“Barangsiapa yang ingin melihat
laki-laki penduduk surga, maka hendaklah melihat Urwah bin Zubair.”
(Abdul Malik bin Marwan)
![]() |
Sumber |
Pagi
itu, matahari memancarkan benang-benang cahaya keemasan di atas Baitul Haram,
menyapa ramah pelatarannya yang suci. Di Baitullah, sisa-sisa sahabat
Rasulullah SAW dan tokoh-tokoh tabi’in tengah mengharumkan suasana dengan
lantunan tahlil dan takbir, menyejukkan sudut-sudutnya dengan do’a-do’a yang
shalih.
Mereka
membentuk halaqah-halaqah, berkelompok-kelompok di sekeliling Ka’bah agung yang
tegak berdiri di tengah Baitul Haram dengan kemegahan dan keagungannya. Mereka memanjakan
pandangan matanya dengan keindahannya yang menakjubkan dan berbagi cerita di
antara mereka, tanpa senda gurau yang mengandung dosa.
Di
dekat rukun Yamani, duduklah empat remaja yang tampan rupawan, berasal dari
keluarga yang mulia. Seakan-akan mereka adalah bagian dari perhiasan masjid,
bersih pakaiannya dan menyatu hatinya.
Keempat
remaja itu adalah Abdullah bin Zubair dan saudaranya yang bernama Mus’ab bin
Zubair, saudaranya lagi bernama Urwah bin Zubair dan satu lagi adalah Abdul
Malik bin Marwan.
***
Pembicaraan
mereka semakin serius. Kemudian seorang di antara mereka mengusulkan agar
masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakannya. Maka khayalan mereka
melambung tinggi ke alam luas dan cita-cita mereka berputar mengitari taman
hasrat mereka yang subur.
Mulailah
Abdullah bin Zubair angkat bicara: “Cita-citaku adalah menguasai seluruh Hijaz
dan menjadi khalifahnya.”
Saudaranya,
Mus’ab menyusulnya: “Keinginanku adalah dapat menguasai dua wilayah Irak dan
tak ada yang merongrong kekuasaanku.”
Giliran
Abdul Malik bin Marwan berkata: “Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan
itu, maka aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi
khalifah setelah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Sementara
itu Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatahpun. Semua mendekati dan
bertanya: “Bagaimana denganmu, apa cita-citamu kelak wahai Urwah?” Beliau
berkata: “Semua Allah SWT memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian,
aku ingin menjadi alim (orang berilmu yang mau beramal), sehingga orang-orang
akan belajar dan mengambil ilmu tentang kitab Rabb-nya, sunnah nabinya dan
hukum-hukum agamanya dariku, lalu aku berhasil di akhirat dan memasuki surga
dengan ridha Allah SWT.”
Hari-hari
berganti secara cepat. Kini Abdullah bin Zubair dibai’at menjadi khalifah
menggantikan Yazid bin Mu’awiyah yang meninggal. Dia menjadi hakim atas Hijaz,
Mesir, Yaman, Khurasan dan Irak yang pada akhirnya terbunuh di Ka’bah, tak jauh
dari tempatnya mengungkapkan cita-citanya dahulu.
Sedangkan
Mus’ab bin Zubair telah menguasai Irak sepeninggal saudaranya Abdullah dan
akhirnya juga terbunuh ketika mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Adapun
Abdul Malik bin Marwan, kini menjadi khalifah setelah ayahnya wafat dan
bersatulah suara kaum muslimin pasca terbunuhnya Abdullah bin Zubair dan
saudaranya Mus’ab, setelah keduanya gugur di tangan pasukannya. Akhirnya, dia
berhasil menjadi raja dunia terbesar pada masanya.
Bagaimana
halnya dengan Urwah bin Zubair? Mari kita ikuti kisahnya dari awal...
Beliau
lahir satu tahun sebelum berakhirnya masa khilafah Al Faruq r.a. Dalam sebuah rumah
yang paling mulia di kalangan kaum muslimin dan paling luhur martabatnya.
Adapun
ayahnya bernama Zubair bin Awwam: “Hawariyyu” (pembela) Rasulullah SAW
dan orang pertama yang menghunus pedangnya dalam Islam serta termasuk salah
satu di antara sepuluh orang yang dijamin masuk surga.
