Hai, salam kenal J
Sebagian orang berkata
bahwa berbicara itu anugerah, lalu sebagian yang lainnya berkata bahwa
mendengarkan itu mendatangkan berkah. Maka di sinilah saya, mencoba keduanya,
mengundang berkah dalam timbunan anugerah dari Yang Maha Kaya.
Genap dua puluh satu tahun
lalu, di Desa Babakan, salah satu bagian dari perwilayahan Kabupaten Bogor,
saya terlahir. Ummi saya bilang, waktu itu tepat tertanggal 10 Muharram 1415 H.
Setelah itu, saya tidak pernah hafal tepatnya tanggal lahir saya jika
dikonversikan ke dalam tahun Masehi. Namun di luar itu, Bapak saya mencantumkan
10 Maret 1994 sebagai tanggal keramat atas kelahiran saya di Akte Kelahiran
yang didapat melalui Bidan Desa dan baru praktik belum lama ini. Yah, begitulah
asal muasal tanggal lahir saya yang sering Anda lihat dalam berkas-berkas
administrasi formal saya.
Jika saja sepupu saya tidak
terlahir lebih dulu beberapa bulan dibanding saya, nama Siti Nurhasanah mungkin
akan menjadi milik saya, kata Ummi (Ibu). Mengingat Bapak saya bernama Hasan,
Bapak sangat mengharapkan nama tersebut juga menjadi bagian dalam diri dan
kepribadian saya. Hasan yang artinya ‘baik’. Namun sudah digariskan Allah,
Paman saya juga menghendaki nama itu, dan semacam penanda, sepupu saya bersikukuh
mengklaim dengan menghirup udara bumi lebih dulu. Hingga tinggalah saya yang
masih nyaman tertidur di dalam rahim, dengan harapan baru menjadi purnama kasih
bagi kedua orang tua, Asih Purnamasari, itulah nama saya selama dua puluh satu
tahun ini.
Saya adalah anak pertama
dari lima bersaudara, dan merupakan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga.
Karenanya, saya mendapatkan cukup banyak keistimewaan dibanding empat saudara
saya yang lain; Abdullah Husein, Abdullah Sahid, Asri Gunawan Abdullah, dan
Muhammad Alif Abdullah.
Dullah adalah sapaan akrab untuk adik pertama saya, Abdullah Husein. Usianya mencapai delapan belas pada 2 November tahun ini. Ia duduk di bangku SMA kelas tiga, sedikit terlambat untung anak-anak seusianya, menurut saya. Dulu ketika masih di Madrasah Islamiyah (setingkat Sekolah Dasar), Dullah sempat mengalami penyakit cukup serius, yang kemudian mengharuskannya menunda sekolah hingga dua tahun lamanya. Jika saja ia tidak menunda, harusnya kini ia tengah menjalani masa-masa perkuliahan bersama saya di Bandung. Ia suka sekali mengutak-atik mesin, hobi yang juga dimiliki Bapak. Setiap kali saya pulang, maka saya akan cukup sering melihatnya mereparasi sepeda motor dengan segala aksesoris yang menurutnya cukup keren, meski kadang tidak demikian menurut saya.
Berbeda dengan Dullah,
Sahid, adik kedua saya, lebih suka berwirausaha dengan menjual ikan-ikan lele
di Desa. Ada saja alasan yang membuatnya berkecimpung di sana, meski jelas
sekali Bapak tidak menyukai kegiatan-kegiatannya itu. Ia masih duduk di bangku
SMA kelas dua dan tahun ini usianya baru mencapai enam belas. Meski demikian,
Sahid memiliki pembawaan yang serius. Kapanpun kami berdiskusi, ia hampir tidak
pernah menunjukkan tanda-tanda manja ataupun jengkel setiap kali kalah debat.
Gunawan atau Nawan, adalah
adik ketiga saya. Ia adalah anak satu-satunya yang sempat mengalami pendidikan
di Taman Kanak-Kanak dibanding saya dan saudara-saudaranya yang lain. Ia suka
sekali bernyanyi. Setiap kali saya pulang ke Bogor, saya selalu mendapati handphone
saya dipenuhi rekaman-rekaman suaranya yang ia rekam sendiri secara
sembunyi-sembunyi. Ia bernyanyi di manapun, kapanpun, terkadang sambil diiringi
dengan joged-joged konyol yang sangat menggangu, hingga tak jarang setelah itu
Bapak akan berteriak untuk menyuruhnya berhenti. Tahun ini ia genap berusia
sebelas dan terdaftar sebagai siswa kelas empat di Sekolah Dasar yang letaknya tidak
jauh dari rumah saya.
