Pagi itu mentari
masih mendelik malu-malu. Dari kerendahan sini, cahayanya seperti terang-redup
ditimpa raksasa awan yang bergumal melintas. Sebagian awan itu masih berpencar,
rupanya persis seperti bulu domba yang lebat, putih bersih dan keriting menggemaskan.
Bangunan-bangunan
di sini sebagian besar masih terhitung rendah, rumah-rumah, masjid,
warung-warung kecil, sekolah, kantor desa, tingginya rata-rata tidak lebih dari
tiga meter. Inilah yang membuat keindahan langit dapat dilihat dengan jelas. Tidak
ada penghalang yang perlu dirisaukan, kecuali pohon-pohon tinggi yang nampak
terlalu tua tumbuh di tanah kami, serta rumah Pak Enung dengan ketinggian dua
lantai yang baru saja selesai dibangun pekan lalu, rumah paling megah di satu
kecamatan ini.
Beralih ke
petakan-petakan sawah yang letaknya persis di belakang rumah, tidak ada yang
nampak istimewa. Di bilangan rukun tetangga kami, hampir tidak ada penduduk
yang bekerja sebagai petani padi. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu petani di sini lebih
suka memelihara ikan-ikan, dari ikan lele, mujair, mas, bawal, hingga gurame,
yang sebagian besarnya memiliki daya jual tinggi dan mendapatkan sambutan cukup
baik di Pasar Kecamatan. Itulah mengapa keindahan padi yang menguning selalu
terasa mahal, sebab kami harus hijrah terlebih dahulu ke desa tetangga agar
bisa menikmati pemandangan sawah yang katanya memukau itu.
Sepagi ini jalanan
setapak nampak lengang. Bukan karena penduduk masih tertidur di kasurnya
masing-masing, tapi sebagian besarnya pasti sudah pergi ke Kecamatan. Ini hari
Sabtu, penduduk menyebutnya sebagai hari pasar. Pada hari ini, pasar di Kecamatan
ramai didatangi oleh penjual-penjual sembako, pakaian, sayur dan buah, termasuk
petani-petani kami yang hendak menjual ikan-ikan hasil tanam dari petakan sawahnya
masing-masing.
Di ujung jalan,
di atas pohon paling besar dan rimbun di kampung kami, adalah objek pemandangan
paling menarik kala pagi menampakkan diri. Sebab dari sanalah mentari melepas
selimut malam, memberikan kehangatan pada rerumputan dan manusia-manusia
kampung yang mendingin semalam suntuk. Termasuk memberikan izin bagi ayam-ayam
jantan untuk berkokok dan menghentikan kebisingan bagi para jangkrik serta
kodok di pesawahan. Namun dari balik kaca jendela kamar yang kecil dan penuh
debu, pemandangan itu selalu terlihat tidak utuh.
Ting Ting Ting!
“Bubur, Bubur...” teriak salah seorang penduduk desa tetangga yang setiap pagi
melewati jalanan setapak di kampung kami. Dialah Pak Nje, penjual bubur kacang
ijo yang banyak digandrungi dan diratapi oleh para Ibu di kampung. Bagaimana
tidak, jika setiap Pak Nje lewat dibarengi dengan teriakan khasnya, maka susul
bersusul akan terdengar suara tangisan anak-anak desa minta uang. Beberapa
mungkin diam saja, sebab di rumah, Ibu sudah menyiapkan menu sarapan pagi yang
lebih istimewa dibanding bubur kacang ijo Pak Nje. Tapi tidak untuk anak-anak
yang masih menyisakan rongga di sekitaran perut buncit mereka, apalagi
anak-anak yang memang terbiasa tidak disuapi rutin tiap pagi. Maka setelah itu,
jika Ibu-Ibu mulai risau, mereka tak akan segan memanggil Pak Nje, lalu tak lama
Pak Nje akan tersenyum dan menjajakkan gerobak reotnya di depan rumah para
pembeli.
Di sebuah rumah
di sepanjang jalananan kampung, seorang anak perempuan terlihat menundukkan pandangan
dengan pundak mengendur. Di depannya nampak sepasang sepatu kumal yang alasnya
sudah berlubang. Anak perempuan itu terlihat menahan tangis. Di saat anak lain
sibuk merengek minta makan, anak perempuan itu justru sibuk merenung begitu
dalam. Nur ingin sekolah, Ummi, batinnya.
“Nur, belikan
Abdul bubur!” Sebuah suara memberikan perintah dari dalam rumah. Nur mengusap
tetes air yang tertahan di sekitar kantung mata, lalu setengah berlari
masuk ke dalam rumah untuk menghampiri sumber suara. “Iya, Ummi...” katanya
lirih.

Comments
Post a Comment