Sedangkan
ibunya bernama Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shidiq yang dijuluki dzatun nithaqain
(pemilik dua ikat pinggang).
Kakek
beliau dari jalur ibu adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, khalifah Rasulullah SAW yang
menemani beliau di sebuah goa.
Sedangkan
nenek dari jalur ayahnya adalah Shafiyah binti Abdul Muthalib yang juga bibi
Rasulullah SAW.
Bibinya
adalah Ummul Mukminin r.a., bahkan dengan tangan Urwah bin Zubair sendirilah
yang turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah Ummul Mukminin.
Maka
siapa lagi kiranya yang lebih unggul nasabnya dari beliau? Adakah kemuliaan di
atasnya selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam?
***
Demi
merealisasikan cita-cita yang didambakan dan harapan kepada Allah yang
diutarakan di sisi Ka’bah yang agung tersebut, beliau amat gigih dalam usahanya
mencari ilmu. Maka beliau mendatangi dan menimbanya dari sisa-sisa para sahabat
Rasulullah SAW yang masih hidup.
Beliau
mendatangi rumah demi rumah mereka, shalat di belakang mereka, menghadiri
majelis-majelis mereka. Beliau meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id
bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Nu’am bin Basyir dan banyak pula
mengambil dari bibinya Aisyah Ummul Mukminin. Pada gilirannya nanti, beliau
berhasil menjadi satu di antara fuqaha’ sab’ah (tujuh ahli fikih)
Madinah yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.
Para
pemimpin yang shalih banyak yang meminta pertimbangan kepada beliau baik
tentang urusan ibadah maupun negara karena kelebihan yang Allah berikan kepada
beliau. Sebagai contohnya adalah Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat
sebagai gubernur di Madinah pada masa Al-Walid bin Abdul Malik, orang-orangpun
berdatangan untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau.
Usai
shalat Zhuhur, Umar bin Abdul Aziz memanggil sepuluh fuqaha Madinah yang
dipimpin oleh Urwah bin Zubair. Ketika sepuluh ulama tersebut telah berada di
sisinya, maka beliau melapangkan majelis bagi mereka serta memuliakannya. Setelah
bertahmid kepada yang berhak dipuji beliau berkata: “Saya mengundang Anda semua
untuk suatu amal yang banyak pahalanya, yang mana saya mengharapkan Anda semua agar
sudi membantu dalam kebenaran, saya tidak ingin memutuskan suatu masalah
kecuali setelah mendengarkan pendapat Anda semua atau seorang yang hadir di
antara kalian. Bila kalian melihat seseorang menggaggu orang lain atau pejabat
yang melakukan kezhaliman, maka saya mohon dengan tulus agar Anda sudi
melaporkannya kepada saya.” Kemudian Urwah mendoakan baginya keberuntungan dan
memohon kepada Allah SWT agar senantiasa menjadikan beliau tetap lurus dan
tidak menyimpang.
Sungguh,
telah berkumpul pada diri Urwah bin Zubair antara ilmu dan amal. Beliau membiasakan
shaum di musim panas dan shalat di waktu malam yang sangat dingin. Lidahnya senantiasa
basah dengan dzikir kepada Allah SWT, senantiasa bersanding dengan Kitabullah
dan tekun membacanya. Beliau mengkhatamkan seperempat Al Qur’an setiap siang
dengan membuka mushhaf, lalu shalat malam membaca ayat-ayat Al Qur’an dengan
hafalan. Tak pernah beliau meninggalkan hal itu sejak menginjak remaja hingga
wafatnya melainkan sekali saja. Yakni ketika peristiwa mengharukan yang
sebentar lagi akan kami beritahukan kepada Anda.
Dengan
menunaikan shalat, Urwah memperoleh ketenangan jiwa, kesejukan pandangan dan
surga di dunia. Beliau tunaskan sebagus mungkin, beliau tekuni rukun-rukunnya
secara sempurna dan beliau panjangkan shalatnya sedapat mungkin.
Telah
diriwayatkan bahwa beliau pernah melihat seseorang menunaikan shalat secepat
kilat. Setelah selesai, dipanggilnya orang tersebut dan ditanya: “Wahai anak
saudaraku, apakah engkau tidak memerlukan apa-apa dari Rabb-mu Yang Maha Suci? Demi
Allah, aku memohon kepada Rabb-ku segala sesuatu sampai dalam urusan garam.”