Adapun adik saya yang
paling kecil, Muhammad Alif Abdullah atau biasa dipanggil Alif, September ini
berusia enam tahun. Ia sepertinya memiliki peluang lebih besar untuk mengklaim
status sebagai anak bungsu di keluarga setelah Gunawan gagal mendapatkannya. Ia
hiperaktif, kalau saya tidak bisa menyebutnya sebagai ‘nakal’. Alif sangat suka
buah, terutama buah manggis yang menurutnya adalah buah termanis yang pernah ia
makan. Dibanding kami, saudara-saudaranya, ia memiliki kulit paling putih dan
hidung paling mancung, yang saya pun tidak bisa mendapatkannya. Menurut Emak
(Nenek), garis wajahnya merupakan perpaduan antara Abah (Kakek) dari keluarga
Ummi dan Emak dari keluarga Bapak, tampan dan menyenangkan untuk dipandang.
Jadilah, dengan sifatnya yang aktif dan wajah rupawan, ia menjadi bintang
favorit banyak orang.
Saya dan keluarga besar,
dari Abah hingga tiga generasi setelahnya, tinggal dalam perwilayahan Rukun Tetangga
yang sama. Satu fakta yang sejujurnya sangat sulit saya terima. Setiap perayaan
hari-hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan lain sebagainya, tidak
pernah memberi kami alasan rasional untuk beranjak mudik dan berkunjung ke luar
kota. Sehingga selalu begini, mudik versi kami adalah berjalan lima langkah
dari rumah masing-masing.
Kampung halaman saya, Desa
Babakan, termasuk satu daerah terpencil di Kabupaten Bogor. Bahkan desa Cibogo
yang merupakan desa tetangga, baru berhasil menerima pasokan listrik setelah
sekitar tahun 2008. Tenaga kesehatan di desa saya hanya terdiri dari satu orang
Mantri, yang perannya kini bertambah untuk menjadi mantri di desa-desa tetangga
saya yang lain. Beliau menjadi orang yang super sibuk, jika dilihat dari kaca
mata saya pribadi. Bukan hanya itu, saya hampir tidak pernah menjumpai apotek
karena semua bahan-bahan pengobatan sudah disediakan meski secara minimalis di
rumah Bapak Mantri tersebut. Hal inilah yang sedikit banyak membuat bisnis
farmasi merupakan bisnis cukup menjanjikan untuk dilakukan. Terkait teknologi,
saya cukup bangga dengan prestasi masyarakat melalui pengadaan warung internet
pada tahun 2012 lalu. Meskipun pada akhirnya warung internet itu hanya mampu
menjadi sarang anak-anak desa untuk mencoba berbagai game online, bukan
terfokus pada pembelajaran teknologi informasi yang dewasa kini banyak
dimanfaatkan di berbagai perusahaan.
Ah, nampaknya saya lupa
memperkenalkan kedua orang tua saya di atas secara lebih rinci. Saya memanggil
mereka Bapak dan Ummi, panggilan lazim di desa saya untuk kedua orang tua.
Bapak saya bernama Hasan, usianya sudah menginjak kepala lima dan sebentar lagi
beranjak ke enam. Sehari-hari beliau beraktivitas sebagai wiraswasta. Bapak
sempat melakoni usaha di bidang perikanan, terutama lele dan mujair, lalu
beranjak ke penjualan tanaman-tanaman herbal dan mendapat sambutan cukup
antusias dari pasar. Saat remaja, Bapak lebih banyak menghabiskan waktu di
bidang otomotif. Meski beliau tidak lulus SD, beliau sangat paham tentang
mesin. Ummi saya bernama Suhaemi, tahun 2017 mendatang usianya menginjak kepala
lima. Beliau beraktivitas sebagai ibu rumah tangga, meski tak jarang mencoba
berwirausaha dengan membuat kue-kue untuk di jual ke tetangga. Para tetagga
sangat menyukai kue nagasari dan pie buatan Ummi, yang katanya mempunyai
tekstur kenyal dan gurih di lidah.
Sejak kecil saya terbiasa
berhadapan dengan karakter Bapak dan Ummi yang berseberangan. Bapak sangat
humoris dengan pembawaannya yang santai saat berdiskusi, meski beliau menjadi
orang paling keras jika sudah menyangkut dengan
pacaran. Ummi memiliki pembawaan serius saat mendidik saya, tak jarang
saya terkena pukul jika sudah melanggar aturan disiplin yang kami bangun.
Pernah sekali, ketika SD dulu, saya menangis keras saat hempasan telapak tangan
Ummi mendarat di betis saya dan menyisakan warna merah di sana. Saya lupa
sebabnya, namun sudah pasti itu dikarenakan kenakalan saya yang mungkin sudah
di luar batas kewajaran. Sedikit banyak saya ingat bahwa saya pernah menjadi
remaja yang sangat nakal, susah diatur dan bersikeras tidak mau sekolah sebelum
orang tua saya mengantarkan saya ke sekolah dengan paksa.
