarsa, kode produksi, informasi nilai gizi, keterangan
tentang peruntukan (jika ada), cara penggunaan (jika ada), keterangan lain jika
perlu diketahui (termasuk peringatan), dan penyimpanan.
VI.
Perizinan dan Regulasi
Perkembangan pangan fungsional
secara komersial pertama kali dimulai di Jepang dan setelah itu perkembanganya
merambah ke Amerika, Eropa, dan beberapa negara asia lainnya termasuk
Indonesia. Perkembangan pangan fungsional ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran
akan kesehatan dalam upaya tindakan preventif dan pandangan konsumen tentang
perbaikan kualitas hidup terutama di masa usia lanjut. Perubahan pola pikir dan
peningkatan pengetahuan tentang kesehatan menimbulkan permintaan terhadap
perbaikan mutu dan gizi dari bahan pangan.
A.
Pangan Fungsional di Jepang
Di Jepang perkembangan pangan fungsional juga didorong oleh komitmen
pemerintah Jepang yang gigih mengupayakan perbaikan mutu kesehatan para manula
yang jumlahnya meningkat tajam akhir-akhir ini. Karena tidak ada peraturan yang
jelas tentang klaim kesehatan untuk produk pangan fungsional menyebabkan banyak
terjadi penyalahgunaan klaim promosi. Perusahaan dengan mudahnya mengklaim
produknya berguna bagi kesehatan atau dapat mencegah penyakit tertentu tanpa
didasarkan pada penelitian yang tepat dan kajian ilmiah yang seksama.
Sejak tahun 1984, pemerintah
Jepang telah menyusun draft alternatif pengembangan pangan fungsional dengan
tujuan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis, agar dapat melindungi tubuh
dari berbagai penyakit, khususnya penyakit-penyakit degeneratif. Pemerintah
mengeluarkan regulasi khusus untuk pangan fungsional dengan melakukan
pendaftaran untuk mendapatkan persetujuan pemerintah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh Ministry of Health, Labor, and Welfare. Produk dengan
klaim yang telah memenuhi syarat akan mendapatkan label atau logo FOSHU (Food
for Specified Health Use) (Gambar 1) dan secara otomatis produk tersebut
dapat dipasarkan sebagai pangan fungsional.
Pada Tabel berikut disajikan
pengelompokan pangan fungsional berdasarkan FOSHU. Berdasarkan laporan dari The
Japan Health Food and Nutrition Food Association (JHNFA), saat ini ada 755
produk makanan dan minuman yang telah mendapat persetujuan oleh pemerintah dan
mendapatkan sertifikat FOSHU. Selanjutnya pada Gambar 2 disajikan tren pasar
produk FOSHU sampai dengan tahun 2008. Sebagai contoh, pada tahun 2007 pasar
produk FOSHU mencapai sekitar 7 milyar yen dan mengalami peningkatan sebesar
7,9 persen dibandingkan tahun 2005. Dari angka tersebut, 51 persen dari total
produk yang dipasarkan adalah produk-produk probiotik dan prebiotik yang
berhubungan dengan klaim kesehatan pencernaan dan kekebalan tubuh. Produk
pangan fungsional FOSHU juga tetap mengalami peningkatan sampai dengan tahun
2008 dengan angka 7.5 milyar yen.
Seperti telah
diketahui bahwa probiotik atau dikenal dengan mikroorganisme “baik” adalah
preparat yang terdiri dari mikroba hidup yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia
atau hewan secara oral. Mikroba hidup itu diharapkan mampu memberikan efek
fisiologis terhadap kesehatan manusia atau hewan dengan cara memperbaiki
sifat-sifat yang dimiliki mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia.
Beberapa produk FOSHU
lainnya mengandung komponen bioaktif yang berasal dari protein susu dan telah
terbukti mampu memberikan efek dapat menurunkan tekanan darah pada manusia jika
dikonsumsi setiap hari dengan dosis yang tepat (Saito, 2008). Mekanisme
penurunan tekanan darah produk ini adalah dengan menghambat kerja enzim angiotensin
I-converting enzyme (ACE); suatu enzim yang bertanggung jawab terjadinya
peningkatan tekanan darah. Pada di atas, disajikan dua produk yang sangat
populer di pasar Jepang. “Amile S” adalah produk susu fermentasi yang telah
dipasteurisasi yang diproduksi oleh Calpis Co., Ltd. (disetujui menjadi FOSHU
tahun 1999) mengandung peptida laktotripeptida IPP dan VPP. Sedangkan “Peptio”
adalah minuman ringan yang diproduksi oleh Kanebo Co., Ltd (disetujui menjadi
FOSHU tahun 2000) mengandung peptida dodekapeptida (DP) (FFVAPFPQVFGK).