Urwah
bin Zubair r.a. adalah seorang yang ringan tangan, longgar dan dermawan. Di antara
bukti kedermawanannya adalah manakala beliau memiliki sebidang kebun yang luas
di Madinah dengan air sumurnya yang tawar, pepohonan yang rindang serta buahnya
yang lebat. Beliau pasang pagar yang mengelilinginya untuk menjaga kerusakannya
dari binatang dan anak-anak yang usil. Hingga tatkala buah telah masak dan
membangkitkan selera bagi yang memandangnya, dibukalah beberapa pintu sebagai
jalan masuk bagi siapapun yang menghendakinya.
Begitulah,
orang-orang keluar masuk kebun Urwah sambil merasakan lezatnya buah-buahan yang
masak sepuas-puasnya dan membawa sesuai dengan keinginannya. Setiap kali
memasuki kebun, beliau mengulang-ulang firman Allah:
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, “Masya Allah, laa quwwata illa billah” (sesungguhnya atas kehendak Allah semua itu terwujud, Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)...” (QS. Al Kahfi: 39)
Suatu
masa di zaman Khilafah Al Walid bin Abdul Malik, Allah berkehendak menguji Urwah
dengan suatu cobaan yang tak seorangpun mampu bertahan dan tegar selain orang
yang hatinya subur dengan keimanan dan penuh keyakinan.
Tatkala
Amirul Mukminin mengundang Urwah untuk berziarah ke Damaskus. Beliau mengabulkan
undangan tersebut dan mengajak putra sulungnya. Amirul Mukminin menyambutnya
dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh hormat dan melayaninya dengan
ramah.
Kemudian
datanglah ketetapan dan kehendak Allah SWT, laksana angin kencang yang tak
dikehendaki penumpang perahu. Putra Urwah masuk ke kandang kuda untuk melihat
kuda-kuda piaraan pilihan. Tiba-tiba saja seekor kuda menyepaknya dengan keras
hingga menyebabkan kematiannya.
Belum
lagi tangan seorang ayah ini bersih dari tanah penguburan putranya, salah satu
telapak kakinya terluka. Betisnya tiba-tiba membengkak, penyakit semakin
menjalar dengan cepatnya.
Kemudian
bergegaslah Amirul Mukminin mendatangkan para tabib dari seluruh negeri untuk
mengobati tamunya dan memerintahkan mereka untuk mengobati Urwah dengan cara
apapun.
Namun
para tabib itu sepakat untuk mengamputasi kaki Urwah sampai betis sebelum
penyakit menjalar ke seluruh tubuh yang dapat merenggut nyawanya.
Jalan
itu harus ditempuh. Tatkala ahli bedah telah datang dengan membawa pisau untuk
menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulangnya, tabib berkata kepada
Urwah: “Sebaiknya kami memberikan minuman yang memabukkan agar Anda tidak
merasakan sakitnya diamputasi.” Akan tetapi Urwah menolak: “Tidak perlu, aku
tidak akan menggunakan yang haram demi mendapat afiat (kesehatan).”
Tabib berkata: “Kalau begitu kami akan membius Anda!” Beliau menjawab: “Aku
tidak mau diambil sebagian dari tubuhku tanpa kurasakan sakitnya agar tidak hilang
pahalanya di sisi Allah SWT.”
Ketika
operasi hendak dimulai, beberapa orang mendekati Urwah, lalu beliau bertanya: “Apa
yang hendak mereka lakukan?” Lalu dijawab: “Mereka akan memegangi Anda, sebab
bisa jadi Anda nanti merasakan kesakitan lalu mengerakkan kaki dan itu bisa
membahayan Anda.” Beliau berkata: “Cegahlah mereka, aku tidak membutuhkannya.
Akan kubekali diriku dengan dzikir dan tasbih.”
Mulailah
tabib menyayat kakinya dengan pisau dan tatkala mencapai tulang, diambillah
gergaji untuk memotongnya. Sementara itu Urwah tak henti-hentinya mengucapkan: “Laa
ilaaha illallah Allahu akbar”, sang tabib terus melakukan tugasnya dan
Urwah juga terus bertakbir hingga selesai proses amputasi itu.
