Aku tak mengerti apa yang
terjadi dengan perasaanku. Siang tadi aku menangis. Benar-benar menitikan air
mata. Ya Tuhan, mengapa hatiku begitu rapuh?
Mataku kembali mendelik,
mencoba mencari objek baru untuk ditatap. Aku tak tahan. Air mata semakin
menggenang. Tenggorokanku tercekat. Pedih sekali.
Kedua matanya menatap serius
ke arah layar laptop. Beliau sedang mencari file yang tak kunjung
menampakkan diri sejak tadi. Kacamata yang beliau kenakan terlihat sedikit
melorot, beliau tak peduli. Tangannya bergetar-getar. Mungkin tremor penanda
kerentanan fisik akibat usia, batinku. Ketika beliau tertunduk, semakin
jelaslah usianya. Rambut putih nampak di sana-sini. Rasanya jumlahnya menjadi
lebih banyak dibanding kali pertama aku bertemu dengannya dahulu. Ah, Ibu...
Beliau adalah Ibu Lucy,
dosenku di salah satu mata kuliah Farmasi Klinik dan Komunitas. Dosen yang
terkenal paling galak dan tegas terhadap mahasiswa. Tak segan untuk memarahi
dan memaki di depan umum. Pun aku mengalaminya pekan lalu, dimarahinya hingga
setengah jam lamanya, membuatku memasuki kelas Farmakologi-Toksikologi III
dengan wajah sembab hingga membuat temanku bertanya-tanya. Bukan karena
tersinggung, sungguh, melainkan karena merasakan perhatian yang begitu besar
pada setiap teriakan dan lontaran amarah yang beliau tumpahkan padaku saat itu.
Aku tertohok, apa yang disampaikannya adalah kebenaran, meski seolah mendapat
lemparan baju kotor tepat di muka.
Aku yakin beliau adalah orang yang sangat baik. Meskipun terkadang keluar kata kasar dari lidahnya, itu sama sekali tak mengubah paradigmaku terhadapnya. Meskipun peristiwa pekan lalu secara tak disangka membuatku menumpahkan air mata hingga berlarut-larut dalam hitungan hari, kekagumanku padanya justru semakin besar. Terlebih, aku semakin mencintai bidang keilmuan yang kini kujalani. Oh Tuhan, andai saja setiap mahasiswa mengetahui bagaimana caranya memperhatikan perkembangan setiap anak, aku sangat yakin tidak akan ada mahasiswa yang berani membuatnya tersinggung.
Siang tadi, beliau meminta kami
memberikan catatan mata kuliah semester lalu. Beliau hendak mengajarkan kami
mata kuliah tersebut, padahal itu sama sekali bukan bagiannya. Ah, Ibu, terlalu
banyak kasih sayang yang engkau beri, sedang kami tidak mampu membalas meski
satu kepal banyaknya.
Berbicara tentang orang tua,
membuatku selalu teringat dengan Ummi di rumah. Entah apa yang terjadi. Mengingatnya
selalu memicu segala perasaan melankolis untuk ditumpah ruah. Kadang aku hanya
bersiteguh tidak ingin mengeluh, tapi tak jarang pula kerinduan yang tertahan
justru semakin membuat sesak.
Kecintaan yang terbentuk untuknya masih sangat besar. Kadang aku begitu egois karena tidak mau membaginya pada siapapun. Jika sekedar untuk mencurahkan rasa, aku tak butuh pengganti untuknya. Mungkin itulah sebabnya sampai kini aku tak pernah berani meninggalkannya, menjadi sosok wanita yang baik untuk seorang pria. Aku memaklumi, tidak semua orang harus beruntung mendapatkan cinta, karena ada juga orang-orang yang harus terus membersamai keluarganya. Mungkin aku adalah salah satu dari sekumpulan orang tersebut.
Comments
Post a Comment