Beberapa waktu lalu, saya mendapati Sahid, adik saya mengeluh karena kurangnya pasokan air di rumah. Maklum, akhir2 ini cuaca tidak menentu dan hujan pun sudah lama tidak menemani keseharian Babakan. Padahal jika diingat lagi, pasokan air di desa saya sebagian besar berasal dari sumur2 galian. Jika hujan tidak turun, maka sumur2 itu akan kering. Pun saat masih menyisakan air, biasanya air itu akan memiliki kekeruhan yang tinggi dan berbau besi.
Saya sudah melakukan browsing tentang sistem sanitasi yang baik bagi pedesaan. Sudah saya pelajari pula melalui dokumentasi dan pendataan sanitasi di Dinkes Bandung. Dari pengamatan saya, memang kekurangan yang dimiliki Babakan adalah tidak tersedianya sistem penampungan air dan pembuangan limbah; entah limbah bekas cucian, mandi, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan air hujan yang deras hanya mengalir ke sungai-sungai, sedangkan sungai di desa sudah terbiasa dijadikan tempat pembuangan limbah. Yah begitulah, air jernih yang seharusnya digunakan berubah warna dan bau. Belum lagi limbah2 yang mengalir lewat selokan ternyata diam2 meresap kembali ke dalam tanah di sekitaran sumur, sehingga tak dinyana lagi bahwa air sumur tersebut akan cenderung memiliki bau dan warna yang kurang menyenangkan. Ah, rada disayangkan, bahwa segala keluhan yang kini menjangkit ternyata disebabkan kurangnya perencanaan dan pengetahuan warga akan pentingnya menjaga sanitasi.
Omong-omong, saya mulai mempelajari sistem perpolitikan kepala desa. Dari segala 'promosi' yang disampaikan melalui media (yang notabene hanya berasal dari poster, banner, flyer dan mouth to mouth method), saya kecewa karena ternyata tidak ada kegiatan directly hearing bagi warga terkait proker2 yang akan dicanangkan. Terlebih lagi, setelah menjadi kepala desa, saya tidak melihat ada sistem kontrol untuk menjamin kenyamanan, keamanan dan ketertiban. Segalanya hanya berjalan formal, hadir ketika dipanggil, berkeliling ketika ada event besar. Terkait pembagian sembako, misalnya, masih ada tindakan2 tidak pantas seperti mendistribusikannya hanya untuk kalangan tertentu, mengambil nilai komersil yang seharusnya tidak dilakukan, dan lain sebagainya. Jika dibiarkan terus, saya selalu khawatir bahwa hal ini akan menjadi budaya dan mendarah daging di generasi penerus kelak. Oh, saya harus bagaimana?
Terkadang saat ego saya mulai memuncak, saya membenci sikap primitif yang dimiliki warga desa saya. Begitu susahnya mereka menerima hal2 baru, entah terkait pengetahuan, usulan perbaikan sistem, dan lain sebagainya. Warga masih kolot dengan budaya leluhur dulu, masih merasa sok pintar dalam segala hal. Seperti 10 tahun lalu, saat sekelompok mahasiswa bermaksud mendirikan pesantren kilat di sebuah pengajian, seorang ustadzah menolak. Entah apa alasan utamanya. Herannya, ketika ada pembagian bingkisan, ustadzah tersebut hadir di barisan pertama. What are you doing? kataku dalam hati. Atau pernah juga saat seorang tetangga saya berusaha memperkenalkan Al Qur'an terjemah, bukannya disambut, justru tetangga saya tersebut dituduh sesat dan hampir dibakar oleh warga. Allaahu akbar, apakah ini?
Padahal jika diamati, warga desa Babakan termasuk kalangan yang sangat update terkait teknologi mobile. Gadget, kendaraan, fashion, kuliner adalah hal yang sangat lumrah dan mudah didapat. Tapi... ya begitulah, modernisasi-nya setengah2 -_-"
Sejujurnya, saya sangat ingin mengabdikan diri saya untuk kepentingan desa. Bahkan hal ini sudah saya utarakan kepada orang tua sejak 6 tahun lalu. Sayangnya, Bapak tidak pernah mengizinkan.
"Tidak semua orang mampu berkiprah di dunia politik, Sih. Berapa orang jujur sekarang? Cukuplah kamu menjadi orang cerdas, banggakan keluarga dan warga desa" begitu kata beliau.
Ah, dan lagi, air mata ini selalu tidak mampu bertahan di tempatnya. Bukan bersedih karena penolakan, melainkan bersedih karena merasa diri ini terlalu lemah bahkan untuk sekedar mengantongi kepercayaan Bapak.
Comments
Post a Comment