Hi :)
Malam ini tetiba pingin cerita salah satu pengalaman hidup saya dan suami di masa awal pernikahan dulu. Semoga tidak membuat kamu bosan ya hehe.
Bermula dari keputusan suami untuk membawa Gunawan, adik ketiga saya untuk bersekolah SMP sekaligus tinggal bersama kami di rumah Bekasi. Berkali-kali saya ajak diskusi kembali suami, mengingatkan bahwa seringkali di tiga tahun pertama pernikahan katanya akan banyak diuji perihal finansial. Saya tidak ingin membuat pernikahan kami terasa berat dengan membawa Gunawan, meski dia adik saya, mengingat gaji suami yang saat itu juga baru sekitar dua kali besaran UMR Jakarta. Bagaimana jika nanti di tengah masa pendidikan saya hamil, bagaimana jika begini dan begitu? Banyak yang saya khawatirkan. Namun begitulah ketika suami sudah memutuskan, pada akhirnya hanya penerimaan yang bisa saya berikan.
Kekhawatiran saya mulai terjadi. Tak lama setelah kami bawa Gunawan tinggal, saya mendapat kabar kehamilan. Tentu kami menerima itu sebagai kabar bahagia. Sebab saya pun suami sudah beberapa bulan menanti hadirnya bayi. Alhamdulillah pas menginjak satu tahun pernikahan, ternyata penantian kami Allah kabulkan.
Masa awal kehamilan saya jalani dengan cukup berat. Saya mengalami hyperemesis yang lumayan mengganggu. Di tengah-tengah kesibukan saya sebagai guru saat itu, saya berusaha menjalankan tugas sebagai istri dan kakak yang baik di rumah kami. Pergi sangat pagi, lalu pulang menjelang magrib. Awalnya agak keteteran, apalagi semua saya kerjakan sendiri, tetapi seiring waktu ternyata saya bisa juga menyesuaikan.
Waktu berjalan, kehamilan saya semakin besar. Selama fase hamil itu, saya dan suami banyak hidup prihatin, tidak luput juga Gunawan yang alhamdulillah pengertian dengan kondisi kami yang serba nge-pas. Dia tidak banyak menuntut, padahal di usianya banyak anak yang senang main dan minta jajan. Tapi begitulah dia, nampak tumbuh dewasa lebih cepat.
Meski hamil besar, saya tetap berusaha beberes rumah dan memasak untuk kami bertiga. Bahkan, pagi sebelum melahirkan, saya masih sempat menyiapkan sahur untuk suami dan Gunawan yang tengah berpuasa. Masya Allah, dulu tuh rasanya ya biasa saja, tidak menjadi beban gitu loh. Status saya sebagai guru sudah saya tuntaskan di bulan Mei, kurang lebih sebulanan sebelum melahirkan. Resmilah sudah sejak itu saya menjadi full IRT :)
Pasca melahirkan, banyak yang terjadi saat itu. Saya kira akan lama ditemani ibu atau mertua merawat bayi, toh itu pertama kalinya saya jadi ibu. Tapi ternyata lagi-lagi Allah menempa saya. Kurang dari seminggu saya di rumah mertua, lalu memutuskan pulang ke rumah Bekasi. Sempat ditemani sekitar dua minggu oleh ibu saya, namun karena suatu hal, saya meminta suami untuk mengantarkan ibu pulang ke Bogor. Kurang lebih Tisya usia tiga minggu di Juli 2018, saya sudah mandiri merawat bayi seorang diri. Kami belum mampu menyewa jasa ART karena, ya, belum ada budget. Tapi alhamdulillah semua berjalan dengan baik, ternyata saya bisa juga kok merawat bayi hehe.
Beranjak bulan ternyata Tisya semakin aktif, dia semakin tidak bisa saya tinggal. Dulu, saya masih belum siap menurunkan standar kerapian rumah. Sehingga setiap Tisya tidur, bukannya ikut istirahat, saya malah sibuk mengerjakan tugas rumah. Target saya saat itu, setiap suami pulang rumah kondisinya sudah harus rapi. Suami sempat marah, lalu bilang "Mih, gak ada yang maksa kamu beberes. Gak akan ada suami yang marah lihat rumah berantakan. Tapi kalau sampai istri sakit gara-gara maksa beresin rumah, beneran aku yang sedih."
