Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2015

Terima Kasih, Ibu

Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan perasaanku. Siang tadi aku menangis. Benar-benar menitikan air mata. Ya Tuhan, mengapa hatiku begitu rapuh? Mataku kembali mendelik, mencoba mencari objek baru untuk ditatap. Aku tak tahan. Air mata semakin menggenang. Tenggorokanku tercekat. Pedih sekali. Kedua matanya menatap serius ke arah layar laptop. Beliau sedang mencari file yang tak kunjung menampakkan diri sejak tadi. Kacamata yang beliau kenakan terlihat sedikit melorot, beliau tak peduli. Tangannya bergetar-getar. Mungkin tremor penanda kerentanan fisik akibat usia , batinku. Ketika beliau tertunduk, semakin jelaslah usianya. Rambut putih nampak di sana-sini. Rasanya jumlahnya menjadi lebih banyak dibanding kali pertama aku bertemu dengannya dahulu. Ah, Ibu... Beliau adalah Ibu Lucy, dosenku di salah satu mata kuliah Farmasi Klinik dan Komunitas. Dosen yang terkenal paling galak dan tegas terhadap mahasiswa. Tak segan untuk memarahi dan memaki di depan umum. Pun aku me

Tentang Selembar Pintu

Tok Tok Tok! Sebuah ketukan membuatnya terlonjak. Ia tak pernah sadar, bahwa suatu saat akan datang tamu lagi dan lagi untuknya. Kejadian ini bukan yang pertama, namun tetap saja, ia enggan membukakan pintu. Dalam kebingungan, ia diam. Tak lama, tamu itu pergi. Lagi. Ia mencoba mengingat kembali. Ia sadar, bukan karena tak ingin membuka pintu itu maka ia membisu. Tapi ia sungguh tak mampu, sebab kuncinya sudah terlanjur dibawa pergi oleh seorang tamu yang datang dan pergi tanpa meminta izin dan mengucap salam beberapa waktu lalu. Ia memandang kosong ke arah pintu itu. Jatuh terisak. Tiba2 ada sesak yang mendalam. Ia ingin keluar saja.

Prolog

Pagi itu mentari masih mendelik malu-malu. Dari kerendahan sini, cahayanya seperti terang-redup ditimpa raksasa awan yang bergumal melintas. Sebagian awan itu masih berpencar, rupanya persis seperti bulu domba yang lebat, putih bersih dan keriting menggemaskan. Bangunan-bangunan di sini sebagian besar masih terhitung rendah, rumah-rumah, masjid, warung-warung kecil, sekolah, kantor desa, tingginya rata-rata tidak lebih dari tiga meter. Inilah yang membuat keindahan langit dapat dilihat dengan jelas. Tidak ada penghalang yang perlu dirisaukan, kecuali pohon-pohon tinggi yang nampak terlalu tua tumbuh di tanah kami, serta rumah Pak Enung dengan ketinggian dua lantai yang baru saja selesai dibangun pekan lalu, rumah paling megah di satu kecamatan ini. Beralih ke petakan-petakan sawah yang letaknya persis di belakang rumah, tidak ada yang nampak istimewa. Di bilangan rukun tetangga kami, hampir tidak ada penduduk yang bekerja sebagai petani padi. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu petani di

Baper, yasudahlah

Ummi, besok malam pertama Ramadhan. Seberapa baik engkau mempersiapkan segalanya, Ummiku sayang? Tadi sore, banyak sekali runtutan kejadian yang mengingatkanku padamu. Setelah ashar, tidak sengaja, aku mengikuti sebuah pengajian yang diselenggarakan oleh ibu-ibu di perumahan Kebon Bibit Utara. Usia mereka sudah tidak lagi muda, pun lidah mereka nampak kelu meski untuk sekedar mengucapkan satu kata yang tertera di lembaran ayat suci Al Qur’an, namun entah mengapa mereka masih rela berpayah diri membacanya. Sesekali mereka mengobrol dan tertawa, sedang yang lain khusyu’ membaca, membuatku tersenyum simpul dan diam-diam menggelengkan kepala. Tadi sore mereka nampak senang, bahkan aku diundang untuk kembali bergabung di pertemuan selanjutnya. Katanya, jika aku tidak ada, mereka tidak akan segan untuk mengetuk pintu dan memaksaku mengajari mereka. Ummi, masihkah engkau mengaji di sana? Usai shalat maghrib, aku beranjak mengajar adik-adik TPA di masjid dekat Rusa. Di tengah pengaja

