Ketika
TPB, otak gue gak pernah menyentuh satupun komponen yang ada di dalamnya. Gue
masih asik main2 di kampus, gabung unit sana dan sini, kenalan sama
mahasiwa-mahasiswi dari yang termuda hingga yang tertua, bahkan alay gue masih
bertahan dan mengakar di alam bawah sadar.
Masuk
tingkat dua, rasanya gue mulai kenal kakak-kakak yang katanya lagi sibuk
ngedraft. Gue liatin air muka mereka yang keras mikirin setiap latar belakang,
tujuan, rumusan, pustaka dan segala aksesoris yang dibutuhkan dalam lembaran syarat
kelulusan itu. Gue masih cuek, dengan pedenya beranggapan bahwa waktu gue
berhadapan dengan satu sosok itu (TA) masih lama, jadi gue putuskan melanjutkan
kegiatan main2 gue di kampus.
Di
tingkat tiga, gue mulai ketemu dengan hantu2 berjalan di kampus. Beberapa
meluapkan depresinya di medsos (gue masuk kelompok yang ini kayanya), beberapa
memilih ansos dan fokus beresin draft di kosan yang terkadang membuat mereka
gak mandi berhari2, beberapa masih santai karena ngerasa TA itu mudah, dan
sisanya memilih membiarkan TAnya tertumpuk di kepala sambil melanjutkan
kegiatan lainnya di luar kampus.
Kini
jatah waktu gue tiba. Kaki gue mulai kerasa kebas karena udah terbiasa survey
lapangan (rumah sakit), tangan gue yang awalnya gemulai tiba-tiba berubah menjadi
ganas setiap berhadapan dengan keyboard laptop, terlebih lagi, gue mulai
terbiasa bangun setiap satu jam sekali di sela2 tidur dan itu rasanya bikin gue
stress luar biasa. "Kapan ini akan berakhir?" adalah kalimat pembuka
yang tanpa sadar selalu muncul ketika gue bangun tidur di pagi hari.
TA itu
DIKERJAIN, Sih, bukan CUMA dipikirin!
Oh,
baiklah...
Comments
Post a Comment