![]() |
Sumber |
Khitbah adalah pengutaraan maksud
seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan; atau seorang perempuan
yang ingin menikahi seorang laki-laki. Diikuti penerimaan dari pihak wali
perempuan terhadap maksud tersebut serta penentuan waktu prosesi akad nikah
yang dilaksanakan.
Prosesi khitbah pada asalnya amat
sederhana dan tidak membutuhkan tata cara yang pelik dan rumit sebagaimana
dalam tradisi beberapa kalangan masyarakat saat ini. ketika seorang laki-laki
datang ke rumah pihak perempuan dan bertemu dengan walinya, ia menyatakan
keinginan untuk memperistri perempuan yang dimaksud, maka itulah khitbah. Atau
bahkan tidak perlu datang ke rumah, tetapi bertemu dengan wali perempuan di
sebuah tempat, dengan pertemuan yang disengaja atau tidak disengaja, lalu ia
menyatakan maksud meminang, maka itulah khitbah.
Yang melakukan khitbah ini juga tidak
mesti laki-laki calon pengantin itu sendiri, ia bisa mewakilkan kepada
orang-orang yang bisa dipercaya, seperti bapak, kakak, atau guru mengaji,
bahkan teman-teman dekatnya. Namun, memang akan lebih baik jika dilakukan
sendiri oleh pihak laki-laki yang bersangkutan, agar lebih bisa menimbulkan
kemantapan hati dan beraudiensi dengan wali perempuan secara langsung.
Dalam pelaksanaan khitbah, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, apabila perempuan yang perempuan
yang dipinang masih gadis, maka pinangan disampaikan kepada wali perempuan
tersebut. Hal ini dikarenakan perempuan dalam pernikahan memerlukan wali,
sehingga untuk meminang pun harus diketahui oleh walinya. Untuk mengkhitbah
kepada wali perempuan, bisa secara langsung ataupun tidak langsung, dalam arti
melalui orang lain untuk disampaikan kepada wali perempuan tersebut.
Kedua, apabila perempuan yang dipinang
janda, maka boleh menyampaikan pinangan langsung kepada perempuan tersebut.
Ketiga, apabila perempuan tersebut berada
dalam masa iddah, maka tidak boleh menyampaikan pinangan secara
terang-terangan, tetapi harus menyampaikan secara sindiran.
Keempat, perempuan boleh meminang laki-laki
baik secara langsung kepada laki-laki tersebut ataupun melalui orang lain untuk
disampaikan kepada laki-laki yang dimaksud.
Berkenaan dengan khitbah melalui
sindiran, Nabi saw pernah melakukannya kepada Fatimah binti Qais ketika
suaminya menceraikannya dengan menjatuhkan tiga talak, “Jika engkau telah
halal, maka izinkanlah aku (meminangmu)” lalu beliau mengkhitbahnya untuk
Usamah. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim)
Dalam lafadz lain, “Jangan
hilangkan kesempatan kami untuk memilikimu” (hadits diriwayatkan oleh
Muslim dan Abu Dawud). Dalam riwayat yang lain, “Jangan sampai ada yang
mendahuluiku memilikimu.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim)
Khitbah biasanya dijadikan wasilah
untuk menuju ke jenjang pernikahan. Jarang ditemukan pernikahan yang tanpa
disertai khitbah atau pinangan, meski khitbah bukanlah syarat sah sebuah
pernikahan. Tanpa diawali dengan khitbah, maka sebuah pernikahan tetap menjadi
pernikahan yang sah.
Para fuqaha (ahli fiqih)
berbeda pendapat mengenai hukum khitbah. Sebagian mengatakan mubah, sebagian
lain berpendapat sunnah. Pendapat ulama ini disandarkan pada apa yang pernah
dilakukan Rasulullah saw saat mengkhitbah Aisyah binti Abu Bakar ra (Hadits
shahih diriwayatkan oleh Ahmad, al Bukhari dan an Nasai). Dan Rasulullah saw
pun pernah mengkhitbah Hafshah binti umar ra (Hadits shahih diriwayatkan oleh
Ahmad, al Bukhari dan an Nasai).
Dalam hadits yang diriwayatkan Abi
Humaid, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang kalian
telah mengkhitbah seorang perempuan maka tidak berdosa baginya untuk melihat
perempuan tersebut, sebelum mengkhitbahnya. Tujuan melihat perempuan adalah
karena ia mengkhitbahnya, meski tanpa sepengetahuan si perempuan.” (Hadits
shahih diriwayatkan Ahmad)
Khitbah bukanlah pernikahan atau yang
menyerupainya. Khitbah tiada lain merupakan janji setia antara seorang pria
dengan wanita untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya khitbah tidak
berkonsekuensi pada penetapan hak dan penghalalan sesuatu yang haram. Tidak ada
yang dihalalkan bagi yang mengkhitbah maupun yang dikhitbah, kecuali sebatas
melihat pinangannya saat prosesi khitbah, dengan maksud agar keduanya ridha
dengan kondisi masing-masing. Selebihnya, kedua-duanya masih berstatus sebagai
orang asing (bukan mahram) sampai akad nikah dilangsungkan.
Terkait mengkhitbah seorang perempuan
yang telah menerima khitbah dari laki-laki lain, tidak diperbolehkan secara
syar’i bagi seorang laki-laki untuk menyampaikan khitbahnya. Dan tidak
diperbolehkan juga baginya untuk membujuk perempuan tersebut atau keluarganya
agar dia dapat mengkhitbah perempuan tersebut.
Rasulullah saw bersabda, “Dan
janganlah seseorang mengkhitbah pinangan saudaranya hingga jelas statusnya
apakah dia menikahinya atau meninggalkannya.” (Hadits hasan diriwayatkan
oleh al Bukhari)
Hadits tersebut berisi larangan untuk
melakukan pinangan di atas pinangan orang lain karena sesuai dengan keputusan
materi tentang pertentangan antara kedua peminang. Alasan lain karena perilaku
seperti ini akan menyakiti perasaan pihak yang lebih dahulu mengajukan
pinangannya. Namun hal ini berlaku jika pinangan dari pihak yang pertama ini
diterima oleh pihak wanita dan dia tidak mengizinkan peminang kedua mengkhitbah
pinangannya. Adapun jika khitbah pihak pertama ini tidak diterima, maka pihak
wanita tidak dianggap sudah punya keterikatan dengan khitbah (seseorang) dan
siapa saja boleh mengkhitbahnya, selama wanita tadi belum menyetujui orang yang
terlebih dahulu datang dan mengkhitbahnya.
Referensi:
Tim Sinergi. Tatanan Berkeluarga dalam Islam. 2011. Jakarta : Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I). hal. 104-107.
Takariawan, Cahyadi, dkk. Keakhwatan 3. 2010. Solo : PT Era Adicitra Intermedia. hal. 67-68.
Juga simuat di sini
Comments
Post a Comment