Skip to main content

Menjadi Kakak

Dalam hitungan hari, tepatnya 20 Juni nanti, usia saya menginjak 22. Genap sudah lipatan kulit saya semakin renta, pula akal yang kukuh mencoba dewasa. 22 tahun tentu bukan waktu yang sebentar, apalagi jika mengingat deret amanah peran yang Allah sematkan untuk saya. Jika saya renungkan lagi, hmmm 22 tahun ya...sudah selama itu kah saya hidup?

Omong-omong, dari banyaknya peran yang Allah amanahkan, salah satu yang terberat menurut saya adalah menjadi seorang kakak. Ya, kakak bagi keempat adik-adik saya. Peran menjadi seorang pemimpin dalam dunia kecil kami. Peran yang menuntut saya menjadi seorang pendidik nan tegas, sekaligus memaksa saya memerah seluruh cinta dan kepedulian yang saya miliki.

Saya masih ingat. Tahun 1998, ketika kondisi ekonomi keluarga saya mengalami gejolak klimaks. Saya duduk di bangku SD kelas 5, yang pada waktu itu sedang ranum-ranumnya mencintai dunia pendidikan. Setiap saya pulang dari sekolah, yang sengaja saya perlama demi bisa mendapatkan pelajaran tambahan dari wali kelas, kerap saya menemukan piring-piring di bawah tudung saji kosong sementara Dullah dan Sahid menangis di sisi meja sembari merintih, "Teh, lapar..."

Dalam kondisi masih mengenakan seragam sekolah saya pergi ke rumah tetangga terdekat, berharap bisa meminjam beras untuk memasak di rumah. Ah iya, di desa saya budaya tolong menolong dan gotong royong antar warga masih sangat kental, sehingga pinjam-meminjam uang, barang, hingga makanan sudah menjadi hal lumrah. Nah ketika itu, mungkin karena prihatin dengan kondisi keluarga kami, para tetangga pun kerap memberikan beras secara cuma-cuma tanpa meminta ganti (semoga Allah swt membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baik balasan). Tentu saya sangat senang menerimanya. Saya begitu bahagia, hingga ketika berjalan pulang tidak terasa kedua kaki berjingkrak-jingkrak dan mulut bernyanyi begitu keras. Alhamdulillah setelah itu adik-adik saya bisa berhenti merintih lapar, meski nasi yang dimakan hanya bertemankan garam tabur. "Enak kan nasi kepalnya?" kata saya sembari tertawa. "Iya, Teh!" jawab adik-adik saya dengan mulut penuh.

Sejak itu di hari libur saya berusaha membantu Ummi dan Bapak dengan berjualan es ikat, kadang juga  keliling desa menjajakkan sayuran dan buah-buahan hasil panen tetangga, tak lain agar setidaknya saya dan adik-adik tidak perlu lagi meminta uang jajan. Meski upah yang saya terima tidak banyak, saya bahagia karena seringkali bisa mendapat bagian dari sayur atau buah yang dijual ketika jumlahnya berlebih. Di sisi lain, kebahagiaan itu bertambah setiap kali adik-adik saya ikut serta untuk berjualan, yang dengannya membuat hubungan kami semakin erat. Bahkan, saya bangga seiring waktu melihat mereka tumbuh dengan luapan empati dibanding anak-anak lain seusianya.

Sumber

Dullah, bukan seseorang yang suka bermimpi tinggi. Namun kerap saya banyak belajar darinya. Dullah memang masih manja, sampai sekarang dia masih senang mengadu dan mengajak saya berdiskusi termasuk untuk perkara-perkara sederhana. Belakangan dia bahkan sering membuat saya risih karena hampir setiap hari mengirimi saya pesan melalui whatsapp atau Line sekadar untuk menyuruh saya makan. Anak lelaki kalau sudah khawatiran memang terkadang jauh lebih bawel dibanding perempuan wkwkwk.

Meski demikian, di mata orang-orang di sekitarnya dia adalah sosok yang dewasa. Dia lebih paham bagaimana cara menghormati orang lain. Dia selalu menunjukkan akhlak yang baik meski dalam kondisi kesal atau marah di hadapan teman-temannya, dia tidak segan berbagi, menjadi penengah ketika mereka bertengkar, menghibur dengan candaan recehnya (ampun, Dek), atau juga memberikan nasihat ketika mereka meminta.

