Mencermati
kisruh yang terjadi dalam beberapa dekade ke belakang, saya tertarik dengan
studi revolusi yang dipelajari oleh para antropolog dan sejarawan dunia. Saya
sadar bahwa saya mempunyai keterbatasan yang tidak sedikit pada ilmu geografi,
meski demikian, saya senang bisa mempelajari setiap detail dialektika yang
merebas secara perlahan melalui jejaring internet dan buku-buku perpustakaan.
Setelah
membaca satu persatu konsep ideologi dan tingkah laku masyarakat, saya tertarik
pada satu bahasan mengenai imperialisme dan kolonialisme. Saya tertawa kecil
melihat cantuman periode yang diberikan, seolah peristiwa ini hanya terjadi di
masa penjajahan. Padahal jelas, imperialisme ultra modern masih berlangsung di
depan mata. Kolonialisme eksploitasi? Ah, tak perlu meragu, bahkan di desa saya
yang masih terbilang jauh dari jangkauan politik, sudah terlihat jelas
bagaimana sedikit demi sedikit kepemilikannya direnggut oleh investor asing.
Masyarakat
Indonesia memang bukan kaum feodal, yang setiap sistemnya harus bergantung
kepada raja dan para dedengkot pemerintahan. Sayangnya demokrasi yang katanya
menjunjung tinggi dan memuliakan rakyat sebagai satu kesatuan hanya tampak
sebagai label pembohongan, terlebih lagi, masyarakat dikalahkan oleh perang
pemahaman dan status sosial yang telah banyak diagungkan sejak jaman para
leluhur. Kita memang tidak memiliki latar belakang dan status sosial cerah nan
glamor seperti para flamboyan kota itu, Kawan, tapi kita punya nurani dan
logika untuk mengerti sisi yang mendatangkan rugi dan kemaslahatan.
Mungkin
memang harus begini, semua ratapan dan kesedihan itu cukuplah dikubur sendiri.
Sungguh ironi bahwa tanah luasan ini hanya mampu mendatangkan untung bagi para
tamu tak diundang, sedang tuan rumah harus sibuk mengais bebatuan dan membangun
kuburannya sendiri.
Comments
Post a Comment