Di tengah padatnya rutinitas kampus dan pasca kampus, izinkan saya menyisihkan sebagian benang kusut yang sudah sekian lama tertanam di dalam kepala. Karena bisa jadi, setelah ini seuntai benang itu akan tersulam menjadi sebingkai sulaman indah nan layak dipajang.
Saya, mulai terbiasa berjalan sambil memikirkan banyak hal. Di dalam kepala ini, tidak pernah sedetik pun terhenti kelebat rencana yang diam2 hampir membuat saya gila. Terkadang bahkan saya mulai meracau sendiri. Saya berdoa semoga ini bukan merupakan salah satu gejala kelainan mental yang diam2 hinggap dalam diri saya. Pun dalam diri berdoa, semoga ini bukan pertanda bahwa saya telah mengalami depresi luar biasa.
Di dalam tas saya, ada banyak coretan yang entah kenapa bukan merupakan bagian dari catatan perkuliahan. Setelah saya baca, ternyata itu merupakan 'To Do List' yang biasa saya tulis sehari2. Cerobohnya saya, kertas2 itu tidak pernah saya buang. Saya berharap suatu hari nanti saya bisa membaca ulang kertas2 itu dan mulai memikirkan betapa saya telah membuang waktu dengan kesia-siaan yang tak pantas dibanggakan. Namun sayangnya, harapan itu selalu berakhir dengan tumpukan kertas 'To Do List' yang teronggok di kedalaman tempat sampah. Pun peningkatan produktivitas yang saya mimpikan selalu berakhir dengan kondisi badan tersungkur tertidur di atas lantai tak beralas.
"Kalo kamu begini terus, kapan kamu bisa mengatur kebijakan? Jangankan mengurusi ummat, mengurusi diri sendiri saja kamu tak mampu!"
Saya tak mengerti. Bagian antagonis dalam diri saya selalu berhasil melecutkan cambuknya. Dan saya, dengan segala kelemahan hanya bisa menangisi diri sendiri. Entah kenapa ada begitu banyak kepedihan saat waktu yang limited ini tak cukup mengembangkan segala mimpi dan tatanan strategi yang sudah begitu membuncah dalam dada.
Saya masih ingat. Uwak saya, Surya, meninggal karena buruknya tatanan layanan kesehatan dan kepedulian di desa. Kakak saya, Andi, meninggal karena buruknya pendidikan imunisasi anak. Adik saya, Sahid, mengalami kelainan syaraf karena lambatnya pelayanan Rumah Sakit. Ini bukan tentang dendam yang tertanam akan sistem pemerintahan terlebih akan bagian kesehatannya, tapi ini tentang sejauh mana kepiluan masa lalu ini akan memberikan dorongan bagi saya untuk mengatur sistem yang sudah terlanjur carut marut di desa yang saya cintai itu.
Saya mengerti bahwa dalam suatu sistem pasti ada titik lemahnya, saya mengerti bahwa dalam setiap pelayanan pasti ada lambat dan kurangnya. Saya sangat mengerti. Tapi saya tidak bersedia jika segala kelemahan, kelambatan dan kekurangan itu terjadi pada keluarga saya. Dan saya yakin, tidak ada seorang pun yang akan bersedia mengalami hal demikian. Silakan gagal, tapi jangan suguhkan kegagalan itu di hadapan saya.
Di kampus ini, di titik terdekat, saya harus mengatur sistem mentoring untuk beberapa kelompok yang sedang saya pegang. Dalam sedikit unit itu, waktu yang harus saya luangkan per pekannya menghabiskan banyak sekali jatah belajar mandiri saya. Kemudian saya mulai berpikir, bagimana caranya saya bisa mengatur sistem saat satu saja kepala keluarga di desa saya tinggalkan tanpa pengawasan? Oh, ini masalah baru.
Comments
Post a Comment