Dullah belum bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saya tahu persis bahwa keinginannya untuk melanjutkan kuliah sangatlah besar. Dia pernah mengatakannya pada saya. Namun, tekadnya untuk membantu kondisi keuangan keluarga amat kuat, yang saya sendiri tidak mengerti mengapa bisa demikian adanya. Saya pernah bertanya, seandainya saya mengumpulkan uang dan menyuruhnya kuliah apakah dia bersedia atau tidak. Kemudian dengan santainya dia bilang akan menolak, sebab membantu kedua orang tua saat ini menurutnya lebih utama dibandingkan keinginannya untuk kembali bersekolah. Dan saya, sebagai kakak yang merasa punya kewajiban paling besar, hanya bisa menangis di balik telungkup jemari dan sekelumit pedih di kedalaman hati.

Beberapa waktu lalu Bapak saya sakit keras. Begitu keras hingga banyak orang mengira bahwa batas usia Bapak akan segera tiba. Dullah, yang entah mengapa sangat cemas memikirkan semuanya, menghubungi saya yang ketika itu masih beraktivitas di Bandung. "Teh, Dullah harus gimana?" katanya lirih. Dia tidak menceritakan kondisi Bapak, hanya meminta saya memberikan nasihat singkat. Tanpa saya tahu, usai saya tutup sambungan telepon dia menangis tersedu. Dan malam itu, bersama bulir-bulir tangis, dia simpuhkan kepala di samping ranjang tidur Bapak. Ya, sejak saya mulai menetap di luar kota, tanpa akad Dullah telah banyak menggantikan tugas saya. Maafin Teteh ya, Dullah, hingga hal seperti ini saja Tetehmu ini tidak peka.

Terkait hubungannya dengan perempuan, saya pernah sekali bertanya iseng tahun lalu, "Dullah, udah punya mantan berapa?" Dia tersipu kemudian tertawa. "Haha ada lah pokoknya," jawabnya sambil lalu. "Eh beneran, udah berapa?" tanya saya lagi mendesak. Dia nampak berpikir keras. Saya lihat jemarinya bergerak dari satu jari ke jari lainnya. Deuh, sok banyak mantan sekali adik saya satu ini. "Delapan, Teh!" katanya kemudian. Ah, kenapa tiba-tiba Teteh ingin menangis mendengarnya, Dek? T.T

Berbeda dengan Dullah yang konsisten dengan sosok dewasanya, Sahid adalah sosok periang yang sangat mudah akrab dengan anak kecil. Di rumah, dia sering asik bercanda dengan Alif dan Gunawan. Meski kadang juga asik mengusili atau merebut makanan mereka wkwkwk. Seperti halnya Dullah, Sahid juga mudah berteman dengan banyak orang. Terakhir saya perhatikan, dia punya satu geng besar di sekolah. "Ini geng khusus orang-orang keren, Teh," katanya suatu hari ketika saya menanyakan perihal teman-teman se-geng-nya itu. Hmmm orang keren yang hobi ngegalau, kata saya dalam hati.

Saya sering cemberut setiap kali berkunjung ke sekolah saya dahulu, tempat di mana Sahid melanjutkan SMA-nya sekarang. Jika Dullah senang memperkenalkan bahkan menawari saya boncengan, yang kemudian membuat teman-temannya bersiul menggodai kami (karena katanya lebih mirip pasangan kekasih dibanding kakak adik), Sahid justru sering cuek sekali. Setiap saya menghampiri dan menggodainya di kelas, dia akan tersipu sambil berkeras menyuruh saya pergi. Belakangan saya dengar, rupanya di kelas itu cukup banyak anak perempuan ngefans padanya, sehingga tingkah saya yang sering menggodainya membuat image dewasanya turun sekian derajat. Deuh atuhlah...

Saya lupa tepatnya tahun berapa, Sahid pernah mengalami kejang dengan mulut berbusa karena step. Panas yang sangat tinggi menyebabkan kerusakan pada sebagian kecil saraf motoriknya, salah satunya adalah cara bicaranya yang kini berubah jadi gagap. Meski demikian, sampai kini dia masih terus berlatih untuk meminimalisir gagapnya itu. Terkadang saya menangis setiap kali melihatnya berceloteh humor dengan segala keterbatasannya. Sahid, meskipun Teteh paling keras terhadapmu, sesungguhnya kamu adalah adik yang diam-diam paling mudah membuat Teteh khawatir dan gelisah.

