Skip to main content

Suatu Siang di Waktu yang Lain

Nur mengingatnya dengan sangat jelas. Suatu siang yang terik di sebuah rumah yang nampak sangat lengang. Di halaman depan rumah yang cukup megah itu hanya tersuguh pemandangan pohon mangga dengan buah-buah ranum yang siap dipetik serta satu ekor ayam jago yang mondar-mandir mengawasi sejak tadi. Di bagian teras terjejer rapi pot-pot tanaman hias meski keseluruhannya hijau tanpa variasi warna yang lain. Ada satu pancuran air di dekat pohon, gemericiknya membuat dahaga terbayar sudah setelah satu jam lalu sebuah perjalanan panjang dilakoni Nur dan Emak.

Rumah itu bercat putih gading. Dekorasi halaman yang dipadukan dengan tampilan dinding serta kaca membuat Nur meyakini bahwa pemilik rumah pastilah seseorang yang memiliki selera tinggi terhadap desain. Rumah itu terkesan elegan meski minimalis. Ada sisipan warna merah hati di sekitar sisi genteng, seolah mempertegas bahwa bahkan proses pengecatan rumah memiliki pengaturan yang rumit.

Nur mendelik ke samping kiri. Emak terlihat hanyut dalam lamunannya, mengabaikan Nur yang matanya sudah berkaca-kaca serta hidung memerah. Nur menggigit bibir, tak tahu apalagi yang harus dikatakan. Di depannya terduduk sosok itu, sosok yang telah dinantikannya setelah hampir satu pekan. Satu sosok yang membuatnya tak urung merebahkan diri dalam ketenangan dan menyunggingkan senyum meski sesaat. Sosok yang membuat dadanya sesak oleh campuran harap dan kebencian. Nur sudah tidak bisa mengendalikan diri, tetes demi tetes air tegelincir juga dari kantung matanya yang sayu.

“Kok nangis, Nur?” sosok itu akhirnya bertanya. Nur tahu, kalimat itu sekedar basa basi. Ia hanya ingin menyembunyikan dirinya yang kikuk setelah Nur dan Emak menemuinya tadi, sedang asik memetik buah mangga bersama kawan-kawannya yang lain, sedangkan Nur dan adik-adiknya di rumah kelaparan selama beberapa hari kemarin. Nur terlanjur menumpahkan kebencian di dalam dadanya, marah kepada dirinya sendiri yang entah mengapa mengagumi sosok itu selama 12 tahun usianya. Nur diam.

Kemarin, saat Nur pulang sekolah dari SD yang jaraknya mencapai satu kilometer dari rumah, seorang tetangga menyapanya ramah dan mengatakan bahwa Ummi Nur baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki bongsor berkulit putih dan rambut ikal. Nur sangat bahagia, ini adalah hadiah terindah yang diterimanya selain selembar piagam juara umum kelas yang digenggamnya sejak tadi. Nur patut meredakan kemarahannya karena pagi ini di saat banyak orang tua hadir ke sekolah untuk mengambil raport siswa, ia yang mendapatkan piagam terbaik, justru tidak disertai oleh orang tua sehingga membuat banyak guru bertanya-tanya. Kini Nur dapat merasa lega, mungkin inilah sebab kedua orang tuanya tidak hadir di acara pembagian raport sekolah tadi pagi. Alhamdulillaah Dedek sudah lahir, gumamnya. Karena merasa sangat bahagia, Nur sampai tak sadar bahwa ia berjalan tanpa alas kaki dan pita merah yang menghiasi lembar piagamnya tercecer dan terbuang di sepanjang jalan.

Begitu sampai di rumah, benarlah, kebahagiaan yang dirasakannya semakin membuncah. Adik laki-lakinya itu lahir dengan berat di atas rata-rata bayi normal, kulitnya putih dan hidungnya mancung. Baunya sangat harum, Nur tak henti menciuminya dan berbisik memuji ketampanannya. Nur tidak peduli bahwa adiknya belum mengerti setiap kata yang ia dengar, Nur hanya ingin merasakan kepuasan mengungkapkan rasa kasihnya kepada adik ketiganya itu. “Kamu ganteng, Dek, melebihi semua aktor India yang pernah Teteh tonton di televisi!” katanya. Ummi terkekeh melihat tingkah Nur, beberapa kali menjawil telinganya untuk mengingatkan bahwa bayi yang baru lahir lebih rentan terkena kuman jika terlalu sering diciumi. Apalagi dengan ciuman Nur yang menjalar dari dagu hingga kening tanpa jeda dan tanpa tahu aturan.

Sejak balita, Ummi tahu persis perangai Nur sudah jauh terbentuk. Nur cenderung keras kepala dan sangat agresif terhadap segala hal yang ditemuinya. Banyak orang mengenal Nur sebagai anak perempuan dengan pembawaannya yang ceria dan sangat spontan, bahkan terkadang tidak tahu malu, sehingga banyak orang selalu tertawa dibuatnya. Nur senang sekali berceloteh, membahas segala topik dengan pertanyaan-pertanyaannya yang aneh bahkan terkadang absurd, termasuk untuk setiap iklan yang ditonton dan menarik perhatiannya.

