Apa perkara yang dapat mewabah cepat dan bertahan lama?
Jawabannya... perkara hati. Oh, baiklah.
Aku duduk termangu di atas bangku2 panjang yang terpampang di Lembaga Kemahasiswaan ITB siang tadi. Bosan, kerjaku hanya menopang dagu sambil melihat lintasan orang berjalan melewati deretan kaca di seberang kananku. Kawanku, Aliya, yang sebenarnya lebih punya kepentingan untuk datang ke selasar cc Barat ini terlihat asyik berdiri di depan papan-papan pengumuman LK. Sepertinya dia tidak memperhatikan kebosanan yang sedari tadi menjangkitiku -___-"
Di tengah lamunan, seseorang lainnya ternyata ikut berdiri di samping Aliya. Begitu aku sadar orang itu siapa, sontak aku beranjak dan bertekad menghampiri orang tersebut.
"Teh, apa kabar? Gak ada kelas?" kataku ramah. Teh Ira (nama samaran), begitu panggilannya, balas menatapku sambil menyunggingkan senyum manisnya.
"Teteh baru ada kelas lagi jam 1" jawabnya.
"Wah, bosen banget dong nunggu?" Saat itu jam menunjuk pukul 11 kurang 10 menit. Terbayang olehku berapa lama waktu yang harus dihabiskannya demi menunggu kuliah siang nanti.
Entah apa yang membuat kami tiba2 melakukan hal yang sama, berjalan kembali ke deretan bangku LK dan mencari posisi duduk yang nyaman. Dalam posisi begini, aku jadi tertarik untuk menanyakan hal 'itu' ( Modus banget :p ).
"Teh, pengen diskusi dong. Bagaimana proses teteh sampai yakin untuk menikah di usia muda?" Ah, kenapa frontal banget, Sih? Rasanya pengen mengutuk diri sendiri.
Di luar dugaan, teh Ira justru terlihat lebih bersemangat dan mulai menceritakan segala hal sedetail2nya.
Beliau bercerita bahwa keputusan menikah itu sudah muncul sejak usia 18 tahun. Kebetulan ikhwan yang kini menjadi suami beliau juga memutuskan hal yang sama, bertekad untuk menikah di usia muda. Jadi visi mereka kurang lebih sudah sejalan. Hanya saja restu dari orang tua didapatkan dalam waktu yang lebih lama, sebab masih ada kekhawatiran2 yang dirasa perlu dipertimbangkan secara dalam. Namun dengan tekad dan ikhtiyar, alhamdulillah restu itu didapat juga.
Proses ta'aruf mereka dibantu oleh saudara dari pihak ikhwan yang juga merupakan sahabat teh Ira. Dan yang paling aku kagumi, ternyata teh Ira adalah akhwat yang sangat komit dengan keputusannya. Beliau tidak pernah menggantung pihak ikhwan. Jika bersedia, katakan iya. Jika tidak, katakan tidak. Ketika ada ikhwan lain yang bermaksud melamar beliau, beliau menjawab dengan mantap "Mohon maaf saya tidak bisa, saya sedang melakukan proses dengan seorang ikhwan".
Fase yang lumayan berat dilewati pasca menikah adalah ketika proses kehamilan. Beliau bercerita, awalnya sedikit ragu untuk memiliki momongan selama kuliah, resikonya terlalu tinggi. Belum lagi kesiapan diri dalam menjaga perkembangan anak di tengah kesibukan tugas, praktikum dan lain-lain. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. 8 bulan pasca menikah, teh Iira hamil. Beliau diharuskan mengambil cuti karena kondisi bayi yang mengkhawatirkan pasca melahirkan. "Teteh tetep bersyukur, Sih. Hikmahnya, teteh jadi bisa kenal dengan kalian (FKK 2011) dan punya banyak teman" katanya dengan rona wajah cerah bahagia.
Ah iya, semua kembali pada kebulatan tekad. Jika merunut dari pendapat teman2ku, maka bisa dikatakan bahwa tidak ada orang yang benar2 siap untuk menikah. Setiap orang pasti ada kekurangannya, entah fisik, mental, rukhiyah, finansial, dan lain-lain. Namun jika niatannya baik dan tekad itu sudah membulat dalam diri, kekurangan2 itu sama sekali tidak akan menjadi hambatan, justru mereka menjadi motivasi untuk senantiasa memperbaiki diri.
Hmmm Biidznillaah ya, Sih :)
*Angguk2
Comments
Post a Comment