Kisahku, tak melulu berisi hingar bingar kebahagiaan. Aku juga bukan sosok flamboyan. Tak banyak orang mengenalku, begitupun aku belum mampu menjadi tauladan yang sempurna bagi banyak orang. Meski demikian, aku bersyukur atas segala anugerah yang Rabb berikan untukku. Aku yakin, kehidupan ini dan setelahnya selalu menjanjikan kebahagiaan, meski dengan bentuk yang lain.
![]() |
Sumber |
Di dalam hidup, aku mengenal sosok kedua orang tuaku. Mereka membesarkanku dalam perlakuan yang acak; ada lembut juga kasar, ada didikan juga kemarahan, ada pujian juga tamparan. Mereka tak banyak mengenalkanku pada kalimat-kalimat cinta, apalagi nasihat panjang seorang yang pandai bahasa. Mereka membesarkanku dalam kesederhanaan; sesederhana cinta orang tua kepada putrinya.
Orang tuaku mengajarkanku cara bersyukur. Itulah yang paling mengakar di dalam kepalaku. Sepanjang hidup mereka tidak banyak menuntut. Apapun yang kami dapat, maka itu adalah sebuah kecukupan. Hidup ini adalah anugerah. Tidak kurang, tidak lebih. Sangat sederhana.
Ya, hidup ini adalah anugerah. Anugerah paket lengkap, kataku. Dalam kompleksitas kontemplasi yang kulakukan, aku bersyukur bahwa secara ajaib aku bisa merasakan berbagai emosi dan nalar. Setiap hari selalu ada hal-hal baru. Lagi, tidak selalu menyenangkan memang. Namun dengannya, aku tersadar betapa agungnya kuasa Rabb-ku.
Sebagian orang bertanya, apa definsi bahagia sesungguhnya? Apakah ketika keinginan dan ketercapaian itu bertemu? Ataukah bahkan kebahagiaan sesungguhnya adalah ketika Tuhan melebihkan karunia-Nya dari yang manusia mau? Apakah benar begitu?
Menurutku tidak. Sama sekali tidak. Bahagia tidak ada kaitannya dengan faktor keinginan apalagi capaian. Bahagia terlalu murah jika diukur hanya berdasarkan kuantitas materil. Dan lagi, bahagia itu hanya simptom. Ada sesuatu yang jauh lebih agung dari kebahagiaan itu sendiri.
Aku menyebutnya iman. Iman yang membuat kita senantiasa berserah secara total terhadap kehendak Allah azza wa jalla. Iman yang dilengkapi fitur syukur, sehingga dengannya segala kurang terfiltrasi menjadi tunas-tunas keindahan dan kecukupan. Dan menurutku, hanya iman yang kuat yang mampu melahirkan kebahagiaan berkualitas, bahkan berkuantitas jauh lebih besar.
Rasakanlah. Iman itu menguatkan yang lemah, meninggikan yang rendah, menyinari yang gelap, mengisi ruang-ruang yang kosong. Sehingga bukan hanya bahagia, iman mampu melahirkan banyak keajaiban yang lain, yang kau sama sekali tidak akan pernah menemukannya selain karena eksistensi iman di kedalaman rongga dadamu.
Kukatakan, hidupku sederhana. Sangat sederhana. Namun lihatlah, Dia isi kekosongan di hati ini, sehingga kini aku hanya merasakan lebih.
Lihatlah, Pak, Ummi... beriring kesederhanaan itu aku merasakan luapan bahagia.
Alhamdulillaah...
Alhamdulillaah...
Alhamdulillaah...
Comments
Post a Comment