Gunawan, adik ketiga saya, adalah yang paling perasa di antara 5 anak Ummi dan Bapak. Dia mudah berempati, juga tersinggung tanpa kami sadari. Namun, entah mengapa saya iri padanya karena dia adalah anak yang paling mampu menyampaikan rasa cinta melalui kata-kata terhadap orang tua. Dia tidak segan berkata, "Ummi, Nawan (pangilan kecilnya) sayang Ummi karena Allah" atau "Ummi, maafin Nawan ya kemarin-kemarin banyak salah sama Ummi" yang kemudian disertai pelukan erat, tanpa rasa segan.

Pernah suatu hari, ketika saya pulang ke Bogor. Baru saja kaki menapak di beranda rumah, ketika saya lihat Gunawan ngeluyur pergi mengaji tanpa pamit ke Ummi dan Bapak. Saya ingin mengajaknya bicara saat itu juga. Namun melihatnya buru-buru, terpaksa akhirnya saya urungkan niat.

Saya sedang membaca Al Qur'an ketika akhirnya Gunawan pulang. Masih mengenakan kopiah dan kain sarung, dia menghampiri dan duduk di samping sajadah saya. Dia khidmat mendengarkan saya mengaji. Tak lama, usai saya tutup bacaan saya, saya mengelus pipinya sembari berkata, "Ada apa, Nawan? Kenapa tadi pergi ngaji enggak salim ke Ummi dan Bapak? Enggak baik, Dek. Kurang adab namanya." Tiba-tiba air mata merembas dari kedua matanya. Sembari sesenggukkan dia ceritakan penyebab sikapnya tadi. Refleks, seperti biasa dia saya peluk, kemudian saya nasehati. Ya, terhadap Gunawan saya tidak bisa menegur kasar. Kabar baiknya, nasihat lembut selalu berhasil membuat hatinya luluh. Tak lama usai kejadian itu, dia bergegas meminta maaf sembari mencium tangan Ummi dan Bapak, tak lupa dengan cucuran air matanya yang mengalir deras. Semoga kelembutan hatimu itu senantiasa bertahan ya, Dek. Maafin Teteh karena seringnya belum bisa peka.

Lain lagi si bungsu, Alif, adik saya yang paling tampan sekaligus paling gaduh ketika di rumah. Dia tidak mengikuti nasihat siapapun, dan juga senang membuat kesal siapapun wkwkwk. Meski demikian, orang-orang di sekitar selalu memujinya hanya karena hidungnya yang paling mancung (atuhlah). Di sisi lain, dia tidak pernah lupa untuk berbagi. Apapun yang ada di tangannya, selalu dia bagikan untuk kakak-kakak atau teman-temannya. Pun ketika memiliki cita-cita, dia selalu melibatkan kebahagiaan orang lain bersamanya.

Saya masih ingat, dulu sering dia bersikukuh meminta adik perempuan kepada Ummi. "Emang kenapa harus Ummi kasih adik perempuan?" kata Ummi sembari tertawa, begitu juga saya. "Biar ada yang jagain Ummi di rumah. Nanti Ummi bisa suruh dia nyuci baju, nyuci piring, atau ke warung beli sayuran," jawabnya dengan wajah polos. Sontak saya terdiam. Entah kenapa saya merasa tertohok. Sebagai kakak dan anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga, saya baru sadar bahwa selama ini saya terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Makasih ya, Lif, sudah banyak ngingetin Teteh dengan caramu sendiri :')

Fyi, saya bukan seorang kakak yang mampu mengungkapkan rasa cinta. Dan di keluarga saya, kalimat cinta seringnya terdengar jengah di telinga. Kecuali terhadap Gunawan, saya terbiasa menunjukkan rasa cinta itu dengan cara mendidik adik-adik saya keras, layaknya didikan Bapak terhadap saya dahulu. Bahkan pernah Bapak bilang, adik-adik lebih takut terhadap saya dibanding Bapak dan Ummi (kenapa ya jadi sedih begini nulisnya T.T). Pertengkaran di antara kami adalah hal lumrah, berdebat adalah cara kami menyampaikan rasa peduli dan saling membenahi.

