"Peringatan
Dini Tsunami di MALUT, SULUT, GORONTALO, MALUKU, PAPUABAR, Gempa Mag : 7.3 SR,
15-Nov-14 09:31:40 WIB, Lok : 1.94 LU, 126.50 BT, Kdlmn: 10 Km : BMKG"
Pesan tersebut baru saja kudapatkan dari adik kelasku di SMA. Seperti tersandung batu besar lalu jatuh tersungkur di kedalaman palung. O Allah, beginikah rasa takut itu?
Semalam aku bermimpi tentang keluargaku. Entah bagaimana bermula, kedua adikku, Abdullah dan Sahid mendapati luka yang cukup serius. Aku yang panik hanya bisa menangis dan membopong mereka ke klinik terdekat. Meski tubuh mereka jelas lebih besar dariku, tekad dan rasa kasih mengalahkan beban siksa yang tertumpu di punggung. Langit gelap, pun rintik hujan tak mau urung. Jalanan di sekitar basah dan berlumpur, tak tergambar pula dalam mimpi di mana gerangan tepatnya letak rumahku. Aku hanya berpikir "Adikku, betahanlah!"
Rasa panik yang begitu mendera, hingga kudapatkan orientasiku benar-benar hilang. Adikku merengek menangis, sedangkan tak ada daya dan upaya yang bisa kuberikan. Tangisku pecah diiringi kondisi kedua adikku yang semakin parah. Aku kalap, tangisku semakin menjadi. Entahlah, begitu mengerikan jika diingat lagi.
Kini dalam dunia nyata, panik itu kembali mampir. Tak tahan lagi, aku hanya bisa menulis sambil menangis. Allah, lindungi saudara-saudaraku. Pun jika kematian adalah jalan terbaik, izinkan kami tinggalkan dunia dalam kondisi syahid, di akhirat berkumpul bersama orang2 bertaqwa.
Ya, sepenuhnya aku sadar. Mungkin ini sebuah teguran. Sudah lama sejak aku menghitung kemampuanku sendiri. Kenapa aku tak juga menyerah? Mengapa tak cukup bagiku untuk berbaik sangka saja pada-Mu? Aku terlalu sombong u_u
O Allah, berilah ketenangan itu
Jangan Engkau jauhkan...
Jangan Engkau jauhkan...
Pesan tersebut baru saja kudapatkan dari adik kelasku di SMA. Seperti tersandung batu besar lalu jatuh tersungkur di kedalaman palung. O Allah, beginikah rasa takut itu?
Semalam aku bermimpi tentang keluargaku. Entah bagaimana bermula, kedua adikku, Abdullah dan Sahid mendapati luka yang cukup serius. Aku yang panik hanya bisa menangis dan membopong mereka ke klinik terdekat. Meski tubuh mereka jelas lebih besar dariku, tekad dan rasa kasih mengalahkan beban siksa yang tertumpu di punggung. Langit gelap, pun rintik hujan tak mau urung. Jalanan di sekitar basah dan berlumpur, tak tergambar pula dalam mimpi di mana gerangan tepatnya letak rumahku. Aku hanya berpikir "Adikku, betahanlah!"
Rasa panik yang begitu mendera, hingga kudapatkan orientasiku benar-benar hilang. Adikku merengek menangis, sedangkan tak ada daya dan upaya yang bisa kuberikan. Tangisku pecah diiringi kondisi kedua adikku yang semakin parah. Aku kalap, tangisku semakin menjadi. Entahlah, begitu mengerikan jika diingat lagi.
Kini dalam dunia nyata, panik itu kembali mampir. Tak tahan lagi, aku hanya bisa menulis sambil menangis. Allah, lindungi saudara-saudaraku. Pun jika kematian adalah jalan terbaik, izinkan kami tinggalkan dunia dalam kondisi syahid, di akhirat berkumpul bersama orang2 bertaqwa.
Ya, sepenuhnya aku sadar. Mungkin ini sebuah teguran. Sudah lama sejak aku menghitung kemampuanku sendiri. Kenapa aku tak juga menyerah? Mengapa tak cukup bagiku untuk berbaik sangka saja pada-Mu? Aku terlalu sombong u_u
O Allah, berilah ketenangan itu
Jangan Engkau jauhkan...
Jangan Engkau jauhkan...
Comments
Post a Comment