Aku memperhatikan tingkahnya
cukup sering. Dia adik didikku, pendidikannya baru mencapai Sekolah Dasar. Dia
senang mengaji, dan tentu juga bermain. Sekali aku pernah melihatnya marah
dalam putus asa. Sebab ketika dia ingin libur, teman-temannya justru kukuh
ingin belajar mengaji. Apalah daya, dia merengut dan mengacungkan jari
tengahnya hingga membuat kakak-kakak pengajar marah. Tapi tak lama, sebab
setelah itu dia ikut bergabung bersama kami, meski kebisingannya tidak cepat
kembali seperti bagaimana biasanya dia. Aku hanya mampu mengulum senyum saat
itu.
Kemarin malam, dia menghampiriku
untuk menguji kemampuan Iqra Jilid II-nya yang terus saja mengalami beberapa
kali pengulangan. Dia nampak bersungguh-sungguh, setidaknya itu yang kutahu. Pertama
kali mendengarkan bacaannya, kukatakan bahwa dia tidak lulus dan harus
mengulang di lain waktu. Lucunya, dia tak kunjung mau beranjak dari hadapanku
sebelum dinyatakan lulus. Jadilah dia berkutat mencoba sampai empat kali
pengulangan. Aku terkesima.
Selama malam itu, apa yang
kuperhatikan padanya entah mengapa mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu itu
adalah diriku sendiri. Dia begitu gigih, tapi seringnya kegigihan itu tidak dibarengi
dengan perilaku yang tepat. Beberapa kali dia digoda teman-temannya, dicubit,
dibisiki, ditunjuk-tunjuk, entahlah apa saja cara mereka itu. Kemudian dia
merespon mereka dengan ikut berteriak hingga mengejar dan menendang babibu ke
tempat manapun yang mampu dia jangkau. Ketika salah mengeja, dia kembali
berteriak dan guling-guling marah di karpet, entah marah padaku yang tak
kunjung meluluskan atau pada dirinya sendiri yang tak kunjung paham. Di kesempatan
terakhir, saat kembali kukatakan padanya bahwa bacaannya masih belum benar, dia
kembali guling-guling di karpet dan menangis sedu sedan.
Aku menyadari sesuatu, bahwa
perilakunya seperti kebanyakan manusia, termasuk di antaranya adalah aku. Keinginanku
untuk mencapai mimpi-mimpi itu sangatlah besar, namun waktu yang
dianugerahkan-Nya terlalu banyak kugunakan untuk hal yang manfaatnya lebih
sedikit namun jelas membutuhkan energi jauh lebih besar. Ketika jalan yang kutempuh
salah, bukannya kembali dan membenarkan rute, aku sibuk mengeluh dan
menyalahkan orang lain, termasuk diriku sendiri. aku terlalu banyak berkutat
dengan perasaan-perasaan manusiawi yang tak ada ujungnya, tanpa mengiraukan
bahwa harusnya ada banyak energi dan waktu tersisa yang bisa kumanfaatkan dengan baik.
Ummi, sudah hampir 7 tahun
kuberanikan diri merantau di kota orang lain, meninggalkanmu dan adik-adik di
rumah. Dulu mimpiku begitu besar, aku ingin sekali mampu meng-upgrade
diri dan membangun desa kita. Aku meyakinkanmu bahwa aku mampu hidup mandiri, memberikan
banyak manfaat selama aku di sini. Aku menolak permintaanmu. Kukatakan dengan
mantap padamu bahwa aku akan menggantikan harapanmu dengan harapan baru yang
jauh lebih besar yang mampu kubanggakan padamu suatu saat nanti. Kemudian,
tiba-tiba, aku merasa akalku terlalu sempit, usahaku sedikit. Ummi, katakan
padaku, masihkah engkau ridha?
Ummiku sayang, meski tidak
sepantasnya kukatakan ini, tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Aku ingin
menjadi sandaran terbaik bagimu. Jangan terlalu sering memikirkan dan
mengkhawatirkanku, apalagi hingga menangis dan membisu. Percayalah, anakmu ini
akan tumbuh besar. Aku pergi dalam kebanggaan, kuharap begitupun ketika aku
pulang. Ummi, aku ingin menemui engkau di surga.
Bersabarlah sedikit lagi.
Jangan dulu pergi.
Bersabarlah sedikit lagi.
Jangan dulu pergi.
Comments
Post a Comment