Semakin menua saya menyadari bahwa manusia cenderung semakin berkeinginan sederhana. Atau itu hanya saya? Dahulu saya berpikir menjadi manusia dengan segudang prestasi, gaji dua dijit, punya banyak relasi, bisa sering traveling, adalah sebagian pencapaian hidup yang layak diperjuangkan. Kini, cukup dengan keheningan, sebuah buku cetak tua juga segelas kopi di pagi hari, adalah sebuah kemewahan bagi saya. Kontras sekali bukan?
Saya banyak memikirkan ini. Beberapa tahun lalu, di awal pernikahan ketika suami memaksa saya berhenti bekerja, hati saya sangat terluka. Sejujurnya, bukan karena harus merelakan diri tak berpenghasilan. Sebab saya yakin suami saya adalah lelaki yang sangat mampu menafkahi. Pun jika kurang, saya yakin dengan segenap hati bahwa dia adalah lelaki yang punya prinsip dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Lagi pula, saya bukan wanita yang memandang uang sebagai dasar kehidupan.
Mengapa dulu saya sangat terluka dengan keputusan berhenti bekerja? Sebab suami menghajar habis-habisan ego saya. Saya adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga tidak berada. Saya adalah satu dari sebagian sangat kecil orang-orang di kampung halaman yang mampu mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, apalagi dengan jalur beasiswa. Begitu banyak tumpuan harapan di pundak saya. Saya terlanjur menjadi kebanggan, mengapa tidak bisa terus saja saya naikkan? Tidak cukup disitu, kemudian Tuhan takdirkan saya masuk ke keluarga terpandang dengan jabatan dan penghasilan kedua mertua mentereng. Semakin jauh rasa kompetitif itu. Saya juga ingin menjadi 'orang'.
Namun, lihatlah sekonyong-konyong diri ini dipaksa berhenti. Suami saya ternyata memiliki prinsip berbeda. Dia trauma hampir dibesarkan dan dididik oleh seorang pembantu. Sosok kecilnya membutuhkan figur Ibu di rumah, kasih sayang melimpah dari kedua orang tua, juga kenyamanan untuk banyak bercerita. Suami saya tidak ingin anak-anak kami menjalani masa kecil seperti dirinya. Dan ya, itu semua menjadi tugas saya sebagai Ibu. Suami saya? Perannya sebagai pencari nafkah menganulirnya dari prinsipnya sendiri.
Tuhan, sedikit banyak saya bersyukur bahwa saya memiliki pribadi yang pandai bermonolog. Mungkin tidak banyak yang bisa saya kerjakan, tapi semuanya matang saya masukkan dalam pemikiran. Bagi saya yang semakin tua ini, tidak penting kaki ini berpijak dimana atau perhiasan apa yang patut saya terima. Saya hanya ingin menjadi hamba Tuhan yang utuh. Sangat klise memang. Atau mungkin ini semua hasil pemikiran saya yang tengah sibuk merangkai banyak alasan, agar jiwa ini tak gamang dan bersedih hati karena ketidak-mampuan saya meraih semua.
Jujur saja, semakin saya pikirkan rasanya semakin saya menemukan jawaban. Mungkin benar pada dasarnya saya hanya manusia yang tidak memiliki banyak keinginan. Mengapa bisa demikian? Sebab pun pada saat ini mengurusi anak tiga dengan banyak keterbatasan, ternyata saya cukup nyaman. Ketika beberapa waktu lalu suami saya memberi kelonggaran jika saya ingin kembali bekerja, pun itu sambil saya pikirkan.
Tuhan, apapun takdir-Mu adalah yang terbaik. Jiwa ini dengan atau tanpa kebesaran mimpiku adalah hamba yang hanya mengharap tenang. Maka sungguh hanya kepada-Mu aku memohon, ampunilah dosa-dosaku, karuniakanlah aku rahmat, serta jadikanlah aku golongan hamba-Mu yang kelak mendapat kabar gembira.
“Rabbana amanna faghfirlana warhamna wa anta khairur-rahimin..."
Comments
Post a Comment