Akhir-akhir ini semakin
sering pertanyaan tentangnya datang, kadang dari sahabat, adik tingkat, kakak
tingkat, saudara, orang tua, bahkan adik-adik saya yang semula saya kira akan
diam-diam saja. Kapan menikah? Ah, seolah itu pertanyaan yang biasa
dikonsumsi sehari-hari, ringan dan tak memiliki arti.
Pernikahan adalah sebuah
bahasan sakral, tak pantas dipertanyakan jika memang tak ada niat untuk
serius berteguh melaksanakannya. Jangankan memantapkan hati, membayangkannya
saja membuat saya menangis menjadi.
Kadang memang begitu iri
rasanya melihat mereka yang baru saja mengikrarkan janji suci itu. Betapa
romantisnya ketika keindahan hidup ini tidak perlu dinikmati sendiri, bahkan
semakin indah ketika kita bersamanya. Ada keceriaan ketika di kejauhan seorang
anak berlari menghampiri sambil berteriak ‘Ibu! Ibu!’ lalu ia tiba-tiba tertawa
ketika berhasil meraih pelukan ibunda dan sedetik kemudian tawanya semakin
kencang karena ibunda mengangkat dan mengguncang tubuhnya lembut. Betapa syahdu
ketika di malam-malam yang berlalu selalu ada tempat untuk mencurahkan kasih
sayang, ada kening-kening yang minta dikecup dan diusap lembut, ada selimut-selimut
di keranjang kecil yang minta disampirkan menutup tubuh-tubuh mungil tertidur
sambil mengigau. Ada seni yang terpahat ketika sisa-sisa kopi serta susu masih
tercecer di meja makan dari sepasang cangkir tadi pagi. Oh, bukankah bersama
itu selalu memberikan makna lebih baik atas segalanya?
Namun harus selalu diingat,
menikah itu menuntut kesiapan. Menikah berisikan transaksi kehormatan sekaligus
pengorbanan, harus ada kesiapan memupuk ikhlash serta sabar ketika dihadapkan
pada sosok-sosok keluarga baru yang entah bagaimana terkadang tidak sepaham,
harus ada kesiapan untuk bertaruh hidup ketika tuntutan status sebagai ‘ibu’
datang, bahkan harus ada kesiapan untuk bercampur di masyarakat dengan segala
aturan norma yang berlaku saat itu. Di sisi lain, pula harus ada kesadaran bagi
seorang perempuan bahwa mengikhlashkan diri pada seorang lelaki bisa berarti
mengikhlashkan harga diri sepenuhnya, baik fisik maupun non fisik. Tak ada lagi
pemikiran tentang diri sendiri. Tak ada lagi egosentris tentang memenangkan dan
memenuhi keinginan pribadi, sebab keutuhan keluarga kini menjadi prioritas utama
yang harus diterima bersama.
Pernikahan adalah sebuah
komitmen. Bukan hanya berkomitmen untuk menerima seorang lelaki menjadi bagian dari
hidup kita, tetapi juga menerima semua aturan-aturan lain yang menyertainya,
termasuk kehadiran perempuan dan anak-anak lain yang bisa jadi justru
memberikan nilai ujian paling besar terhadap seorang perempuan. Oh Allah,
siapkah saya?
Andai saja menikah itu
seperti menikmati alunan petikan gitar di siang ini, mungkin akan semakin mantap
saja saya menghadapinya. Tak perlu ada perhatian berlebih apalagi paksaan sekedar
untuk membuat saya bersegera. Sebab dengan sendirinya saya akan menawarkan
diri. Mengapa harus bersusah-susah untuk sebuah momen yang bisa dinikmati
setiap menitnya? Namun nyatanya, ini jelas berbeda.
Terkadang memang risih juga
sering ditanyai begitu :)
Bukan saya sengaja tidak
mempersiapkan, hanya saja saya malu untuk sekedar membicarakannya. Terlebih lagi,
entah mengapa masih ada pertanyaan besar terhadap perasaan saya sendiri.
Seharusnya ini akan menjadi lebih mudah ketika saya mendapatkan jawabannya,
tetapi nampaknya Allah masih merahasiakan jawaban itu hingga waktu yang belum
saya ketahui kapan tepatnya. Tentu saja, perkara ini tak pernah mudah.
Comments
Post a Comment