Kampusku, rumahku..
Kampusku, negeriku..
Kampusku,
kebebasanku...
Kampusku, wahana
kami...
Di sana kami dibina
Menjadi manusia
dewasa
Tapi kini apa yang
terjadi?
Ditindas semena-mena
Berjuta rakyat
menanti tanganmu
Mereka lapar dan bau
keringat
Kusampaikan salam,
salam perjuangan
Kami semua cinta,
cinta Indonesia...
Masih ingat lirik
lagu itu?
Itulah lagu
perjuangan pertama yang kudengar saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus
ITB. Entah mengapa aku merasa seperti ada nuansa mistis saat nyanyiannya
dikumandangkan. Aku tdak sedang menceritakan kisah hantu, kawan, jadi tenang
saja. Rebahkan kembali bulu kudukmu dan rilekslah :P
Waktu itu memasuki
masa PROKM. Semua mahasiswa baru dikumpulkan dalam aula besar bernama Sabuga.
Masih mengenakan seragam putih abu-abu serta tampang cupu, kami patuh saja
mengikuti alur rangkaian kegiatan. Awalnya membosankan, acara diisi dengan
pidato sepanjang hari, entah dari Rektor, Dekan, tamu istimewa, atau siapalah
itu namanya. Kesal sih tidak, tapi mataku ini loh yang terus memberontak.
Ngantuk sekali. Sudah cukup semalaman penuh bermelow ria merindukan Bapak dan
Ummi yang kini tak lagi bisa dipandang di depan mata, mengapa pula mataku harus
mengeluarkan cairan asin lagi gara-gara kantuk berat yang melanda? Hoalah,
sudah posisi duduk di belakang, lampu remang-remang pula. Mau jadi apa aku ini?
Masih dalam
rangkaian PROKM. Sesi pidato kini berganti ke sesi pembagian kelompok
#akhirnyaaaa... :D
Kami dibagi kelompok
berdasarkan nomor urut dari secarik kertas yang telah dibagikan sebelumnya,
beberapa saat menjelang memasuki gedung Sabuga tadi pagi. Aku mendapat kelompok
di angka tua, sehingga butuh waktu sedikit lebih lama untuk menemukan teman-temanku
yang lain. 101, begitulah angka yang tertera di ujung tongkat berbentuk kepala
anjing yang dibawa taplok (tata kelompok) kami. Sebenarnya aku bingung mengapa
bentuknya harus kepala anjing, tapi toh sisa kantuk mengalahkan segala.
Aaaah...ngantuk, ngantuk.
Aku lupa berapa
tepatnya jumlah hari yang kulalui bersama teman-teman sekelompokku itu. Hanya
saja, dalam setiap hari yang kujalani itu tak terasa beratnya. Bagaimana tidak?
Kelompok PROKM-ku kacau sekali. Kicauannya melayang kemana-mana, berisik dan
gaduh terus sepanjang masa kebersamaan kami. Tugas tak selesai, curhatan
numpuk. Hoalaaah, kelompok rusuh sepertinya -_-
Tapi asyiknya memang
terasa, obrolan ringan terselip dari awal sampai akhir. Tugas ospek jadi
menyenangkan, karena dengannya pertemuan itu berjalan. Bagiku, setidaknya,
inilah jalan termudah melupakan kerinduanku pada kampung halaman.
Singkat cerita, suatu hari di akhir masa PROKM. Entah bagaimana persis kejadiannya, kami terpencar ke dalam kelompok berbeda.
Maklum, hari itu
adalah hari 'Sidang Terbuka', dimana dalam pelaksanaannya kelompok Taplok tak
lagi menjadi acuan. Kami dipisah secara random, kadang mengacu pada Fakultas
atau sekolah, kadang mengacu pada kelompok agama saat masa shalat tiba.
Oh iya, masa
mengesankan saat sidang terbuka adalah mengenai orasi dari beberapa petinggi di
kepanitiaan PROKM. Buatku, orasi itu adalah suatu hal yang mengagumkan. Bukan
karena seberapa keras suara yang keluar atau seberapa tangkas kata yang menjadi
bidikan, melainkan karena keberanian dan fokus panitia orasi yang terus
digenggam. Waktu itu aku sampai menahan nafas. Saat lagu Mentari (lirik di
atas) itu berkumandang, satu persatu panitia di atas panggung melangkah maju
sambil menggemakan visi PROKM. Tak terhitung berapa besar kekagumanku, tapi
itulah awal dari visi besarku muncul. Dari saat itu tekadku membulat, aku ingin
menjadi bagian dari pejuang visi PROKM itu, bahkan Kabinet KM-ITB.
-PROKM 2011-
Comments
Post a Comment