Apa yang benar-benar saya
inginkan?
Pertanyaan itu terlontar
begitu saja melalui sebuah pesan singkat, yang kemudian membuat saya merenung
dalam sekedar untuk mengidentifikasi dan mencari jawaban atas pertanyaan
tersebut. Asih, apa sebenarnya yang kamu inginkan? Maka sungguh, saya pun tidak
menemukan jawaban.
Satu pekan menjalankan peran
baru sebagai fasilitator Asrama Pelopor telah mengubah jalan pikiran saya cukup
banyak. Saya bersyukur bahwa dalam rangka menunjang pembinaan karakter dan
menambah khazanah pengetahuan adik-adik khususnya untuk putri, di asrama ini
diselenggarakan kajian rutin selepas shalat shubuh berjamaah. Terkadang kami
membahas fiqih, beralih kepada isu yang tengah terjadi di masyarakat sekitar, sejarah
Indonesia, terakhir kami membahas sirah Nabi dan Rasul serta para shahabat
maupun shahabiyyah. Saya tak banyak memberikan opini maupun referensi, melainkan
mencukupkan diri dengan duduk tawadhu’ mendengarkan dan meresapi setiap bahasan
yang diberikan.
Semalam kami mendapatkan
bahasan tambahan dari seorang tamu. Random saja sebenarnya, sama sekali bukan
agenda formal pembinaan. Maka yang duduk ketika itu tidak banyak, hanya tamu
tersebut, saya dan dua orang adik yang memang sedang menghabiskan makan malam
sambil bercengkrama di ruang tengah.
Tamu tersebut memang cukup
sering menginap di asrama, beberapa kali bahkan beliaulah yang bersedia berbagi
ilmu kepada saya dan adik-adik di agenda pembinaan selepas shalat shubuh
berjamaah itu. Usia kami yang tidak terpaut jauh, hanya selisih 6 tahun, dan
kebetulan tamu tersebut juga masih sama berstatus single seperti kami,
membuat topik bahasan malam itu mengalir saja dan sama sekali tidak terasa ada
hambatan komunikasi di antara kami.
Beliau membahas cukup banyak
topik, dari yang tadinya hanya ingin menjawab satu pertanyaan dari seorang adik
“Kapan Teteh menikah?”. Hehe mungkin itulah yang harus dimaklumi (dan
disyukuri, mungkin?) dari perempuan. Ketika mood bagus, topik sana dan
sini mengalir begitu saja. Saya sih yang bersyukur sebenarnya, karena kerap
mendapatkan pengetahuan baru dari Kakak-Kakak yang senantiasa rindu berbagi
ilmu dan pengalaman seperti beliau. Jadilah, usai makan, kami mendapatkan
kajian yang luar biasa dari beliau, sebagian besar membahas tentang prosesi dan
problematika rumah tangga yang terjadi pada keluarga-keluarga Nabi dan Rasul,
tak urung pula para shahabat/shahabiyyah.
Saya tetiba merasa gemas
dengan diri sendiri. Sejujurnya beberapa hari ini kegalauan saya tengah
memasuki tahapan puncaknya, yang kadang membuat saya mengelus dada dan
memutuskan tidur lebih lama. Saya mulai berpikir untuk menyegerakan menikah,
entah karena orang tua yang semakin giat mendorong saya, atau karena visi
keluarga tetiba berjejejalan di kepala. Saya sering bertanya-tanya pada-Nya di
sepertiga malam, apa keputusan baik tepatnya yang harus saya ambil? Sebab nampaknya
saya hanya mampu menemukan jalan buntu. Bahkan untuk meminimalisir kegalauan
itu, sengaja benar saya memutuskan komunikasi dengan banyak orang, berharap
potensi ‘liar’ dalam diri saya berakhir dan tidak menimbulkan fitnah yang saya khawatirkan
akan berujung kepada kemudharatan.
Bersebab ingin memutus
kegalauan itu, saya sempat berpikir untuk menyerahkan proposal yang telah saya
susun sejak lama (karena sempat diberi taklimat sih sebenarnya) kepada
Murabbiyah saya. Saya bukan tipikal orang yang senang menjejali kepala saya
dengan angan-angan masa depan maupun prasangka-prasangka yang entah bagaimana
ujungnya, sehingga kerap kali saya lebih nyaman langsung bertindak daripada
berpikir lama yang bisa jadi membuat saya susah juga. Dan pada akhirnya niat
tersebut saya urungkan juga, sebab lagi-lagi, saya merasa minder dan merasa belum
pantas mendampingi seorang lelaki. Ah, da saya mah apa atuh, mengurusi diri
sendiri saja belum bisa, apalagi diamanahi visi dakwah dalam berkeluarga? Lalu
malam itu, usai kajian random tersebut, kembali terngiang pertanyaan itu di
dalam kepala saya, apa yang sebenarnya saya inginkan?
