![]() |
Sumber |
“Bagus itu kalau deg-degan, berarti kewanitaan Asih mulai keluar,” celetuk Murabbiyah di tengah perbincangan kami beberapa hari lalu.
“Teh,
emang berat ya ngurusin saya selama ini?” tanya saya dengan muka polos ingin
tahu.
“Yah
enggak juga, Sih. Tapi masalahnya, di antara yang lain, penolakan kamu itu yang
paling kelihatan,” jawab beliau, kali ini sambil terkekeh pelan.
Saya
diam. Tertohok.
Glek!
Saya
teringat kembali, sekitar dua tahun lalu, beliau yang bersikukuh meminta saya
menuliskan proposal nikah. Namun hingga akhir pembinaan kelompok, saya tak
kunjung menuliskannya. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu; soal mimpi saya
yang belum tercapai, amanah yang masih saya pegang, masa perkuliahan yang belum
usai, minder –
Ya,
sungguh, di antara teman-teman saya yang lain, saya ini yang paling mudah
minder. Bagaimana tidak, jika melihat sisi kanan, ada si ukhti yang hafalannya banyak,
pula amanahnya di sana-sini. Melihat sisi kiri, ada si ukhti yang pandai
memasak, keibuan, penyayang, memandangnya saja teduh rasanya hati. Melihat ke
depan, ada si ukhti yang aduhai jelita parasnya, penuh prestasi, kuat pula
ibadahnya. Ah, lantas, saya ini apa?
Pernah,
sekali, Murabbiyah saya menegur keras. Katanya, saya ini terlalu banyak
mempertimbangkan sesuatu secara subjektif. Harusnya saya bisa menerima diri
dengan baik, entah terhadap kekurangan maupun kelebihan yang saya miliki.
“Saya
alhamdulillah bersyukur dengan diri saya yang seperti ini, Teh. Tapi
bukan berarti harus menuliskan proposal nikah kan?” ujar saya sambil
cengengesan. Seperti biasa.
Nampaknya
respon saya yang kekanakan waktu itu benar-benar tidak pada tempatnya. Bukannya
mendapat maklum, Murabbiyah saya justru semakin murka. Tak ayal, hari itu saya dibuat
menangis karena dinasehati ini dan itu.
“Kamu
tahu, kan, kalau kondisimu sekarang sudah masuk kategori wajib? Mau sampai
kapan ditunda?” katanya, dengan nada suara ditinggikan.
Saya
hanya tertunduk. Kedua tangan saya mengepal keras. Air mata deras mengalir,
tidak terasa. Tes...tes...tes...
Beberapa
hari lalu, ketika kami bertemu, beliau kembali menyuguhkan nasihat panjang
untuk saya. Kebetulan, karakter kami yang hampir serupa, membuat percakapan
kami tidak sulit dan berbelit-belit. Beliau tipikal wanita yang keras,
begitupun saya. Ketika menasehati, beliau yang paling paham bagaimana mengutarakan
kata-kata tajam, tak lain agar saya mau mendengarkan dan memahami pesan yang
ingin beliau sampaikan.
Pada
akhirnya, layaknya dua tahun lalu, beliau layangkan kalimat serupa.
“Asih,
saya tahu kamu ini sangat logis. Saya juga begitu. Tapi kadang ada sesuatu yang
jalannya tidak harus sesuai dengan logika kita, apalagi jika Allah sudah
menggariskannya begitu,” katanya. “Percaya saja, in syaa Allaah
dibukakan jalan yang terbaik,” tutupnya sambil tersenyum.
In
syaa Allaah, Teh, in
syaa Allaah...
Comments
Post a Comment