![]() |
Sumber |
Di sebuah
ruang yang tidak begitu luas. Dinding-dinding lembab dan penuh debu. Begitupun
langit-langitnya. Sesekali terdengar jangkrik berbunyi nyaring, disahut teriak burung
gagak bagai menggelepar penuh lapar.
Ruang
yang gelap dan pengap, seolah tak sudi menyisakan isapan udara segar bagi
paru-paru. Bukan hanya karena kapasitasnya yang kecil, tetapi orang-orang yang
berada di dalamnya pun sudah melampaui jumlah minimal penghuni. Jika bukan
karena segaris cahaya yang menerobos di satu celah dinding, yang memberi ilham
bahwa masih ada kehidupan di luar sana, mungkin seisi makhluk hidup di ruangan
itu akan benar-benar menemukan ketiadaan.
Srek...srek...
Salah
seorang lelaki di sudut ruangan beringsek menggeser duduknya. “Laa haula wa
laa quwwata illa billah...” ucapnya lirih. Matanya terpejam. Jari-jarinya
bergerak dari satu buku ke buku jarinya yang lain.
Di sudut
yang lain, seorang lelaki lainnya memegangi arang sembari menulis lirik nasyid
di sepanjang dinding:
“Laa
tas aluunnii an hayaatii, fa hiya asrarul hayah.
Hiya
minhatun hiya minhatun, hiya alumun min umniyat.
Qad
bi’tuha lillahi tsumma madhoitu fii raakibil hudaa...”
“Jangan
engkau tanya aku tentang jalan hidupku, di jalan ini terdapat banyak rahasia
kehidupan.
Ia adalah
karunia sekaligus ujian, ia adalah dunia cita-cita.
Aku
telah menjual hidup ini kepada Allah, kemudian aku berlalu bersama para pemburu
petunjuk...”
Comments
Post a Comment