I want to be a full-time Mom...
Hehe entah kenapa pagi ini kalimat tersebut yang tersirat. Dan entah sejak kapan pula kalimat itu mulai ada.
Sebenarnya, berdasar banyak artikel yang saya baca belakangan, tidak ada istilah full-time, half-time, bahkan working-Mom. Sebab, bagaimanapun dan seperti apa pun aktivitas yang dilakukan seorang ibu, dia akan tetap menjadi ibu yang utuh bagi anak-anaknya. Di depan laptop, bepergian, berbelanja, bahkan ketika tertidur; pikiran mengenai anak-anaknya selalu muncul di dalam kepala.
Saya tergelitik karena tiba-tiba teringat tuntutan lingkungan kepada saya, baik dari orang-orang terdekat hinga orang-orang yang baru saya kenal satu menit di jalan. Sebagian percakapan yang terjadi kurang lebih seperti ini:
Orang lain : "Kuliah di mana, Mbak?"
Saya : "Di ITB, Mbak/Mas"
Orang lain : "Sudah lulus?"
Saya : "Alhamdulillah sudah"
Orang lain : "Wah enak banget ya bisa dapet kerjaan yang nyaman dan gaji besar"
Saya : "Hehe aamiin..."
Orang lain : "Sudah menikah, Mbak?"
Saya : "Alhamdulillah sudah"
Orang lain : "Masih muda banget ya padahal?" (dengan muka setengah kaget)
Saya : "....."
Orang lain : "Sudah punya anak, Mbak?"
Saya : "Hehe belum, Mbak/Mas"
Orang lain : "Kasihan ya nanti kalau sudah punya anak bakal ditinggal terus sama ibunya"
Saya (Muka bingung) : "In syaa Allaah kalau sudah punya anak nanti saya full di rumah Mbak/Mas, mau full jadi ibu rumah tangga"
Orang lain : "Aduh sayang banget, Mbak. Udah kuliah tinggi kok milih di rumah saja?"
Saya: "#%$&@" (Duh ini orang maunya apa -_-)
Iya, saya mengakui bahwa kampus gajah itu terlihat sangat bergengsi. Hampir setiap orang yang saya temui berdecak kagum begitu mengetahui di sanalah label sarjana saya didapat, apalagi dengan status sebagai penyandang beasiswa penuh. Tidak sedikit orang yang mengharapkan saya memiliki ambisi besar dan tidak menyia-nyiakan karunia tersebut.
Pun dahulu saya berpikir sama. Mungkin hanya orang tua saya yang memperhatikan, bagaimana puing-puing karir itu saya mulai sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Saya mengikuti berbagai kegiatan organisasi dan ekstrakurikuler sekolah. Perlombaan demi perlombaan saya ikuti, tidak sedikit piagam dan sertifikat penghargaan saya hadiahkan untuk sekolah. Hal itu terus berlanjut hingga saya menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Namun seiring waktu, pernikahan membuat cara pandang saya berubah. Atau, well, mungkin bukan pernikahan itu yang merubah cara pandang saya, melainkan saya sendiri yang membuat cara pandang itu berubah melalui berbagai informasi yang saya dapat dan saya olah.
Saya membayangkan seandainya kelak saya diamanahi menjadi seorang ibu. Saya mengukur betapa amanah itu luar biasa besar. Amanah tersebut merupakan karunia, namun juga ujian. Saya harus membesarkan dan mendidik seorang anak, yang mana saya tidak tahu kelak ia akan menjadi seperti apa. Setiap kata, sentuhan, bahasa tubuh, hingga cara pandang saya akan mempengaruhi anak saya. Lega jika apa yang ia dapat dari saya adalah kebaikan, bagaimana jika sebaliknya? Bukankah pembalasan Allah terhadap dosa kita melalaikan amanah di akhirat amat pedih?
Bagaimana jika nanti, malaikat bertanya kepada saya:
"Kemana kamu ketika dia (anakmu) membutuhkanmu untuk belajar ilmu agama dan mendekatkan diri terhadap Rabbnya?"
Kemudian saya hanya tercekat, diam.
Malaikat bertanya lagi:
"Kemana kamu ketika dia (anakmu) mulai mengenal lingkungan maksiat karena kamu absen dalam mendidiknya?"
Saya diam lagi.
Ah, saya takut. Takut sekali membayangkannya.
Keluarga adalah lingkungan terkecil sebagai media menimba ilmu. Pun seorang ibu, sudah banyak yang bilang, adalah madrasah pertama bagi anak-anak mereka. Oh Tuhan, peran ibu ini kenapa terdengar sangat menggelisahkan?
Saya terkadang mengulang-ulang menyebutkannya di dalam hati, I want to be a full-Mom. Please, don't ask me why. I just wanna do something right.
Comments
Post a Comment