Pernah suatu ketika, saat Nur masih duduk di kelas 2 SD, ia sempat tertarik dengan sebuah iklan sabun mandi yang mengatakan bahwa sabun mandi tersebut membuat penggunanya merasa seperti mandi susu. Setelah menonton iklan tersebut, ada banyak pertanyaan yang tiba-tiba melesat di kepalanya. Menyadari Teh Ratna, kakak sepupu yang usianya tiga tahun lebih tua duduk di sampingnya dan menonton iklan yang sama, Nur menanyakan padanya dengan sungguh-sungguh.

“Teh, memangnya mandi dengan air susu itu seperti apa?” wajahnya polos, rasa ingin tahunya sangat besar. Teh Ratna berpikir sejenak, mencari kalimat terbaik untuk menjawab.

“Gak ada, Nur. Di iklan kan menggunakan kata ‘seperti’, berarti gak bener-bener terjadi” katanya.

“Kalo memang gak ada orang yang pernah mandi dengan air susu, kenapa iklannya bisa bilang begitu? Memangnya mereka tahu rasanya mandi dengan air susu?”

Teh Ratna menyerah. Ia lebih memilih diam dibanding menjawab pertanyaan anak kecil di sampingnya.

Selalu begitu, Nur paling tahu bagaimana cara membuat orang kesal dan bingung. Nur tak pernah sadar bahwa terkadang pemikirannya terlalu random dan membuat resah orang-orang di sekitar. Nur hanya tahu bagaimana cara bertanya, dan Ummi selalu menjawab setiap pertanyaan-pertanyaannya itu dengan caranya yang bijak.

Hanya saja, perangai itu perlahan melunturkan diri. Setelah ada banyak hal menimpa secara tiba-tiba, Nur lebih banyak diam dan memendam semua hasratnya. Nur tumbuh dewasa lebih cepat dibanding anak-anak seusianya. Ia diam meski menginginkan sesuatu, seringnya bersikap seolah tidak tahu dan tidak mau tahu. Ia tetap ramah meski hatinya gusar dan membenci, berpura-pura tidak ada yang terjadi saat satu per satu sahabat dekatnya menarik diri menjauh, meninggalkan Nur dengan kondisi keluarga yang mulai terpuruk. Hingga tidak terasa terbentuklah sosok baru Nur, tertutup dan pandai memasang keceriaan palsu. Sayangnya, Ummi selalu tahu.

Ummi memandang penuh kasih ke arah putri satu-satunya itu. Nur yang baru tersadar dipandangi sejak tadi balas menatap Ummi lalu tersenyum.

Setelah cukup lama, Nur akhirnya sadar bahwa ada satu sosok yang kurang. Bukan adik kedua atau ketiganya yang sejak tadi asik mengaduk-aduk kue beras di mangkuk, bukan Emak yang sibuk memijat kaki bengkak Ummi, bukan peraji yang masih sibuk membersihkan selimut dari darah di kamar mandi, apalagi Ummi yang lemas berselonjor setelah menahan sakit atas prosesi melahirkan tadi pagi. Ini sosok lain, sosok yang sudah sejak empat hari lalu tak terlihat batang hidungnya. Nur memandang ke segala arah, berharap menemukan sosok itu. Karena tak kunjung menemukannya, Nur beranjak, setengah berlari ke arah dapur dan kamar mandi.

“Ummi, Bapak ke mana?” katanya, setengah tersengal. Ummi hanya menatap kosong, urung menjawab. Emak pun sama, tetap fokus pada pijatannya.

“Ummi, ini sudah hari kelima Bapak gak pulang” Nur mengingatkan, seolah Ummi lupa. Namun masih sama seperti tadi, Ummi tetap membalas dengan tatapan kosong. Kerongkongan Nur tercekat.

Setelah kejadian itu, seharian Nur menghabiskan waktu dengan membaca. Bagi Nur, membaca adalah sebuah peralihan emosi yang paling baik dan paling produktif. Jika sudah kehabisan kata dan enggan mengungkapkan semua perasaan, Nur memilih berlarut-larut dalam buku-bukunya. Sayangnya, Ummi selalu tahu.

“Nur, besok kamu dan Emak ke tempat Pak Satiri saja, bagaimana?” Tanya Ummi, sambil menyentuh halus pundak Nur. Nur enggan menjawab, wajahnya masih tertunduk dan pura-pura asik membaca. “Pak Satiri itu rekan bisnis Bapak. Kata orang, Bapak sering datang ke rumahnya untuk membahas urusan kerja” Ummi melanjutkan. Nur tetap diam.

Maka siang ini, meski harus membolos sekolah dan membawa ongkos seadanya, Nur dan Emak memutuskan pergi ke kediaman Pak Satiri. Nur berharap dapat memberitahu Bapak bahwa Ummi sudah berjuang, adiknya lahir dengan sehat dan juga sangat tampan. Di kedalaman hatinya, Nur teguh meyakini bahwa Bapak pun sama, di sini sedang berjuang mengembalikan kondisi keluarga seperti dulu. Itulah sebabnya Bapak tak kuasa pulang meski untuk sekedar melihat kondisi Ummi dan adik-adiknya. Hingga pada akhirnya, semua yang dilihatnya justru menghantam keyakinannya bertubi-tubi, membuat dadanya sesak hingga satupun kata tak mampu keluar, selain bulir-bulir air mata yang deras mengalir. Oh Ummi...

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...