Saya tidak ceritakan, bahwa saya banyak menahan diri selagi suami bekerja di kantor. Tidak hanya soal beberes, tapi juga soal makan. Setiap pagi dan siang hari, saya hanya sempat makan nasi dengan lauk telur ceplok. Pertama, karena saya tidak punya waktu. Kedua, hal ini saya lakukan demi menghemat anggaran. Saya hanya memasak lauk yang proper untuk kami di sore hari, tepat sebelum suami pulang kerja, juga menu untuk Tisya yang saat itu sudah masuk MPASI. Saya sadar diri, bahwa suami sudah banyak membantu biaya Gunawan sekolah, saya tidak ingin memberikan beban lebih dengan mengeluhkan kondisi keuangan. Juga, demi agar kami bisa tetap menabung walau hanya sedikit rupiah setiap bulannya. Begitulah kurang lebih kehidupan yang saya jalani setiap hari tanpa suami tahu.
Saya keep semua cerita. Saat itu saya kira, hanya saya yang banyak menahan diri. Hingga, sekitar tahun 2020 setelah lahir Hafshah, di suatu perjalanan santai saya dan suami di dalam mobil. Saya ceritakan apa yang terjadi di masa sulit kami di tahun 2018 di atas. Ternyata respon suami membuat saya lebih kaget.
Jadi, di 2018 itu, suami juga melewati masa-masa yang sama sulitnya. Karena idealisme suami untuk tetap bisa menabung walau sedikit, di samping tetap memberikan uang belanja yang layak untuk istri dan biaya sekolah Gunawan, suami menghemat pengeluaran makan di kantor. Di saat teman-teman kerja suami janjian makan siang bareng di kantin atau mall, suami selalu beralasan masih banyak pekerjaan. Suami memilih membeli sepotong roti dan sekotak susu di supermarket, lalu makan seorang diri di meja kerja sembunyi-sembunyi. Roti dan susu itu menjadi bekal sarapan sekaligus makan siang suami. Setiap hari. Pernah salah satu teman kerja suami sadar hal ini, lalu diajaklah suami dan dibayari makan. Temannya itu tidak berkomentar atau bertanya. Ya Allah, saya sedih banget mendengarnya. Mata berkaca-kaca.
Ternyata sama-sama terlahir sebagai anak pertama membuat kami memiliki rasa berkorban yang sama besarnya. Kami cenderung tidak banyak bercerita soal kesulitan yang kami hadapi. Beratnya hidup kalau bisa kami tanggung seorang diri, tidak perlu bermudah-mudah meminta bantuan. Sungkan sekali rasanya merepotkan orang. Kami lebih suka melayani dan membuat tenang hati pasangan. Dan satu lagi, meski keuangan nge-pas, sejak dulu kami anti berhutang. Tidak apa banyak menahan diri, makan dan belanja seadanya, yang penting hati tenang karena tidak punya hutangan. Betul tidak? Hihi.
Begitulah ya... Cerita ini mungkin terdengar sederhana untuk orang lain. Tetapi bagi kami yang irit terbuka, membuat kami sadar bahwa sejak dulu kami sudah memiliki fondasi rumah tangga yang sangat baik. Sejak itu kami membangun tiang demi tiang rumah tangga, melahirkan atap yang kuat untuk saling bernaung dan berbagi rasa. Ya Allah, terima kasih telah memberikan banyak pelajaran hidup bagi kami, terutama untuk belajar lebih terbuka pada pasangan.
Fase kehidupan yang berat itu alhamdulillah sudah berlalu ya, gais. Kini alhamdulillah kondisi kami sudah jauh lebih baik. Saya menuliskan ini sebagai pengingat dan penguat kami menjalani segala ujian rumah tangga. Bismillah, in syaa Allaah hidup rumah tangga kami penuh berkah.
Amin allahumma amin...
Comments
Post a Comment