Di suatu pagi, sebuah
percakapan panjang melalui telepon yang pada akhirnya memberikan akhir yang
tegas.
Ummi : Kamu sudah yakin dengan pilihanmu, Sih?
Saya : In syaa Allaah, Mi. (entah mengapa tidak lengkap rasanya kalimat
ini tanpa isakan pelan)
Ummi : Ya sudah, semoga itu juga baik.
Lalu telepon ditutup.
Kami disibukkan dengan
pikiran masing-masing.
Tidak seperti biasanya,
sepagi itu kami bercakap dalam pergelutan batin yang terus bergejolak. Ummi
bertahan dengan pendapatnya, begitupun saya. Lalu tiba-tiba ada banyak kenangan
melintas, tentang pesan terakhir Abah, Emak, Ummi Haji, lalu Ummi Eni beberapa
waktu terakhir ini. Saya tahu, sudah saatnya saya menimbang segalanya secara
serius. Sudah saatnya saya berhenti main-main. Ummi benar.
Terakhir saya pulang ke
Babakan, Dullah memberikan gambaran secara jelas kepada saya tentang
rencananya, yang kemudian ia meminta saya terlibat sebagai salah satu bagian
dari rencana tersebut. Dullah memang tumbuh dewasa lebih cepat. Setidaknya ia
lebih paham bagaimana memperlakukan waktu, tenaga, serta pemikiran. Ia bukan
sosok idealis, tapi merupakan perencana ulung yang mampu saya andalkan. Selama saya
absen, Dullah-lah yang senantiasa menjaga kedua orang tua serta adik-adik kami,
bahkan memberitahukan kabar mereka sesekali. Ya Allah, harus semalu apa lagi
saya saat berhadapan dengannya?
Beberapa waktu lalu,
tiba-tiba Dullah mengabari saya bahwa ia sudah bertandang ke suatu kota. Ia
memulai rencananya di sana. Bahkan ia sudah mulai menyewa kost bersama beberapa
temannya. Entah apa yang terjadi, saya menangis seketika. Saya merasa gagal
sebagai seorang Kakak. Meski bekerja adalah keputusannya, tapi dahulu saya
pernah berikrar pada kedua orang tua kami, bahwa saya akan meneruskan cita-cita
Bapak untuk membimbing adik-adik dengan baik, apalagi harapan Bapak agar semua
anaknya dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Dullah mungkin
besar hati, tapi saya tidak. Saya tahu persis bahwa ia sangat ingin mewujudkan
harapan Bapak tersebut, tapi ia selalu berdusta jika ditanyai prioritasnya
untuk masuk kuliah. Ia menyukai bidang otomotif lebih dibanding yang lain. Sejak dua tahun lalu ia berkutat mempelajari mesin, praktik begini da begitu, terus saja belajar sepanjang waktu. Lalu tetiba ia hanya berkata "Dullah gak pengen kuliah, Pak". Ah, Dek, maafkan kakakmu ini.
Dullah memberikan segalanya
untuk saya. Ia tidak pernah mengeluh apalagi menuntut saat kedua orang tua saya
begitu fokus memenuhi semua kebutuhan saya dibanding dirinya. Ia bahkan begitu
tulusnya mendukung. Saat saya membutuhkan apapun, ia akan dengan cepat membantu
saya. Ketika Bapak sakit parah beberapa waktu lalu dan sempat membuatnya
menangis, ia sengaja tidak memberitahukan kondisi Bapak kepada saya, hanya agar
saya fokus menjalani UAS saat itu. Dan kini, ia mengorbankan kesempatannya agar saya bisa menempuh tahap magister, sesuai yang saya utarakan padanya setahun lalu. Saya malu. Sungguh malu.
Ummi benar. Allah selalu
tahu bagaimana cara menguji hamba-Nya. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan adalah
untuk menyadarkan bahwa masih banyak segenap kekuatan yang seharusnya bisa
membuat kita lebih baik dan lebih siap menghadapi kehidupan. Bahkan dalam
realitas yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, Allah selalu berhasil
membuat kita menemukan kepingan demi kepingan kekuatan tersebut. Ummi benar,
Allah sedang menguji kami. Ummi benar, kami patut bersyukur bahwa sejatinya
Allah masih menyayangi kami.
Saya terbiasa dengan
berbagai kecamuk di kepala. Pun saya terbiasa bersitegang dan berdebat dengan
diri sendiri. Namun baru kali ini saya mengutarakan segalanya kepada Ummi. Kami
mengharapkan segala kebaikan dengan sudut pandang masing-masing, meski dengan cara berbeda. Ummi bertahan
dengan pendapatnya, begitupun saya.
“Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”
(QS.
Ali Imran: 7)
Comments
Post a Comment