Peptida-peptida tersebut sangat potensial sebagai bahan aktif untuk menurunkan
tekanan darah.
Untuk mendapatkan
logo FOSHU, pangan yang diproduksi dan beredar di Jepang harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
- Keefektifan pangan tersebut sudah terbukti secara nyata pada tubuh manusia.
- Tidak terdapat hal khusus mengenai keamanan pangan (tes toksisitas hewan, pemberitahuan efek samping jika dikonsumsi secara berlebihan.
- Menggunakan ingredien pangan yang sesuai (contohnya, tidak berlebihan dalam menggunakan garam).
- Terdapat jaminan sesuai dengan spesifikasi produk yang tertulis pada saat dikonsumsi.
- Terdapat metode kontrol kualitas, seperti spesifikasi produk dan ingredien, proses, serta metode analisis.
Di Jepang,
Kementerian Kesehatan, Pekerjaan, dan Kesejahteraan menyatakan bahwa suatu
pangan bisa disebut sebagai pangan fungsional jika memiliki kriteria sebagai
berikut:
- Pangan tersebut harus dapat meningkatkan fungsi diet dan kesehatan.
- Nilai positif gizi dan kesehatan harus terbukti kuat dengan hasil penelitian secara empiris.
- Anjuran konsumsi dari pangan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari ahli gizi dan kesehatan.
- Pangan dan komponen ingredien yang terkandung di dalamnya harus aman sesuai dengan diet seimbang.
- Ingredien pangan yang terdapat didalamnya harus terkarakterisasi secara jelas dalam hal sifat fisik dan kimia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (metode yang digunakan untuk menganalisa dari sifat tersebut harus disertakan dengan jelas)
- Ingredien pangan yang terdapat didalamnya tidak boleh menurunkan nilai gizi dari pangan tersebut.
- Pangan tersebut harus dikonsumsi sesuai dengan asupan dan cara yang normal.
- Pangan tersebut tidak boleh dalam bentuk tablet, kapsul, atau serbuk.
- Ingredien pangan yang terdapat didalamnya harus berasal dari komponen alami.
B.
Pangan Fungsional di Eropa
Sejak tahun 2007, Parlemen dan Dewan Uni Eropa telah mengesahkan peraturan
baru untuk bidang klaim gizi dan kesehatan terhadap pangan. Peraturan tersebut
diharapkan dapat memberikan keyakinan dan perlindungan kepada konsumen mengenai
kesalahpahaman ataupun klaim yang kurang benar. Selain itu diharapkan dapat
menciptakan iklim kompetisi yang sehat serta inovasi yang semakin berkembang
antar perusahaan pangan fungsional di Uni Eropa.
Hingga tahun 2004, terdapat 304 produk pangan dengan 503 komponen ingredien
fungsional yang teridentifikasi memiliki sifat fungsional yang beredar di pasar
Uni Eropa. Terdapat 168 perusahaan yang setidaknya minimum memproduksi satu
jenis produk pangan fungsional di Uni Eropa dengan rincian sekitar setengah
dari jumlah tersebut berkantor pusat di Jerman, selebihnya berkantor pusat di
Inggris, Spanyol, Belanda, Perancis, Italia, Austria, Finlandia, Belgia, dan Denmark.
Lebih jauh lagi terdapat sekitar 26 perusahaan Amerika, 11 perusahaan Jepang,
dan 30 perusahaan di luar Uni Eropa yang memasarkan produk pangan fungsionalnya
di Uni Eropa. Dalam pengajuan paten pangan fungsional, setidaknya terdapat
sepuluh perusahaan di Uni Eropa dengan lima belas pengajuan paten. Perusahaan
yang mengajukan paling banyak paten (5 buah) dalam kurun waktu 2001 adalah Societé
des produits Nestlé s.a. yang merupakan perusahaan berbasis di Swiss yang
bukan termasuk anggota negara Uni Eropa.
