"Tam,
mau ke mana?" Seseorang memanggil.
"Teh
Tamara kok sendiri?" di hari yang lain seorang adik menyapa ramah.
"Tamaraaa...ikut
dong di acara besok, jadi panitia ya?" seorang kakak tingkat bertanya via
medsos.
"Tam
Tam, liat fotomu! Haha" -____-"
[Sedikit
frasa tentang 'Tamara']
"Hai,
nama saya Tamara. Saya berasal dari jurusan Tambang angkatan 2010, hobinya
ngemil permen Tamarin"
adalah
gaya perkenalan yang biasa saya lontarkan kepada orang2 yang baru saya kenal.
Tidak tahu diri memang. Pembohongan? sudah tentu.
Tanggapan
audiens beragam; beberapa percaya saja, beberapa memasang mimik tidak percaya
meski memilih tetap diam, beberapa spontan terpekik dan bertanya acak
"Masa?" "Kok bisa?" "Pake lotion apa, Teh?"
"Jarang ke lapangan ya" "Kenal dengan 'fulan' gak, Teh?".
Balasan saya? Hehe, cukup pasang muka innocent dan tertawa geli.
Kata
orang, saya terlalu supel dan kekanakan sehingga mudah sekali punya teman.
Sayangnya saya pelupa, ditambah kondisi mata minus dan silindris (sampai 1,5
lah -_-) tanpa kacamata, jadi perkenalan di awal selalu berakhir tanpa guna.
Saat bertemu di jalan, orang di sekitar menyapa "Hai Asih" "Hai
Tamara!" dan saya hanya bisa membalas "Hai!" dengan mimik
sumringah tanpa tahu tepatnya siapakah gerangan penyapa tersebut. Bahkan saya
punya adik tingkat yang setiap kali bertemu selalu bertanya "hayo, saya
siapa, Teh?", meski kami sudah hampir satu tahun kenal dan sudah kesekian
kalinya bertemu. Lalu tanggapan saya? Seperti biasa "Hehe" adalah
jawaban handal untuk berlindung dari mimik wajah culun.
Oke,
balik ke bahasan terkait asal mula nama 'Tamara' ini :'D
Sejujurnya
saya tidak punya alasan kenapa nama ini yang selalu saya jadikan 'nama
panggung'. Nama itu keluar saja, tidak pernah meminta izin dan tidak pula
meminta pendapat dari sang empunya. Tapi yang lebih membuat saya bertanya2
adalah bahwa akhirnya nama tersebut yang benar2 melekat di dalam ingatan teman2
saya dan nama itu pulalah yang mereka labelkan terhadap saya. Oh baiklah :p
"Kamu
pakai kerudung lebar sih, susah jadinya untuk gak percaya!" celetuk teman
saya pada suatu hari.
Saya
tersentak, "Sakitnya tuh di sini!" kalimat itu tetiba usil berkelebat
di dalam kepala. Kalimat yang sangat sederhana, namun begitu membekas.
Kawan,
kebohongan meski dilakukan untuk hal kecil tetap saja akan membekas dalam
bentuk 'Bohong', tidak pernah sewaktu2 berubah menjadi 'Jujur'. Saya malu.
Seyogyanya masih banyak bahan candaan lain yang lebih elegan dan mendidik
dibanding berbohong, Dan lagi, saat kita terbiasa melakukan kebongan2 kecil,
hati2lah bahwa itu akan menjadi awal dari kebohongan2 besar. Lantas, apa yang
bisa kita lakukan?
O
Allaah, limpahkan maghfirah-Mu
Untuk
kami yang tidak pernah lepas dari jerat dan tipu daya...
Untuk
kami yang tidak tahu diri ini...
Ah
kawan, betapa saya ingin meminta maaf sedalamnya atas segala ucapan tak pantas
yang keluar dari mulut ini.
Beberapa
hari ini saya terusik tentang janji2 yang tidak mampu saya tepati, sampai detik
ini saya begitu terpukul. Hasrat untuk bertanya selalu hadir "Maafkan saya
yang tidak mampu memenuhi janji saya, bisakah kamu izinkah saya menebusnya
dengan hal lain saja?" atau "Maafkan saya yang sudah berbohong
tentang nama saya, bisakah kita memulai silaturahim ini dengan lebih mulia dan
disampaikan dengan penuh kejujuran?"
Tapi
tapi tapi...
Comments
Post a Comment