Jika dahulu saya begitu membenci
kehadirannya, kini, saya balik meratap dan bersedih atas kepergiannya. Kadang
di kala sendiri, tidak terasa keluar bulir-bulir air dari kedua mata ini.
![]() |
Ilustrasi |
Entah mengapa, cinta tumbuh ketika tak lagi
digenggam. Rasa sayang tetiba muncul kala apa yang dimiliki sirna tanpa
sekeping sisa. Saat itu terjadi, kita hanya bisa meratap. Melamun sambil
berharap ingin sekali melompat ke lembar episode di mana bisa memperbaiki semua
kesalahan.
Saking kuatnya terjerembab dalam palung
dendam, anugerah terindah yang Ia beri pun tak sanggup memalingkan dari segala
kesumat. Bahkan, saya turut Menambah sayatan yang entah sudah segelap apa, memercik
api luka di hati ibu, sosok yang begitu berarti dalam hidup.
Masih hangat di dalam ingatan, ketika ibu
selalu membawaku pulang dari sekolah lebih awal dari jam biasanya. Saat itu
saya masih mengenakan seragam merah putih. Belum mampu menafsirkan segala
tindak tanduknya yang dipenuhi labirin. Yang saya tahu, kekinian, ketika ibu
mengajak pulang lebih awal, hanya untuk menemaninya. Mengurai kesedihan atas polah
kekasih hatinya.
Ayah, sosok yang seharusnya menjadi teladan
yang baik, justru sebaliknya. Ia pergi setiap petang dan kembali selepas Subuh.
Demi judi, warisan ibu bahkan ludes olehnya. Tidak hanya itu, ketika kalah Ayah
yang kalap tak segan memukul ibu. Sedang ia hanya pasrah diperlakukan demikian.
Maka setiap selesai bertikai, ibu akan menjemput saya di sekolah, ini yang menghiburnya
selama perjalanan menuju rumah.
Hingga satu ketika, saya harus menerima
kenyataan. Bahwa saya menjadi satu di antara sekian juta pelajar yang putus
sekolah. “Nak, besok tidak usah pergi ke sekolah lagi, ya?” pinta ibu mengawali
pembicaraan di satu waktu. Saya tertegun, namun tak mampu menyangkal. Beberapa
detik kemudian, tak kuasa saya anggukkan kepala. Ibu tersenyum.
Benarlah, keesokan harinya ibu mendatangi
wali kelas, memberitahukan bahwa saya tak lagi sekolah, mencukupkan diri
belajar di rumah. Tentu saja wali kelas kaget dan meminta ibu mempertimbangkan
kembali keputusannya. Namun, ibu bersikeras. Hanya meminta pengertian dari
pihak sekolah dengan menyampaikan kondisi keluarga kami. Yah, apa boleh buat.
Sejak itu, hidup saya menjadi tidak karuan.
Luntang-lantung di jalanan, kadang bermain dengan anak-anak tetangga di desa, atau
pergi bermain jauh dari rumah. Saya tidak punya aktivitas lain, selain
menghibur ibu setiap kali menangis karena ayah.
Waktu terus melipat bergerak menjadi lalu.
Tiada terasa, karena terbiasa melihat tindak-tanduk Ayah di rumah, saya justru
menjadi tak ada ubahnya seperti dia. Setiap hari datang ke warung judi dan
menenggak minuman keras. Ibu yang begitu putus asa dengan kelakuan ayah, kini
semakin hancur melihat polah anaknya. Entah apa yang saya pikirkan, saya tumbuh
menjadi seseorang yang dulu saya benci.
“Nak, apa sesungguhnya salah ibu?” tanyanya
sambil terisak. Saya hanya membuang muka, mencari kasur untuk merebahkan badan.
Kadang saya jawab dengan membanting pintu, lalu keluyuran lagi. Astagfirullah.
Ketegaran ibu akhirnya membuat saya luluh.