Sektor pangan
|
Jumlah produk
|
Persentase
|
Produk susu dan turunannya (termasuk yoghurt)
|
209
|
54,3
|
Minuman
|
116
|
30,1
|
Sereal
|
13
|
3,4
|
Produk kembang gula
|
12
|
3,1
|
Lemak dan suplemen lemak
|
12
|
3,1
|
Makanan bayi
|
9
|
2,3
|
Produk bakeri
|
6
|
1,6
|
Produk pangan jadi
|
5
|
1,3
|
Lain-lain
|
3
|
0,8
|
Total keseluruhan
|
385
|
100
|
*Produk pangan fungsional di pasar Uni Eropa tahun 2004 menurut sektor pangan
Jenis ingredien
|
Jumlah produk
|
Persentase
|
Kultur bakteri (terutama probiotik)
|
173
|
44,9
|
Sakarida (terutama prebiotik)
|
78
|
20,3
|
Ekstrak tanaman
|
53
|
13,8
|
Terpene
|
41
|
10,6
|
Lain-lain
|
37
|
9,6
|
Serat
|
35
|
9,1
|
Fenol
|
33
|
8,6
|
Peptida
|
30
|
7,8
|
Lipid
|
23
|
6
|
Total keseluruhan
|
503
|
130,6
|
* Produk pangan fungsional di pasar Uni Eropa tahun 2004 menurut ingredien pangan. Total keseluruhan pangan lebih dari 100 persen, hal ini dikarenakan suatu produk kadang-kadang mengandung dua atau lebih ingredien bioaktif.
Negara
|
Jumlah perusahaan pangan fungsional
|
Jerman
|
82
|
Inggris
|
22,5
|
Spanyol
|
20
|
Belanda
|
9,5
|
Perancis
|
7
|
Italia
|
7
|
Austria
|
5
|
Finlandia
|
4
|
Belgia
|
3
|
Denmark
|
3
|
* Jumlah perusahaan pangan fungsional serta lokasi kantor pusatnya di Uni Eropa pada tahun 2004. Untuk jumlah perusahaan yang kurang dari tiga maka digolongkan dalam lain-lain, selain itu salah satu perusahaan (Unilever) memiliki kantor pusat di Belanda dan Inggris.
VII. Daftar Pustaka
Aisyah, Yuliani.
2007. Pangan Fungsional : Makanan untuk Kesehatan. Artikel
pangan fungsional (diakses pada 29 Maret 2013)
Ardiansyah, Shirakawa, H., Koseki, T., Ohinata, K., Hashizume, K., and M.
Komai. 2006. Rice bran fractions improve blood pressure, lipid profile, and
glucose metabolism in stroke-prone spontaneously hypertensive rats. J.
Agric. Food Chem., hlm. 54, 1914-1920.
Diplock A, Aggett PJ,
Ashwell M, Bornet F, Fern EB, Roberfroid MB, ed. 1999. Scientific Concepts
of Functional Foods in Europe Consensus Document. Brit. J. Nutr. Cambridge:
Cambridge University Press. hlm. 81.
Goldberg, I. 1999. Functional Foods; Designer Foods, Pharmafoods,
Nutraceuticals. Maryland: Aspen Publishers. ISBN 0-8342-1688-4.
IFT Expert Panelist.
2005. Functional Foods: Opportunities and Challanges. Washington
DC: Institute of Food Technologist. hlm. 6.
Nugraheni, Mutiara.2008. Peranan
Makanan Bagi Manusia. Jurusan PTBB, FT UNY. Artikel (diakses
pada 29 Maret 2013)
Ohama, H., Ikeda, H., and Moriyama, H. 2006. Health food and food with
health claims in Japan. Toxicol., hlm. 221: 95-111.
Saito, T. 2008. Antihypertensive peptides derived from bovine casein and
whey proteins. Adv. in Exp. Med. and Biol., hlm. 606:295-317.
Watanabe, N., Fujimoto, K., and Aoki, H. 2007. Antioxidant activities of
the water-soluble fraction in tempeh-like fermented soybean (GABA-tempeh).
Int. J. Food Sci. Nutr., hlm. 58:577-587.
Yamada K, Sato-Mito N, Nagata J, Umegaki K. 2008. Health claim evidence requirements in Japan, The Journal of
Nutrition. American Society for Nutrition. hlm. 138:
1192S–1198S. PMID 18492856.
http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/id/informasi-terkini/111-pengembangan-pangan-fungsional-antioksidan (diakses pada 28 Desember
2013 pukul 13.24 WIB)
Wah artikelnya lengkap.
ReplyDelete