Setelah
itu dituangkanlah minyak yang telah dipanaskan mendidih dan dioleskan ke betis
Urwah bn Zubair untuk menghentikan perdarahan dan menutup lukanya. Urwah
pingsan untuk beberapa lama dan terhenti membaca ayat-ayat Al Qur’an di hari
itu. Inilah satu-satunya hari di mana beliau tidak bisa melakukan kebiasaan
yang beliau jaga semenjak remajanya.
Ketika
Urwah tersadar dari pingsannya, beliau meminta potongan kakinya. Dibolak-baliknya
sambil berkata: “Dia (Allah) yang membimbing aku untuk membawaku di tengah
malam ke masjid, Maha Mengetahui bahwa aku tak pernah menggunakannya untuk
hal-hal yang haram.”
Kemudian
dibacanya syair Ma’an bin Aus:
Tak
pernah kuingin tanganku menyentuh yang meragukan
Tiada
juga kakiku membawaku kepada kejahatan
Telinga
dan pandangan matakupun demikian
Tidak
pula menuntun ke arahnya pandangan dan pikiran
Aku
tahu, tiadalah aku ditimpa musibah dalam kehidupan
Melainkan
telah menimpa orang lain sebelumku.
Kejadian
tersebut membuat Amirul Mukminin, Al-Walid bin Abdul Malik sangat terharu. Urwah
telah kehilangan putranya, lalu sebelah kakinya. Maka dia berusaha menghibur da
menyabarkan hati tamunya atas musibah yang menimpanya tersebut.
Bersamaan
dengan itu, di rumah Khalifah datang satu rombongan Bani Abbas yang salah
seorang di antaranya buta matanya. Kemudian Al-Walid menanyakan sebab musabab
kebutaannya. Dia menjawab: “Wahai Amirul Mukminin, dulu tidak ada seorangpun di
kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibanding saya. Saya tinggal
bersama keluarga di suatu lembah di tengah kaum saya. Mendadak muncullah air
bah yang langsung menelan seluruh harta dan keluarga saya. Yang tersisa bagi
saya hanyalah seekor onta dan seorang bayi yang baru lahir. Onta tersebut
sangat liar dan dia lari dari saya. Maka saya taruh bayi itu di atas tanah lalu
saya kejar onta tadi. Belum seberapa jauh, saya mendengar jerit tangis bayi
itu. Saya menoleh dan ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala, dia
telah memangsanya. Saya kembali, tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi karena bayi
itu sudah habis dilalapnya. Lalu serigala tersebut lari denga kencangnya. Akhirnya
saya kembali mengejar onta liar tadi sampai dapat. Tapi begitu saya mendekat
dia menyepak dengan keras hingga hancur wajah saya dan buta kedua mata saya. Demikianlah,
saya dapati diri saya kehilangan semua harta dan keluarga dalam sehari semalam
saja dan hidup tanpa memiliki penglihatan.
Kemudian
Al Walid berkata kepada pengawalnya: “Ajaklah orang ini menemui tamu kita
Urwah, lalu mintalah agar dia mengisahkan nasibnya agar beliau tahu bahwa
ternyata masih ada orang yang ditimpa musibah lebih berat darinya.”
Tatkala
beliau diantarkan pulang ke Madinah dan menjumpai keluarganya, Urwah berkata
sebelum ditanya: “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah SWT
telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu. Maka masih
tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan lalu hanya
diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya. Dia mengambil
sedikit dariku dan masih banyak yang ditinggalkan-Nya untukku. Bila Dia menguji
sekali, kesehatan yang Dia karuniakan masih lebih banyak dan lebih lama
darinya.”
Demi
melihat kedatangan dan kedatangan imam dan gurunya, maka penduduk Madinah
segera datang berbondong-bondong ke rumahnya untuk menghibur.
Yang
paling baik di antara ungkapan teman-teman Urwah adalah dari Ibrahim bin
Muhammad bin Talhah: “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, sebagian dari tubuhmu
dan putramu telah mendahuluimu ke surga. Insya Allah yang lain akan segera
menyusul kemudian. Karena rahmat-Nya, Allah SWT meninggalkan engkau untuk kami,
sebab kami ini fakir dan memerlukan ilmu fiqih dan pengetahuanmu. Semoga Allah
memberikan manfaat bagimu dan juga kami. Allah SWT adalah wali bagi pahala untukmu
dan Dia pula yang menjamin kebagusan hisab untukmu.”
