Rasanya tak pernah habis
waktu dan tenaga ketika berbicara tentang cinta. Ada saja yang dipikirkan. Ada saja
yang diharapkan. Kadang membuat senyum-senyum sendiri, meski lebih sering
membuat pedih hati.
Beberapa waktu lalu, seorang
adik mengetuk pintu kamarku untuk mengajak berdiskusi. Sebenarnya sudah cukup
lama ia menghubungi. Hanya saja baru ketika itu kami benar-benar berkesempatan
untuk bertemu. Hari itu, untuk pertama kalinya ia nampak berbeda. Wajah cerah
yang biasa ia tampakkan di hadapanku kini berganti dengan wajah lusuh
kelelahan. Aku tahu, ada terlalu banyak hal yang dipikirkannya. Maka tanpa
pikir panjang aku langsung menyuruhnya masuk dan mendekapnya erat. Ia menangis.
Aku hanya diam.
Ah, lagi-lagi tentang cinta,
suatu perkara rasa yang tidak mampu dijabarkan secara absolut. Cinta, buah
sifat manusiawi yang tentu akan menyejukkan ketika tercurahkan pada manusia dan
waktu yang tepat. Cinta, yang seringnya lebih mulia dibanding manusia itu sendiri.
Cinta, sungguh, jangan dekati aku sesekali kala kerapuhan menggerogoti imanku.
Ada sebagian orang yang merelakan waktu dan tenaga untuk menanti peruntungannya. Ia berharap waktu akan menyambut cintanya, memberikan keistimewaan pada penantian yang sedari dulu ia ikrarkan. Namun terkadang ia lupa, bahwa waktu dan harapan adalah hak setiap orang. Di satu sisi ia menanti, di sisi yang lain ada pula manusia lainnya yang berharap atas hal serupa. Ketika kegagalan menjadi takdir Tuhan, mengapa kini harus kau salahkan cinta? Bukankah penantian tanpa kepastian adalah keputusanmu dahulu?
Tuhan tak pernah salah
memilihkan jodoh. Hanya saja manusia yang sering keliru mendefinisikan
kecenderungannya. Bagaimana mungkin sebuah keputusan menjadi berkah ketika
bahkan dalam keputusan itu ia tidak melibatkan kehadiran Tuhan? Mengapa harus
mengutamakan kecenderungan, jika pilihan terbaik jutsru sudah Allah datangkan
tepat di hadapanmu? Siapa engkau, hai manusia? Engkau terlalu kecil, sedang
Allah itu besar.
Jangan sesekali hati
berharap pada manusia. Sebab manusia itu terlalu lemah, sehingga pengharapan
yang disandarkan padanya justru akan lebih sering berbalik menyakiti diri. Dan kini,
siapa lagi yang akan kau salahkan?
Duhai adikku, saudariku,
iman seorang manusia itu rapuh dan mudah luruh. Jika engkau menyayangi dan
menghormati dirimu, muliakanlah ia dengan sekuat-kuat benteng penjagaan. Boleh saja
kau jatuh cinta, sebab rasa itu adalah manusiawi. Namun jangan kau sandarkan harapan
cinta itu pada manusia. Kau tahu Allah itu pencemburu. Bisa jadi hari ini kau
tersenyum padanya, esok hari kau hanya mampu menatap punggungnya yang berbalik
semakin jauh.
Wahai kaum adam, kau tahu
setiap manusia itu punya pesona. Ada keindahan dari setiap karunia Allah
terhadapmu, pada caramu memandang, caramu tersenyum, caramu berbicara, caramu
menunjukkan kewibawaanmu, bahkan pada caramu menunjukkan titik lemahmu. Jika
kau tak serius ingin membersamai seorang hawa, mengapa harus kau tunjukkan
pesonamu padanya? Tidakkah kamu berbelas kasih?
Aku hanya mampu tersenyum. Ini
bukan perkara lucu, bukan sama sekali. Namun selama beberapa waktu aku mengenal
adik-adik bimbingku, ini adalah kasus ke sekian kali yang aku temui. Seringnya aku
lebih banyak diam, membiarkan mereka bercerita dengan sendirinya. Aku tahu,
kebutuhan perempuan pada umumnya adalah bukan untuk dicarikan solusi, melainkah
hanya sekedar meluapkan keresahan dan segala perasaan-perasaan tidak nyaman
yang terlanjur ada. Dan aku yakin, adikku, kau lebih tahu bagaimana cara
menyudahi keresahanmu dibanding orang lain, termasuk aku.
Duhai diri, semoga Allah membesarkan hati dan akalmu. Sehingga engkau mampu menanam cinta pada sebaik-baik ladang, lalu menyemainya di waktu yang Allah tetapkan terhadapmu.
Comments
Post a Comment