Tetapi, tiba-tiba saya teringat apa yang ayah
ajarkan, bahwa dalam kondisi sedikit apalagi banyak, bersedekah merupakan
kewajiban
![]() |
Ilustrasi |
Setiap insan pasti memiliki sosok-sosok
inspiratif yang berpengaruh dalam kehidupannya. Bila sebuah pertanyaan muncul, siapa
sosoknya? Tanpa bermaksud menafikan peran orang lain, bagi saya jawaban itu
jatuh kepada ayah. Kegigihan beliau dalam mengajarkan nilai-nilai keislaman
amatlah berpengaruh. Terutama, petuah untuk senantiasa bersedekah.
Ayah kerap berujar, dalam kondisi sedikit
apalagi banyak harta, sedekah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang taat.
Agama yang mengajarkan demikian. Nasehat itu begitu masuk ke relung jiwa.
Sedikit demi sedikit saya praktekkan di kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika
saya berusaha menahan diri untuk tidak jajan dan memilih menyisihkan kepada
yang berhak.
Atau, pada suatu ketika uang jajan yang
diberi lebih dari kebutuhan, yang langsung terpikir adalah mengambil berapa
persen terlebih dahulu untuk diberikan kepada yang berhak. Eits, tunggu dulu,
saya bukan orang takjir, saya terlahir dari keluarga kurang berada, rumah pun
berada jauh di pelosok desa, di salah satu bilangan Kabupaten Tasikmalaya. Karena
bukan terlahir dari kondisi yang mapan, terpatrilah mimpi menjadi pengusaha.
Namun hal itu, tak menyurutkan saya untuk mendawamkan
sedekah. Waktu itu, saya terbiasa memberikan kepada seorang janda tua di desa. Saya
iba melihat kehidupannya yang serba kekurangan. Rasa itulah yang kemudian
secara halus mendorong saya untuk membantunya.
Rasa haru campur bangga, bergumul di hati,
kala melihat senyum dari janda tua itu. Rasanya percis seperti memenangkan sebuah
pertandingan. Membuat saya ingin berlari dan mengangkat tangan “Saya juara!”.
Maka setelah itu, saya berazam untuk rutin bersedekah kepada janda tersebut.
Keriput melekuk lipatan kulit seiring
waktu. Kini usia saya sudah tidak lagi muda, sudah masuk kepala tiga. Beberapa
tahun lalu, berbekal keinginan dan tekad menjadi pengusaha, saya beranikan diri
menginjakkan kaki di Kota Kembang. Saya boyong istri dan empat anak,
meninggalkan ibu yang bersikukuh ingin tetap tinggal di Tasik. Meski berat,
satu demi satu episode kehidupan di Kota Bandung ini saya jalani juga. Kendati
saya beranjak tua, tetapi alhamdulillah, semangat bersedekah itu masih
tetap mengalir dalam diri saya.
Kala almanak bertengger di tahun 2.000, mimpi
menjadi pengusaha seakan membalikkan punggungnya dan tersenyum tepat ke arah
saya. Uang yang bertahun-tahun saya kumpulkan dari berjualan susu dan jus buah
kini cukup untuk menyewa satu ruko kecil di jalanan Pasar Kaliki, Bandung.
Lalu, ketika melihat di kantong ada sedikit
rezeki, tanpa pikir panjang, uang itu saya sedekahkan. Alhamdulillah
istri mendukung penuh. Meski itu adalah uang terakhir yang kami punya, kami
yakin, Allah tidak akan sedikitpun menelantarkan hamba-Nya.
Singkat cerita, ruko kecil
itu saya bangun. Saya mengubahnya menjadi kedai minuman. Beberapa minuman yang
saya jual, di antaranya susu, jus buah, dan milkshake. Harapan pun
membumbung tinggi melihat kedai itu berdiri.
Selepas Subuh, saya
jejakkan kaki-kaki melangkah menuju kedai. Ketika mentari menyembul di balik
awan, semangat itu semakin menyembul menunggu pelanggan pertama yang hendak
membeli. Namun, satu dua menit berlalu, menit berubah menjadi jam, pelanggan
yang ditungggui tak kunjung datang.
Bahkan hingga beberapa
pekan berlalu. Bagai mengharap sentuhan rembulan sedang saya bertengger diam
layaknya tunggul, kedai minuman sepi pembeli. Sementara itu, anak-anak yang
masih bersekolah membutuhkan pelbagai biaya, sedang simpanan uang kian hari
malah makin menipis. Beberapa kali istri terlihat termenung renung. Saya pun
demikian. Duh, Gusti...
Suatu hari, saya merasa
kosong, hidup bagai batang kering tak memiliki arti. Anak-anak kerap menangis
minta jajan, istri kelimpungan. Saya rogoh saku celana. Ternyata hanya tersisa uang
sedikit, tidak cukup untuk biaya kebutuhan, apalagi selama satu bulan ke depan.
Namun, ketika berjalan
menuju kedai, saya melihat beberapa beberapa pengemis meminta belas kasihan di kerumunan
jalanan. Melihat itu, sebenarnya bisa saja saya pergi, mengingat kondisi saya
juga yang sama-sama membutuhkan. Tetapi, tiba-tiba saya teringat apa yang ayah
ajarkan, bahwa dalam kondisi sedikit apalagi banyak, bersedekah merupakan
kewajiban. Maka tanpa pikir panjang, saya rogoh saku untuk yang entah keberapa
kali. Saya ambil beberapa lembar dan memberikan kepada mereka yang dalam penilaian
saya lebih membutuhkan.
Usai mengulurkan lembaran
uang, disuguhi senyuman terima kasih oleh pengemis tadi, saya langkahkan kaki
bergegas menuju kedai. Langkah kaki yang sedikit terhuyung, kepala tertunduk
menatap aspal yang kosong, rasanya semakin purna kepayahan dalam diri saya.
Namun ketika tiba di kedai
minuman, kaget rasanya tetiba ramai oleh pembeli. Satu persatu transaksi jual
beli terjadi, pundi-pundi rupiah mulai terkumpul. Sempat merasa tak percaya,
namun hati merasa yakin, ini ganjaran yang Allah berikan. Kebiasaan sedekah
yang dididik ayah sedari kecil berbuah manis.
Di tengah-tengah kalkukasi
penghasilan penjualan minuman di kedai selama sebulan itu, ternyata keuntungan
yang bisa saya raup amatlah cukup. Bahkan, saya masih bisa mengirimkan sejumlah
uang untuk kedua orang tua, serta beberapa rupiah untuk para janda di desa. Alhamdulillah,
sungguh, segala puji hanya bagi Allah, Zat yang Maha Pemberi Rezeki, yang tiada
pernah ingkar akan janjinya.
*Kisah ini dimuat di Tabloid Alhikmah Edisi 116, dengan alur sebagaimana yang
dikisahkan Asep Saepudin kepada saya
Comments
Post a Comment