***
Urwah
bin Zubair menjadi menara hidayah bagi kaum muslimin. Menjadi penunjuk jalan
kemenangan dan menjadi da’i selama hidupnya. Perhatian beliau yang paling besar
adalah mendidik anak-anaknya secara khusus dan generasi Islam secara umum. Beliau
tidak suka menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk memberikan petunjuk dan
selalu mencurahkan nasihat demi kebaikan mereka.
Tak
bosan-bosannya beliau memberikan motivasi kepada para putranya untuk
bersungguh-sungguh dalam menuntuk ilmu. Beliau berkata: “Wahai putra-putriku,
tuntutlah ilmu dan curahkan seluruh tenagamu untuknya. Karena, kalaupun hari
ini kalian menjadi kaum yang kerdil, kelak dengan ilmu tersebut Allah
menjadikan kalian sebagai pembesar kaum.” Lalu beliau melanjutkan: “Sungguh
menyedihkan, adakah di dunia ini yang lebih buruk daripada seorang tua yang
bodoh?”
***
Beliau
anjurkan pula kepada mereka untuk memperbanyak sedekah, sedangkan sedekah
adalah hadiah yang ditujukan kepada Allah SWT. Beliau berkata: “Wahai
anak-anakku, janganlah kalian menghadiahkan kepada Allah SWT dengan apa yang
kalian merasa malu menghadiahkannya kepada para pemimpin kalian, sebab Allah
SWT Maha Mulia, Maha Pemurah dan lebih berhak didahulukan dan diutamakan.”
Beliau
senantiasa mengajak orang-orang untuk memandang suatu masalah dari sisi
hakekatnya. Beliau berkata: “Wahai putra-putriku, jika engkau melihat kebaikan
pada seseorang maka akuilah itu baik, walau dalam pandangan banyak orang dia
adalah orang jahat. Sebab setiap perbuatan baik itu pastilah ada kelanjutannya.
Dan jika melihat pada seseorang perbuatan jahat, maka hati-hatilah dalam
bersikap walaupun dalam pandangan orang-orang dia adalah orang yang baik. Sebab
setiap perbuatan ada kesinambungannya. Jadi camkanlah, kebaikan akan melahirkan
kebaikan setelahnya dan kejahatan menyebabkan timbulnya kejahatan berikutnya.”
***
Beliau
juga mewasiatkan agar berlemah lembut, bertutur kata yang baik dan berwajah
ramah. Beliau berkata: “Wahai putra-putriku, tertulis di dalam hikmah: “Jadikanlah
tutur katamu indah dan wajahmu penuh senyum, sebab hal itu lebih disukai orang
daripada suatu pemberian.”
Jika
beliau melihat seseorang condong pada kemewahan dan mengutamakan kenikmatan,
diingatkannya betapa Rasulullah SAW selalu membisakan diri untuk hidup
sederhana.
Sebagai
contoh adalah kisah yang diceritakan oleh Muhammad bin Al-Munkadir: “Aku
bertemu dengan Urwah bin Zubair. Dia menggandeng tanganku sambil berkata: “Wahai
Abu Abdillah.” Aku jawab, Labbaik.”
Urwah
berkata: “Aku pernah menjumpai ibuku Aisyah r.a., lalu beliau berkata: “Wahai
anakku, demi Allah, ada kalanya selama 40 hari tak ada api menyala di rumah
Rasulullah SAW untuk lampu ataupun memasak. “Maka aku bertanya: “Bagaimana Anda
berdua hidup pada waktu itu?” Beliau menjawab: “Dengan korma dan air.”
Urwah
hidup hingga usia 71 tahun. Hidupnya penuh dengan kebajikan, kebaktian dan
diliputi ketaqwaan. Ketika dirasa ajalnya sudah dekat dan dia dalam keadaan
shaum, keluarganya mendesak agar beliau mau makan, tetapi beliau menolak keras
karena ingin berbuka di sisi Allah SWT dengan minuman dari telaga Al-Kautsar
yang dituangkan dalam gelas-gelas perak oleh para bidadari cantik di surga.
Comments
Post a Comment