Bunyi kecipak sepatu
di genangan air itu menyadarkan saya akan banyak hal. Tentang perasaan ini yang
tak mampu dijelaskan, tetapi tatkala merindu seringkali menimbulkan beriaknya
sendiri. Tentang mimpi-mimpi yang sudah saya bangun dan tanamkan begitu dalam,
sayang, alam memisahkan bagiannya satu demi satu sehingga ia berubah wujud
menjadi mimpi yang tidak lagi nampak utuh. Tentang obsesi kompulsif saya
terhadap ilmu pengetahuan yang kini melahirkan kecenderungan saya untuk
menggenapkan pelarian ke bagian sudut kota yang lain. Ah, mungkin juga hanya
saya yang mendengar suara gemuruh di kejauhan, yang semakin lama semakin
menumpukkan kegelisahan di dada. Ya Tuhan, dunia macam apakah yang sedang saya
jalani ini?
![]() |
The Kite |
Iman.
Satu kata yang tak
pernah berhenti menyurutkan gejolak pemikiran dalam diri saya. Ia tak bisa
dipandang, didengar, apalagi diraba. Ia bisa meluberkan hati yang membeku, tetapi
juga bisa mematikan akal sehat layaknya seorang Hallaj yang bergairah terhadap
nikmatnya iman. Ia yang kini menjadi misteri terbesar bagi diri saya, yang
dalam kekurangan beriring kelemahan menuntut saya pada majlis-majlis ilmu
sekedar untuk menghentikan otak saya berdecit karena telah bekerja terlalu
keras. Meski di satu sisi, setelah berpikir ulang, ketiadaan bentuk dan rupanya
membuat saya bersyukur juga. Sebab jika ia tertangkap di kedua mata, mungkin
saja mata saya akan berkarat layaknya besi, bersebab iman saya yang tak lagi sedap
dipandang kedua lensa.
Saya pernah mendengar
tentang konsepsi tingkatan seseorang menuju keimanan terhadap Tuhan dan semesta
alam, yaitu bermula dari ilmu pengetahuan yang mumpuni, ditegaskan melalui
akhlak yang arif, hingga bermuara pada totalitas keimanan itu sendiri. Mungkin
juga benar, bahwa Tuhan telah menjanjikan surga sebagai balasan bagi
orang-orang yang beriman. Surga yang di dalamnya tersembunyi kenikmatan mata
yang amat besar, kenikmatan suara yang tidak pernah didengar sebelumnya oleh
telinga, bahkan kenikmatan akal yang tak pernah mampu terlintas di alam pikiran
manusia. Surga yang dengan gagahnya menjadikan kelompok Ikhwanul Muslimin di
Sur Bahir lebih buas dibanding hewan lapar. Hah! Jika demikian, lantas kemanakah
saya bisa mengakselerasi diri saya? Sehingga jikapun tidak sampai pada
tingkatan keimanan yang memukau, setidaknya saya bisa menggenapkan ilmu dan
kearifan atas diri saya ini.
Saya cukup sering
menyempatkan diri membaca berbagai kitab referensi. Menurut murabbiyah dan
beberapa orang hebat yang saya temui, seharusnya prosesi membaca melahirkan
kenyamanan tersendiri dalam berpikir, yang dalam rekaan saya akan menumbuhkan tunas
demi tunas iman dalam diri saya. Alih-alih mengakselerasi diri, saya justru
berkutat dalam kubangan pemaparan para cendekiawan yang menurut saya
membeberkan utopisnya pemikiran mereka. Pun ketika hadir di majlis-majlis ilmu,
saya justru dihadapkan pada situasi perdebatan kelompok cendekiawan yang
bagi saya sekedar untuk mengerti beberapa diksi saja memerlukan waktu lebih
dari sehari. Ya, maka tersebutlah kini saya sebagai salah satu simpulan kayu
dan kertas baru yang melayang-layang tak berarah.
Dan ternyata memang benar, bahwa pada akhirnya setiap manusia akan disibukkan dengan urusannya masing-masing. Namun perkara baik atau tidaknya ia, lebih jauh lagi memberikan maslahat atau tidaknya, adalah bergantung pada orientasi yang ingin dicapainya sejak awal (baca : niat).
Dan ternyata memang benar, bahwa pada akhirnya setiap manusia akan disibukkan dengan urusannya masing-masing. Namun perkara baik atau tidaknya ia, lebih jauh lagi memberikan maslahat atau tidaknya, adalah bergantung pada orientasi yang ingin dicapainya sejak awal (baca : niat).
Comments
Post a Comment