Untukmu, Ummi, Permintaan yang Tak Pernah Mampu Kusampaikan

Aku memperhatikan tingkahnya cukup sering. Dia adik didikku, pendidikannya baru mencapai Sekolah Dasar. Dia senang mengaji, dan tentu juga bermain. Sekali aku pernah melihatnya marah dalam putus asa. Sebab ketika dia ingin libur, teman-temannya justru kukuh ingin belajar mengaji. Apalah daya, dia merengut dan mengacungkan jari tengahnya hingga membuat kakak-kakak pengajar marah. Tapi tak lama, sebab setelah itu dia ikut bergabung bersama kami, meski kebisingannya tidak cepat kembali seperti bagaimana biasanya dia. Aku hanya mampu mengulum senyum saat itu. Kemarin malam, dia menghampiriku untuk menguji kemampuan Iqra Jilid II-nya yang terus saja mengalami beberapa kali pengulangan. Dia nampak bersungguh-sungguh, setidaknya itu yang kutahu. Pertama kali mendengarkan bacaannya, kukatakan bahwa dia tidak lulus dan harus mengulang di lain waktu. Lucunya, dia tak kunjung mau beranjak dari hadapanku sebelum dinyatakan lulus. Jadilah dia berkutat mencoba sampai empat kali pengulangan. Ak

Anekdot 7 Juni 2015

Hai, bagaimana kabarmu di sana? Tadi pagi, aku merasakan sebuah kejutan baru. Aku dan beberapa relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) mengunjungi Lapas Sukamiskin untuk mengadakan balai pengobatan. Sejujurnya aku sempat ragu untuk pergi, namun keingintahuanku terhadap kondisi Lapas yang sempat menuai banyak opini itu mengalahkan keinginanku untuk ikut menghadiri walimatul ‘ursy. Pada akhirnya, aku bersyukur bahwa keraguan itu tidak menghentikan jejak-jejak langkahku. Sekitar pukul delapan kami mulai memasuki gerbang depan. Di sana ternyata sudah banyak rekan lain menanti, beberapa di antaranya merupakan dokter, apoteker, analis, tak lupa perawat dari berbagai universitas. Aku sangat bangga bisa bergabung dengan tim tersebut, meski di sisi lain sifat minderku sesekali membuatku duduk di tempat lebih jauh. Aku ikut mengangkut beberapa kotak obat. Itu adalah sebuah aksi fisik yang patut kubanggakan, menurutku. Yah, sejenak merasa menjadi akhwat tangguh tak apalah :D Puku

Halo, Geng Baper :)

Tahukah kau kenapa menjelajah kota luar selalu terasa lebih menyenangkan? Karena di sana ada banyak pengharapan baru yang bisa ditemukan, sahabat-sahabat baru, kesenangan baru, pandangan baru, semua membaur jadi satu. Selama 5 hari kemarin, aku bergabung bersama 11 orang lainnya melakukan bakti sosial di 3 daerah secara serempak; hari pertama di Banjar, hari kedua berlibur di Pantai Pangandaran, hari ketiga kembali menekuni baksos di Ciamis, lalu berlanjut di Tasik, transit beberapa jam di Garut, hingga akhirnya keremukan badan bisa sedikit terobati begitu badan bertemu dengan kasur empuk di Rumah Sahabat. Rasa lelah tentu ada, tumpukan baju kotor sudah tak terhitung berapa pastinya, tapi segala pembelajaran ini membuat akalku menjarah hal-hal yang tidak pernah kutemukan sebelumnya. Aku luar biasa bahagia J Kami beranggotakan 12 orang, 6 pria dan 6 wanita. Kelima rekan (wanita) ku yang lain senang sekali memanggilku ‘Bocil’ alias ‘Bocah Kecil’, yang katanya sesuai sekali den