Hal yang paling berkesan untuk saya, sekaligus membuat saya bangga sebagai kakak, adalah kenyataan bahwa adik-adik saya tidak pernah menampakkan perasaan susah. Kesulitan dan ujian sebesar apapun selalu ditanggapi dengan perasaan ringan, bahkan dijadikan lawakan di antara kami sekeluarga. Itulah sebabnya, sangat aneh ketika saya sendirian menampakkan sisi melankolik saya di rumah. Dan bagi adik-adik saya, kakaknya ini lebih terlihat normal ketika bawel dan galak dibanding ketika saya mencoba menunjukkan kelembutan saya terhadap mereka -_-

"Teh, kelak kalau Bapak dan Ummi meninggal, Teteh yang harus gantiin tugas jagain adik-adik," kata Bapak pada suatu hari. "Adik-adik Teteh emang masih nakal. Maklumin aja, namanya juga masih harus banyak belajar," sambung Bapak. Saya tertunduk, hati dag dig dug membayangkannya. "Insya Allah, Pak," jawab saya pada akhirnya dan entah kenapa saya ingin sekali menangis waktu itu.

Aduhai, memang benar, menjadi kakak bukan perkara mudah. Bukan peran yang satu atau dua tahun waktu harus dijalani, melainkan seumur hidup. Saya harap, di kedalaman hati, semoga saya bisa menjadi kakak yang amanah, dan dimampukan untuk tetap menjaga amanah tersebut hingga kelak Allah tetapkan saya melepasnya.

Bismillah...
Allahumma yassir wa laa tu'assir...

Comments

  1. So emotional, even I could not easily keep reading it on every end of the paraghraphs.

    The 1998 economy crises scene breaks my heart, how a brave young little girl try to make a survival out of her own family. Perhaps this leads to warmness of the heart that bring much closure and intimacy within. "Inna ma'al 'usri yusro"

    Ich wünsche dir viel Spaß, gute Gesundheit und Erfolg zu deine Familie die ganze Zeit!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tahapan Kaderisasi

Kader berasal dari bahasa Yunani cadre yang berarti bingkai. Bila dimaknai secara lebih luas, berarti : Orang yang mampu menjalankan amanat. Orang yang memiliki kapasitas pengetahuan dan keahlian. Pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi Kader adalah ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah organisasi. Secara utuh kader adalah mereka yang telah tuntas dalam mengikuti seluruh pengkaderan formal, teruji dalam pengkaderan informal dan memiliki bekal melalui pengkaderan non formal. Dari mereka bukan saja diharapkan eksistensi organisasi tetap terjaga, melainkan juga diharapkan kader tetap akan membawa misi gerakan organisasi hingga paripurna. Pengakaderan berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan diri...

Tazkiyatun Nafs

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr: 18) Ayat di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan diakhiri pula dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah diisi dengan taqwa. Kemudian ayat di atas juga menjelaskan kepada orang yang mengaku beriman kepada Allah agar mempunyai langkah antisipatif terhadap kemungkinan apa yang terjadi esok. Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’ mengajarkan kepada kita bagaimana meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan lima ‘M’ yaitu: Mu’ahadah, muraqabah, muhasabah,  mu’aqabah dan mujahadah. Mu'ahadah Mu'ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali ...

Pangan Fungsional

I.          Latar Belakang Salah satu penyebab meningkatnya penderita penyakit degeneratif di masyarakat adalah kerusakan sel tubuh sebagai akibat aktivitas unsur radikal bebas yang terdapat dalam bahan makanan. Keadaan ini bisa terjadi karena kurangnya asupan bahan-bahan aktif yang dapat mencegah reaksi autooksidasi dari radikal bebas tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dibutuhkan asupan makanan, baik berupa sayuran, buah-buahan yang merupakan sumber antioksidan. Aktivitas antioksidan dapat menangkap radikal bebas, sehingga sel-sel yang rusak dapat dicegah ataupun diperbaiki. Selain dari sayuran dan buah sumber antioksidan juga dapat berasal dari tanaman  obat, jahe, mengkudu, lidah buaya, pegagan, temulawak, asitaba dan lain-lain. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman tersebut dapat bermanfaat sebagai sumber antioksidan misalnya flavonoid, tanin, polifenol dan lain-lain. Tanaman biofarmaka yang berfung...