Secuplik
perbincangan saya dan Ipah di angkot, selepas menghadiri acara komunitas Reli kemarin
malam hingga tadi pagi:
“Di
antara temen-temen kita, ada mereka yang sebenernya melankolis banget, tapi
enggak pernah tuh nunjukin ke orang-orang,” kata Ipah.
“Oh
iya, Pah?” kata saya sambil mangap tak percaya. Lebay.
“Iya,
sama kayak kamu! Persis. Sehari orang kenal kamu, pasti enggak akan nyangka
kalau kamu aslinya cengeng, manja pula!” tambahnya sambil melotot.
He’eh,
ok ok -_______-
***
Beberapa
waktu terakhir, saya intensif berbaur dengan kawan-kawan Reli. Awalnya saya
syok berat, terheran-heran bagaimana bisa pola komunikasi di sini seperti ‘itu’?
Tetapi, seiring waktu, alhamdulillaah, saya mulai bisa menyesuaikan
diri.
Berbaur
di komunitas ini, bayangkan saja, berbagai latar belakang pun usia berkumpul
jadi satu. Ada mereka yang secara usia sudah sepuh, ada mereka yang secara
watak ‘humoris-keblinger’, ada mereka yang jauh lebih pendiam dibanding saya,
ada mereka yang hmmm, yah, variatif lah intinya.
Meskipun
begitu, hal yang membuat saya betah di sini, di antara mereka yang jauh timpang
itu sama sekali tidak ada kecanggungan. Bahkan, saya yang terbilang personel
baru saja, masih sempat dikerjai dan dibuat tertawa terpingkal-pingkal.
Di
antara banyaknya personel komunitas, saya kenal Bunda Friedha, satu personel
yang paling sepuh dan dituakan. Usianya mungkin lebih dari 60 tahun, tetapi, semangatnya
nyata jauh pula melampaui saya yang relatif lebih muda dibanding beliau.
Bunda
Friedha ini terbilang sangat sibuk. Dalam sepekan saja, bisa tiga hingga empat
kali beliau menjelajah kota yang berbeda untuk meliput atau menghadiri
acara-acara komunitas. Namun, beliau tidak pernah mengeluh. Sebaliknya,
semangatnya semakin hari semakin nampak dan kerap kali membuat saya tercengang.
“Saya
lebih senang berkumpul dengan anak-anak muda, berkontribusi untuk dakwah,
makanya semangat!” katanya sambil tertawa.
Di
setiap kesempatan, alhamdulillaah, saya banyak menimba wawasan dari
beliau, yang mana sebagian besar dari wawasan itu tidak bisa saya dapatkan di
tempat lain. Pagi ini, misalnya, ketika kami asyik berbincang di tengah perjamuan
makan pagi.
“Saya
lihat poin plus kamu tadi pagi, Asih. Bangun tidur kamu langsung rapihin
tempat tidur, hal yang jarang bisa orang biasakan bahkan ketika di rumahnya
sendiri,” kata beliau sambil menyantap buburnya.
Saya
ini minderan, ingat? Maka dari itu, saya merasa perlu mengetahui bagaimana
orang lain memandang saya secara personal. Agar setidaknya, perlahan, saya bisa
memperbaiki dan menambah kapasitas diri.
“Iya,
Bun! Asih ini emang lagi krisis kepercayaan diri. Orang-orang sering iri sama
dia, tapi dia malah bilang ‘Apa sih yang orang lain perlu iriin dari aku?’
hah!” celetuk Ipah.
“Kendala
muslim sekarang emang gitu. Terlalu merendahkan diri sendiri,” Teh Wulan ikut
menimpali.
Aih,
dikeroyok -_______-
Bukan
hanya terkait kekeluargaan di sini yang begitu solid. Di kesempatan lain,
ketika kami berkumpul dan berbincang santai, kerap alur perbincangan itu
diarahkan pada wawasan keagamaan.
Malam
tadi, misalnya, selepas kami meliput suatu acara di Gedung Pakuan, Bandung. Beberapa
orang asyik mengobrol, sedang saya lekat menonton tayangan TV ‘Ashoka’.
“Ashoka
ini, katanya, punya nilai sejarah yang dalam banget,” komentar saya.
Tetiba,
Baba Ali, sang pemimpin Reli, menoleh ke arah saya.
“Tuh
lihat! Itu ada lelaki pakai sorban, padahal di India enggak ada kan yang kayak
gitu? Ngomong-ngomong, di India ada satu bahasa yang serapannya sebagian besar
diambil dari Arab, namanya bahasa Urdu,” katanya sambil menggerak-gerakkan
tanggan, menjelaskan.
Alhasil,
semua yang ada di ruangan, termasuk saya, diam mendengarkan. Baba menjelaskan
banyak hal: sejarah Hindu, peristiwa Taj Mahal, bahkan sampai ke asal-usul Dr.
Zakir Naik. Masyaallah...
Alhamdulillaah, saya bersyukur bahwa dakwah
mempertemukan kami, saya dan personel-personel komunitas ini. Ternyata benar
sekali, ketika iman menjadi landasan suatu hubungan, maka buah yang akan
dihasilkan adalah kesuburan dan kebermanfaatan.
Alhamdulillaah,
alhamdulillaah, alhamdulillaah....
Comments
Post a Comment