Ruangan
seluas kurang lebih 5x5 meter di lantai 4 gedung Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati Institut Teknologi Bandung (SITH ITB) itu nampak lengang. Cahaya
menerobos dari kaca jendela, memantul di antara erlenmeyer, tabung reaksi,
gelas beaker, juga benda-benda lain yang tersimpan rapi di dalam
keranjang-keranjang di atas meja.
Aroma
pekat senyawa kimia bercampur alkohol hilir mudik masuk ke dalam ruangan.
Tercium bahkan hingga lorong-lorong koridor yang juga sama lengangnya.
Alih-alih mengganggu penciuman, bau itu justru menambah kekhasan ruangan itu
sebagai Laboratorium Fermentasi, salah satu laboratorium untuk riset pangan di
kampus gajah.
“Setiap
tahun, kita melakukan standardisasi makanan-makanan fermentasi,” ujar dosen ITB
Dr. Pingkan Aditiawati, sambil menunjuk laboratorium. Selain beraktivitas
sebagai dosen, Dr. Pingkan juga tengah beraktivitas sebagai peneliti di Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) ITB serta Center of
Advanced Science (CAS) ITB yang direncanakan resmi tahun ini.
Di
kelompok keahlian mikrobiologi SITH ITB, ada tiga road map penelitian, terdiri
dari Agriculture and Forestry, Energy and Environment, serta Food,
Nutraceutical, and Cosmetic. “Saya lebih banyak meneliti pangan, khususnya
bagian fermentasi,” katanya.
Di Indonesia,
makanan-makanan fermentasi kian banyak variannya. Sebut saja tapai, oncom,
tempe, yoghurt, dsb. Akan tetapi, standardisasi untuk masing-masing produk
fermentasi itu dirasa masih sangat kurang, baik dari SOP bahan, SOP proses, dsb,
yang berakibat pada keragaman rasa, kualitas hingga keamanan produk.
Menurutnya,
keamanan merupakan salah satu unsur pertimbangan dalam menyatakan kehalalan
suatu produk. “Halal dan thayyiban itu dari awal sampai akhir harus dikerjakan
dengan cara yang benar, keamanannya pun diperiksa,” katanya.
Instrumen
penelitian di laboratorium memiliki perannya sendiri. Ia menjelaskan, untuk
menentukan kadar alkohol, yang menjadi salah satu senyawa dalam penentuan
kehalalan produk, dapat digunakan High Performance Liquid Cromatoraphy
(HPLC) juga Gas Cromatography (GC). Sedang pemisahan, penentuan berat
molekul, muatan, serta penentuan jenis protein, dapat digunakan Elektroforesis
2 Dimensi.
Gelatin,
misalnya, merupakan protein yang berasal dari tulang sapi atau babi yang
dicairkan. Untuk mengetahui jenis gelatin dan kadarnya dalam suatu produk, maka
dapat digunakan Elektroforesis 2 Dimensi hingga didapatkan persentase atau
kadar serta jenis asam aminonya, apakah berasal dari sapi atau babi.
Sedikit
mengulas, katanya, gelatin biasa digunakan dalam proses pelunakan bahan kain, terutama jeans. Kain
yang keras, dapat dilunakkan menggunakan enzim tertentu. Enzim dihasilkan dari
mikroba, sedang mikroba perlu nutrisi untuk makan serta medium pertumbuhan. “Nah,
gelatin yang salah satunya berasal dari babi, bisa digunakan sebagai medium
pertumbuhan mikroba.”
Melihat
kompleksitas persoalan halal dan haram di Indonesia, ungkapnya, tak lantas
membuatnya diam saja. Sebagai akademisi, ia memahami bahwa informasi lengkap
terkait produk merupakan hal penting dalam menentukan kehalalan. Maka,
harapnya, melalui kontribusinya sebagai peneliti riset produk fermentasi dapat
membantu para ulama dalam membuat putusan. “Jadi, ketika data yang
diinformasikan baik, keputusannya juga benar,” pungkasnya.
Tidak
hanya itu, ia juga kerap menggagas pelatihan-pelatihan pembuatan produk makanan
fermentasi. Setiap tahun, dibantu oleh mahasiswa, ia pamerkan 10 produk yang
telah memenuhi standard, baik dari SOP bahan, SOP pembuatan, dsb, hingga menghasilkan
rasa, kualitas dan keamanan yang baik. Lantas, bersama rekan penyelenggara yang
lain, ia undang guru-guru SMA, dharma wanita, hingga masyarakat pedesaan di
Jawa Barat.
“Bulan
Mei ada satu acara besar yang namanya FERMENSTATION. Nanti diundang masyarakat
banyak, biasanya hingga 6000 orang. Teknis lainnya masih dalam tahap
perencanaan,” ujarnya. Bulan Mei mendatang, katanya, akan dipamerkan delapan
produk fermentasi, di antaranya yoghurt yang terbuat dari santan, tempe, nata,
dll.
Asih
Purnamasari
Comments
Post a Comment