Di
persinggahan bara, saya menitipkan seonggok tanda tanya. Di dalam batin ini,
ada sekelumit bingung yang menghimpit, sangat mengganggu.
Hari
itu, Allaah menempatkan saya pada satu diskusi panjang. Isya sudah menjelang,
dan diskusi masih saja jauh bergulir. Saya terduduk canggung, mendapati diri
saya telah banyak meminta waktu. "Maafkan saya, saya hanya kalut. In
syaa Allaah ini demi hari baik kemudian" batin saya mengunci.
Saya
terduduk dan termangu di sebuah sofa yang cukup nyaman untuk berpikir. Di
sebelah saya, seseorang lainnya, juga diam menunggu. Di depan kami ada meja
kaca, lengkap dengan taplak putih berenda yang membuatnya tampak indah. Di
bawahnya tertumpuk beberapa kertas HVS bergambar yang sedikit berdebu karena
mungkin sudah terlalu lama terjebak di sana. Di seberang meja itu, kakak
tingkat saya, seseorang yang selalu menuntun saya dalam berbagai putusan besar
yang saya pikir tidak mampu saya pecahkan sendiri. Saya tidak yakin dengan
segala hal yang melintas di dalam kepala, namun pastinya, percakapan ini sudah
mendekati limit waktu. Saya sadar, saya dan sahabat saya harus segera beranjak
pergi.
“Teteh
gak akan follow up, Sih, sampe mas’ulnya sendiri yang minta.” Beliau berkata
tegas, nyaris tanpa keraguan sama sekali dalam suaranya, “Kamu tahu sistem
kita, gak bisa sembarang tarik”.
Saya
menunduk, wajah saya rasanya memanas. Saya ingin menangis, sungguh, saat itu
juga kalau bisa. Namun, entah bagaimana, ego saya selalu berhasil memimpin.
Harga diri saya yang tinggi memaksa saya untuk berhenti, “Hanya orang lemah yang patut
menangis” katanya. Saya
putuskan untuk tetap diam.
Sahabat
saya masih menunggu, namun jelas ia mulai resah karena tidak sabar dengan
percakapan ini yang berjalan sangat lamban. “Sih, yuk pulang, bentar lagi isya”
ia mulai setengah memaksa.
Kedua
tangan saya secara naluriah mencengkeram bagian bawah baju, melipat-lipatnya
hingga terlihat kucal dan kumal oleh keringat dingin yang menjalar di sekujur
telapak tangan saya itu. Saya menggigit bagian bawah bibir, berharap itu bisa
membuat saya lebih tegar. Jauh di lubuk hati, di suatu sudutnya, ada kesedihan
yang tengah bersembunyi. Tanpa sadar saya berdiri, “Yuk pulang”.
Kakak
tingkat saya tidak berhenti menatap saya. Saya yakin, beliau melihat raut
kekecewaan saya yang sangat dalam. Tapi apalah daya, ini adalah sistem yang
sudah disepakati. Tidak baik merusaknya, apalagi jika sekedar untuk menuruti
ego seorang remaja yang semangatnya masih tidak dapat diprediksi seperti saya
ini.
“Mungkin
memang belum waktunya, Sih” :’)
Comments
Post a Comment