![]() |
| Sumber gambar Di Sini |
Selama terserang gejala
tipes kemarin, saya bersyukur bahwa ketika itu menjadi titik netralisir
kegundahan hati saya. Akhirnya saya menyadari bahwa saya hanya butuh waktu
untuk sendiri dan merenungkan segalanya. Memang benar bahwa menyegerakan
mungkin bisa memenuhi hasrat dan mengakselerasi kedewasaan saya, tapi itu bisa
jadi mengulur dan mengesampingkan target-target capaian saya yang lain, terutama
kebutuhan saya dalam mendidik adik-adik saya.
Saya mempunyai mimpi
sederhana. Sebuah mimpi yang saya bangun bertahun-tahun. Saya ingin mengurus
langsung semua kebutuhan pendidikan adik-adik saya. Bahkan sebenarnya keinginan
itu bisa dikatakan sudah menjadi obsesi yang mengalir dalam diri saya. Saya ingin
hijrah ke suatu kota dan membawa 2 adik saya yang paling muda, sedang 2 adik
saya yang lain akan saya biarkan melanjutkan pendidikan di universitas dengan
jalannya masing-masing.
Melihat perkembangan
karakter kedua adik saya, saya percaya dan sangat yakin bahwa saya bisa melepas
Dullah dan Sahid secara mandiri. Mereka sudah cukup dewasa untuk memutuskan
segalanya. Mereka hanya butuh fasilitas untuk menempuh pendidikan formal yang
lebih tinggi, sehingga tugas saya hanya tinggal mengawasi.
Sedangkan Gunawan, selepas
ia SD, melalui kedua tangan saya sendiri, saya ingin menghantarkannya ke
sekolah lanjutan berbasis Islam. Saya tidak peduli bahwa ia masih kecil dan
pengalaman di desa sejauh ini belum pernah memfasilitasi dirinya untuk jauh
dari keluarga. Namun justru karena itu, saya ingin Gunawan mendapatkan pembinaan
intensif untuk menyempurnakan akhlak, fisik, akal, maupun sosialnya di tempat
yang lebih terjamin. Saya ingin adik-adik saya menjadi pemimpin-pemimpin hebat,
maka tidak cukup membiarkannya berleha-leha begitu saja apalagi dengan
fasilitas desa yang sudah saya ketahui bagaimana adanya.
Maka Alif, adik saya yang kini masih berusia 5 tahun, adalah harapan terbesar saya. Saya ingin mengajaknya hijrah bersama saya, membuatnya tahu bagaimana dunia luar selagi ia masih kanak-kanak. Semoga kelak Ummi dan Bapak mengizinkan. Dengan kedua tangan saya sendiri, saya ingin mengajarkan padanya arti ketegasan dan wibawa, bagaimana membuatnya tahu bahwa betapa berharganya ilmu dan berpengaruhnya sejarah dalam pembentukan visi dan misi sehari-hari.
Meski tidak muluk-muluk,
saya hanya ingin memastikan semua mimpi saya itu tercapai dan pada akhirnya
bisa menghantarkan saya pada ketenangan ketika Allah memanggil saya nanti. Sebab
acapkali saya begitu ketakutan jika memikirkan di akhirat kelak, ketika tidak
ada lagi tabir antara saya dan segala kebenaran, sedang Allah meminta
pertanggungjawaban peran saya atas adik-adik saya, saya hanya mampu diam dan
membisu. Bagaimana bisa saya memberikan jawaban, sedang kondisi adik-adik saya
saja tidak saya perhatikan? Bagaimana shalatnya, Islamnya? Saya berkontribusi
dan berkecimpung dalam banyak isu di sekitar, sedang adik-adik saya saja tidak
saya benahi. Bagaimana mungkin saya bisa hidup seperti itu? Allaahu yaa Rabbiiy
:’(
Yah begitulah, rasanya
jawaban akhir saya semakin jelas. Saya yakin Allah lebih tahu siapa, kapan dan
bagaimana tepatnya mempertemukan saya dengan imam saya kelak. Maka tidak
perlulah lagi saya berpusing-pusing apalagi sampai bergumal dengan galau
berkepanjangan. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan,
agar menikah itu tidak sekedar memenuhi hasrat untuk hidup bersama, melainkan
juga bersamanya senantiasa menghidupkan visi dakwah dalam berkeluarga. Sebab
membersamai seseorang di dunia itu terlalu naif bagi saya. Saya ingin visi yang
lebih besar, yaitu membersamai imam saya menuju jannah-Nya. Biidznillaah :)

Comments
Post a Comment