Saya mulai paham untuk menjaga
sikap dan lebih disiplin saat saya menginjak SMA. Sekolah saya, SMA Lazuardi
GIS Depok, merupakan boarding school yang memiliki dasar pendidikan
keIslaman. Di sana segala bentuk pelanggaran terkait kedisiplinan tidak akan mendapatkan
toleransi ringan. Ketika salah satunya saya langgar, komisi disiplin sekolah
akan memberikan saya hukuman dengan berbagai metode; lari keliling lapangan
basket sekian putaran, membersihkan westafel dan kamar mandi asrama, menulis
ayat Al Qur’an sampai sekian lembar, dan lain sebagainya. Hal inilah yang membuat
saya lebih banyak belajar untuk mengatur pola perilaku dan etika serta mengatur
waktu agar siaga menjalani setiap aktivitas di asrama dan di sekolah.
Pengalaman berkesan bagi
saya, salah satunya adalah ketika saya masih berusia sekitar lima atau enam tahun.
Saya sangat nakal, tidak pernah mau menuruti perkataan dan aturan yang Ummi
saya tekankan. Hingga pada suatu hari, saya mengajak kakak sepupu saya, Kak
Mamad, untuk berbonceng sepeda dengan saya. Saat itu saya masih payah
mengendarai sepeda, sehingga saya memaksa Kak Mamad untuk membonceng saya yang
dengan kukuhnya duduk di depan. Saya sedang asyik bernyanyi dan terus saja
mencoba berdiri, tidak peduli bahwa saat itu Kak Mamad protes karena saya
menghalangi pandangan beliau. Hingga di luar dugaan, sepeda yang kami kendarai
jatuh terguling membentur aspal. Saya yang duduk di bagian depan pun jatuh
tersungkur, seketika itu juga darah mengucur deras dari kening saya yang
ternyata dengan kerasnya membentur batu di jalan, yang hingga kini lukanya
masih membekas dan tak mau hilang. Hal yang tidak pernah saya lupa adalah
kejadian setelah itu, ketika tetangga saya membopong tubuh saya yang terkulai
lemas sambil mengucurkan darah di sepanjang jalan, lalu Bapak saya menangis
hebat dan berguling-guling di tanah seperti anak kecil. Saya sedih, saya pikir
itu adalah hal kecil yang tidak layak mendapat tangisan, apalagi hal itu
terjadi karena kenakalan saya sendiri. Namun orang tua, selalu begitu,
memberikan kasih dan menumpahkan emosional terbesar untuk anak-anak yang
disayanginya.
Saya suka menulis,
begitupun membaca. Sejak SMP saya bercita-cita menjadi seorang penulis novel
yang sohor seperti Torey Hayden, JK Rowling, Andrea Hirata dan segudang penulis
lain yang menurut saya sangat patut dibanggakan. Karenanya, ketika awal tahun
ajaran TPB dimulai, saya putuskan membuat satu blog dengan harapan bisa
mengembangkan kemampuan menulis saya yang masih jauh dari kata cukup. Di kamar
saya tertumpuk banyak novel-novel terjemah, terutama karya-karya Torey Hayden
dengan gaya penulisannya yang telah banyak membuat saya terkesan. Novel favorit
saya adalah novel-novel dengan latar kuno klasik, di antaranya ada ‘Lily;
Putri Jajaludin Rumi’, ‘Taj Mahal’, dan ‘Perempuan Suci’. Di luar
itu, saya suka sekali berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai latar
belakang. Mungkin inilah yang mendasari saya memilih jurusan Farmasi Klinik dan
Komunitas di Kampus Gajah, sebab saya berharap bahwa berkecimpungnya saya di
dunia kesehatan klinik mampu mendukung hobi saya untuk memperluas jaringan
dalam berdiskusi.
Hal yang tidak saya suka
adalah segala yang berbau pedas, terutama mereka yang berjenis makanan,
tentunya. Saya lebih suka menyerah tatkala seseorang mencoba menantang saya
dengan makanan keripik ‘Maicih’, bakso kuah dengan sekian sendok sambal, serta
aneka jajanan pedas lain yang sejujurnya membuat saya merinding melihatnya. Pernah
sesekali saya mengikuti terapi makan pedas, sesuai anjuran teman-teman saya
yang beranggapan bahwa saya sangat payah. Namun setelah itu, perut saya akan
mulas hebat dan secara naluriah air mata saya akan mengalir deras. Pada akhirnya,
lagi, saya menyerah.
*Ini merupakan tulisan saya dalam rangka memenuhi tugas suatu mata kuliah
Comments
Post a Comment