Deminya, saya berazam untuk berhenti main judi, air laknat pun sedikit demi
sedikit saya kurangi. Selain itu, guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya
bekerja di sebuah bengkel mobil sebagai montir. Saya mendapati pekerjaan itu
dari seorang teman, beliau berbaik hati selain mengajarkan juga memberikan
kesempatan untuk bekerja di sana.
Melihat saya yang mulai mapan, ada seorang
kawan yang datang dengan penuh permohonan. Adik perempuannya hamil di luar
nikah. Sambil menangis simpuh ia meminta saya untuk menikahi adiknya, ia
berjanji pernikahan itu hingga sang anak lahir. Atas nama iba, saya pun mengiyakan
permohonan itu.
Biiznillah, tujuh
bulan selepas itu istri saya melahirkan, seorang anak perempuan yang sehat nan
jelita. Bayi perempuan itu, saya namakan Fatimah, nama yang saya ambil dari sepenggal
nama ibu.
Namun, pembaca, selucu apa pun Fatimah, sedikitpun,
saya tidak mampu menyayanginya sebagaimana anak kandung. Saya enggan menggendong
apalagi mengajaknya bermain. Setiap kali melihat wajahnya, saya teringat masa
kanak-kanak, ingat bagaimana ayah memperlakukan ibu. Karena itu, kendati ia masih
bayi pun, saya terbiasa meninggalkannya dan membiarkan diurus langsung oleh ibunya.
Suatu hari, saya pulang bekerja. Fatimah
yang kala itu sudah mampu merangkak datang menghampiri. Mukanya yang polos terus
saja tertawa ceria. Saya tidak tahan melihatnya. Ketika hidangan disajikan,
tanpa tendeng eling saya colek sedikit sambal lalu mengoleskannya ke bibir
Fatimah. Tentu saja ia menangis keras, sedang saya.. tersenyum puas
melihatnya..
Akan tetapi titik balik kehidupan merubah
180 derajat. Setahun kemudian, Fatimah terserang demam tinggi, badannya
menggigil tak henti. Kediaman dokter jauh di desa seberang. Tak tertolong, esoknya,
sepulang bekerja rumah tetiba ramai oleh tetangga. Beberapa nampak menyiapkan
keranda, ada juga yang berlari-lari memikul air dan bunga. Ketika saya masuk ke
ruang tengah, istri saya terisak di depan gundukan berlapis kain batik.
Saya pun membuka kain pelapis tersebut. Di
balik kain itu, Fatimah terlelap, tidak merasa terganggu oleh kebisingan di sekitarnya.
Saya sentuh pipinya, tangannya terasa dingin. Barulah sadar apa yang terjadi.
Tiba-tiba saja, saya meraung-raung keras dan memeluk tubuh dingin Fatimah
dengan erat. Tepat sejak saat itu, saya benar-benar merasa kehilangannya. Jika dahulu
saya begitu membenci kehadirannya, kini, saya balik meratap dan bersedih atas
kepergiannya. Kadang di kala sendiri, tidak terasa keluar bulir-bulir air dari
kedua mata ini.
Ya Allah, ampuni hamba, ketika amanah-Mu
tak bisa kujaga dengan baik. Ketika anugerah bayi mungil itu, telah saya
sia-siakan, bahkan sempat menjadikannya bahan pelampiasan kejahilan.
Syahdan, di lembar ini,
sesal yang tertulis takkan mengembalikan Fatimah ke pangkuan. Namun, izinkan
saya untuk sedikit berpesan. Pembaca yang budiman, betapapun pahit masa lalu tidak
selayaknya kita menumpahkannya, apalagi hingga menyakiti orang-orang di sekitar
kita dengan perbuatan yang keji. Sepenggal pengalaman pahit ini semoga ada
sejumput hikmah yang bisa direguk. Karena saya percaya, setiap kisah, kendati
pilu pasti ada (al)hikmahnya. []
*Kisah ini dimuat di Tabloid Alhikmah Edisi 116, dengan alur sebagaimana yang dikisahkan HJ kepada saya
Comments
Post a Comment