Ini adalah malam cukup
panjang bagi saya dan kedua rekan bisnis saya yang lain. Pasalnya malam ini
kami tengah mempersiapkan segala hal yang perlu disiapkan untuk launching
bisnis kecil kami di esok hari. Masing-masing sibuk menatap layar laptop,
cangkir-cangkir wedang jahe dan kopi berbaris rapi di sekitar kasur,
toples-toples kue tergeletak tak bertuan, bahkan kabel-kabel alat elektronik malang
melintang tak jelas arah dan tempatnya.
Meski demikian ada hal menarik
terjadi. Di tengah semrawutnya daftar kerja yang harus diselesaikan, sebuah
perbincangan mengenai ‘tabiat’ tiba-tiba mengusik minat kami untuk sejenak
berdiskusi sambil menghirup udara fase rehat. Kami sempat tertawa meski lebih banyak
memasang mimik serius. Apalah daya, saya memang tengah penasaran dengan satu
topik ini, yang entah kenapa sedikit banyak mempengaruhi pola pikir saya dalam
berbagai hal.
Saya pernah berprasangka
bahwa adakalanya manusia berubah. Setiap orang memiliki fitrah baik, maka bukan
tidak mungkin jika seseorang yang pada awalnya memiliki sifat tidak
menyenangkan menjadi cukup menyenangkan untuk diperhitungkan. Adakalanya manusia
menyesali semua kesalahan dan dosanya, lalu ia fokus untuk memperbaiki dan
mengarahkan diri pada perbuatan-perbuatan manusiawi yang jauh lebih baik. Saya yakin,
manusia pasti bisa demikian.
Hingga suatu ketika, sebuah
kenyataan bertubi-tubi merobohkan segalanya. Saya terpuruk dalam suatu insiden
yang membuat saya menangis dalam diam untuk waktu yang cukup lama. Sesak rasanya
menatap sebuah kegagalan, apalagi jika semua hal tersebut disebabkan oleh
terlalu baiknya prasangka yang tercurah. Oh Tuhan, berlebihankah jika kemudian
saya membalikkan segalanya?
Sejak insiden tersebut
setidaknya saya mendapatkan satu lagi pembelajaran. Mungkin adakalanya manusia
berubah, tapi lebih banyak yang tidak. Maka ketika harapan yang terlanjur kau
bumbungkan setiap malam di ketinggian langit tak kunjung memberikan jawaban,
terimalah kenyataan bahwa mungkin saja Allah memang berkehendak menetapkan
dirimu dalam urusan yang lain. Tak perlu berlarut-larut mengharapkan sebuah
perubahan pada seseorang, tapi belajarlah untuk merubah harapanmu pada orang
lain yang mungkin akan jauh lebih baik dengan kepastian yang membuat hatimu
tentram.
“Ya muqallib al qulub,
tsabbit qalbi ‘ala diinik”
Hehe jangan salah sangka,
saya tidak sedang berbicara mengenai kasus PHP dan semacamnya. Sebab sejak kecil
orang tua saya selalu mendoktrin akan pentingnya bersiaga terhadap ‘perkara hati’.
Saya sadar, ‘perkara hati’ ini tidaklah transparan. Itulah sebabnya saya tidak
terlalu tertarik menanggapi kericuhan teman-teman saya mengenai ‘kode’ dan
sebagainya yang menurut saya omong kosong jika ‘perkara hati’ ini tidak
disampaikan secara langsung melalui kata-kata yang bisa saya pahami. Hei, kamu,
yang suka sekali berkode-kode kepada orang lain, berhentilah berbuat demikian!
Saya bersyukur bahwa dialog yang
terjadi di antara saya dan rekan-rekan saya malam ini mampu membuka pikiran
saya yang terlanjur sempit. Mereka mengingatkan bahwa meski cukup banyak
kekecewaan yang saya dapat, tidak pantas bagi saya menutup kepercayaan terhadap
orang-orang lain di sekitar. Saya tetap harus memberikan energi dan sikap
positif, sebab itulah bagian saya. Manusia harus saling memuliakan, Asih, tidak
baik jika bergelut dengan kekecewaan pribadi secara terus menerus. Ayolah, memulai
segalanya dari nol lagi itu tidak terlalu buruk. Kamu pasti #Quwwat :)

Comments
Post a Comment