Sore itu
saya sedang berdiri kaku di tepi trotoar, sekedar untuk menatap mentari yang
beranjak pergi. Di kejauhan, ia masih mengintip malu-malu di balik awan.
Sesekali sekawanan burung yang mencari sarang berteduh, saya kira,
melintas di antara saya dan mentari itu. Di kejauhan yang lain, ada asap
mengepul yang tak sabar menunggu antrian, warnanya hitam pekat dan terlihat
seperti apusan krayon abu dari tempat saya berdiri.
Saya
terpana, menyadari bahwa Kota Bandung tempat saya merantau ini ternyata sudah
bukan lagi kota petani, melainkan kerajaan besar karyawan dan karyawati
industri. Seksama saya tatap langit tadi, ia sudah tak mampu menampakkan
kecerahan yang saya harapkan. Meski enggan, akhirnya saya menyerah. Saya seret
langkah menuju tempat peristirahatan.
“Sih,
emang apa salahnya menikah dulu sebelum kamu beneran hijrah?”
Sahabat
saya, yang sejaki tadi berdiri di pinggir saya, lagi-lagi menanyakan hal yang
sama. Mungkin karena tak kunjung mendapat jawaban, ia masih bersikeras bertanya
lagi dan lagi, hingga rasanya saya ingin meninggalkannya sendirian dan pergi
menjauh. Ia menatap saya lekat sambil berusaha menyamai irama langkah saya yang
terburu-buru.
Baiklah,
saatnya menjawab...
“Kamu
tahu, kita punya tiga unsur yang melekat pada diri setiap orang; ego, nurani,
akal”, kata saya, dan ia mendengarkan dengan sangat baik.
“Lalu?”
tanyanya.
“Saat
ini, kupikir, egoku sudah berjalan jauh mendahului dua unsur lainnya.”
“Kalo
gitu, kamu jangan egois!” Lagi, fatwanya menyembur keluar.
“Ah, Please jangan
lagi...”
Comments
Post a Comment