Skip to main content

Mampir (Part 1)

Bismillaah

Sedikit mengkritik tentang kejadian yang baru saja saya alami beberapa waktu ini. Semoga apa yang tersurat tidak mengurangi pemaknaan yang tersirat di dalamnya. Dan lagi, semoga apa yang disampaikan masih dalam koridor kebaikan sehingga keberkahan masih dapat mengalir ke setiap intisari pemikiran.

Kawan, di empat hari waktu libur kemarin, saya putuskan untuk mengunjungi pemerintah daerah tingkat desa. Untuk mencapai tempat itu, saya harus menaiki angkot arah Parung dengan lama waktu kurang lebih sepuluh menit, ditambah jalan kaki sejauh kurang lebih dua puluh meter dari jalan raya. 

Perlahan saya menelusuri jalanan setapak menuju Kantor Kepala Desa. Kaki saya sibuk memperhatikan sepatu karet hitam saya yang mulai dilapisi lumpur cokelat, ditambah gerimis yang sejak tadi nyaris tak mau berhenti mengguyur kerudung saya yang terlanjur kuyup. Beberapa kali sepeda motor melintas, sayangnya Bapak/Ibu pengemudi melaju tak tahu diri. Meski genangan air jelas terlihat, sepeda motor itu enggan berpacu pelan, sehingga jadilah, rok lebar saya basah terkena cipratan air. Yang lebih gila lagi, di sepanjang jalan, imajinasi saya mengalir liar. Saya memikirkan tentang hiruk pikuk Kantor Balai Desa yang penuh sesak karena banyaknya warga yang berkunjung dengan berbagai keperluan, staff kantor yang sibuk memegang gagang telepon karena banyaknya perkara yang harus ditangani, teriakan staff lain yang meminta pengantaran berkas tanda tangan dan administrasi desa, Bapak Penjaga Kebersihan yang mondar-mandir menyapu dan mengepel lantai basah, serta berbagai kejutan lain yang menurut saya akan cukup 'wow' untuk dilihat.

Namun, saat kedua kaki saya benar-benar bertandang di teras kantor, akhirnya saya sadar bahwa imajinasi saya tidaklah nyata. Alih-alih ricuh, kantor itu terlihat sangat tenang. Gemericik air jelas menjadi satu-satunya penghibur, di pojok teras air berhamburan sehingga membuat taman kantor terlihat lebih hidup. Saya menatap bangku kayu panjang di seberang pintu utama, entah mengapa saya merasa bangku itu terlihat menyedihkan. Tak ada aktivitas tunggu, tak ada perlu. "Nampaknya dia kesepian" kata saya bergumam.

Sedikit kecewa, tapi tetap saya paksakan diri melanjutkan tujuan awal. Saya menghampiri beberapa staff kantor, sebagiannya terlihat ramah dan tampak masih muda. Dari sekilas informasi, barulah saya mengerti bahwa ternyata di kontor tengah dilaksanakan rapat kerja. Alih-alih menyimak isi pembicaraan yang diangkat dalam rapat tersebut, saya justru asik bercakap-cakap dengan salah satu staff bagian administrasi di sana. Saya bertanya random, apa yang terlintas di pikiran seketika itu juga saya sampaikan. Hingga pada satu titik, pembahasan kami mulai mengarah pada mekanisme pemilihan Kepala Desa.

"Pak, syarat menjadi Kepala Desa itu apa saja?" tanya saya penasaran.

"Asal punya kemauan, semua orang bisa mendaftarkan diri menjadi Kepala Desa, Neng" katanya meyakinkan. Beliau menjelaskan panjang lebar, bahwa untuk menjadi Kepala Desa terdapat tiga unsur utama untuk dimiliki seseorang; empati dalam bergaul, relasi, dan gelar tingkat pendidikan.

"Saya dari jurusan Farmasi, Pak. Kalo saya mau daftar jadi Kepala Desa, apakah itu bisa?" Saya mencoba rasional. Bapak tersebut kemudian kembali menjelaskan dengan sangat rinci, terutama peraturan pemilihan Kepala Desa yang tidak membatasi bidang keilmuan dari latar belakang pendidikan.

Saya terheran, sebab saya merasa aturan itu sedikit tidak masuk akal. Dalam pandangan saya, seorang Kepala Desa adalah pemimpin berkelas, sehingga sudah sepatutnya ia memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai, yang setidaknya mampu mendukungnya dalam melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa. Saya tidak sekedar menginginkan seorang Kepala Desa yang arif dan santun, tapi juga Kepala Desa yang paham tentang kondisi pasar, manajemen masyarakat dan fasilitas desa, kebutuhan pendidikan anak-anak, serta hal lain yang pasti sangat krusial dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.

"Di desa sebelah sudah ada Kepala Desa perempuan, Neng. Beliau masih muda pula. Tapi sayangnya di sini belum ada. Mungkin kalo Neng mau, Neng bisa jadi Kepala Desa perempuan pertama di sini" Bapak tersebut tersenyum simpul.

"Mungkin begini juga baik" gumam saya. Sejujurnya aturan seperti ini memang memudahkan, terutama untuk orang-orang seperti saya yang mempunyai minat besar akan pemerintahan. Meski di sisi lain, saya tetap tidak merasa puas dengan aturan tersebut.

Comments

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...