Bismillaah
Sedikit
mengkritik tentang kejadian yang baru saja saya alami beberapa waktu ini.
Semoga apa yang tersurat tidak mengurangi pemaknaan yang tersirat di dalamnya.
Dan lagi, semoga apa yang disampaikan masih dalam koridor kebaikan sehingga
keberkahan masih dapat mengalir ke setiap intisari pemikiran.
Kawan,
di empat hari waktu libur kemarin, saya putuskan untuk mengunjungi pemerintah
daerah tingkat desa. Untuk mencapai tempat itu, saya harus menaiki angkot arah
Parung dengan lama waktu kurang lebih sepuluh menit, ditambah jalan kaki sejauh
kurang lebih dua puluh meter dari jalan raya.
Perlahan
saya menelusuri jalanan setapak menuju Kantor Kepala Desa. Kaki saya sibuk
memperhatikan sepatu karet hitam saya yang mulai dilapisi lumpur cokelat,
ditambah gerimis yang sejak tadi nyaris tak mau berhenti mengguyur kerudung
saya yang terlanjur kuyup. Beberapa kali sepeda motor melintas, sayangnya
Bapak/Ibu pengemudi melaju tak tahu diri. Meski genangan air jelas terlihat,
sepeda motor itu enggan berpacu pelan, sehingga jadilah, rok lebar saya basah
terkena cipratan air. Yang lebih gila lagi, di sepanjang jalan, imajinasi saya
mengalir liar. Saya memikirkan tentang hiruk pikuk Kantor Balai Desa yang penuh
sesak karena banyaknya warga yang berkunjung dengan berbagai keperluan, staff
kantor yang sibuk memegang gagang telepon karena banyaknya perkara yang harus
ditangani, teriakan staff lain yang meminta pengantaran berkas tanda tangan dan
administrasi desa, Bapak Penjaga Kebersihan yang mondar-mandir menyapu dan
mengepel lantai basah, serta berbagai kejutan lain yang menurut saya akan cukup
'wow' untuk dilihat.
Namun,
saat kedua kaki saya benar-benar bertandang di teras kantor, akhirnya saya
sadar bahwa imajinasi saya tidaklah nyata. Alih-alih ricuh, kantor itu terlihat
sangat tenang. Gemericik air jelas menjadi satu-satunya penghibur, di pojok
teras air berhamburan sehingga membuat taman kantor terlihat lebih hidup. Saya
menatap bangku kayu panjang di seberang pintu utama, entah mengapa saya merasa
bangku itu terlihat menyedihkan. Tak ada aktivitas tunggu, tak ada perlu.
"Nampaknya dia kesepian" kata saya bergumam.
Sedikit
kecewa, tapi tetap saya paksakan diri melanjutkan tujuan awal. Saya menghampiri
beberapa staff kantor, sebagiannya terlihat ramah dan tampak masih muda. Dari
sekilas informasi, barulah saya mengerti bahwa ternyata di kontor tengah
dilaksanakan rapat kerja. Alih-alih menyimak isi pembicaraan yang diangkat
dalam rapat tersebut, saya justru asik bercakap-cakap dengan salah satu staff
bagian administrasi di sana. Saya bertanya random, apa yang terlintas di
pikiran seketika itu juga saya sampaikan. Hingga pada satu titik, pembahasan
kami mulai mengarah pada mekanisme pemilihan Kepala Desa.
"Pak,
syarat menjadi Kepala Desa itu apa saja?" tanya saya penasaran.
"Asal
punya kemauan, semua orang bisa mendaftarkan diri menjadi Kepala Desa,
Neng" katanya meyakinkan. Beliau menjelaskan panjang lebar, bahwa untuk
menjadi Kepala Desa terdapat tiga unsur utama untuk dimiliki seseorang; empati
dalam bergaul, relasi, dan gelar tingkat pendidikan.
"Saya
dari jurusan Farmasi, Pak. Kalo saya mau daftar jadi Kepala Desa, apakah itu
bisa?" Saya mencoba rasional. Bapak tersebut kemudian kembali menjelaskan
dengan sangat rinci, terutama peraturan pemilihan Kepala Desa yang tidak
membatasi bidang keilmuan dari latar belakang pendidikan.
Saya
terheran, sebab saya merasa aturan itu sedikit tidak masuk akal. Dalam
pandangan saya, seorang Kepala Desa adalah pemimpin berkelas, sehingga sudah
sepatutnya ia memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai, yang setidaknya
mampu mendukungnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa. Saya tidak
sekedar menginginkan seorang Kepala Desa yang arif dan santun, tapi juga Kepala
Desa yang paham tentang kondisi pasar, manajemen masyarakat dan fasilitas desa,
kebutuhan pendidikan anak-anak, serta hal lain yang pasti sangat krusial dan
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
"Di
desa sebelah sudah ada Kepala Desa perempuan, Neng. Beliau masih muda pula.
Tapi sayangnya di sini belum ada. Mungkin kalo Neng mau, Neng bisa jadi Kepala
Desa perempuan pertama di sini" Bapak tersebut tersenyum simpul.
"Mungkin
begini juga baik" gumam saya. Sejujurnya aturan seperti ini memang
memudahkan, terutama untuk orang-orang seperti saya yang mempunyai minat besar
akan pemerintahan. Meski di sisi lain, saya tetap tidak merasa puas dengan
aturan tersebut.
Comments
Post a Comment