"Asih Sayang, terkadang hidup harus seperti teratai yang hanya bisa tumbuh subur ketika bergumal dengan lumpur"
Asih,
Kamu terlahir di tengah kegembiraan. Senyum tersungging di bibir banyak orang. Wajah-wajah cerah. Hati mereka kian bergelora. Mereka bersorak lirih, cahaya purnama kini datang tuk penuhi hari-hari, menggenapkan mimpi-mimpi yang tersimpan untuk disemai kembali.
Kasih dan sayang membesarkan namamu. Kemudian nama itu terjaga dan terpelihara dalam eratnya dekapan doa. Ya, di setiap sepertiga malam namamu membumbung di ketinggian langit, terucap dari mereka yang terjaga dalam khusyu’ dan nikmatnya shalat. Mereka bermunajat untukmu, namamu, jalanmu. Sayang, tidakkah kamu bersyukur?
Kini usiamu beranjak purna. Pun kamu lihat bahwa kelapangan tengah menampakkan batasnya. Penuaan dan kerentanan menggerogoti usia, begitupun terhadap pesona yang dulu kamu agungkan pada setiap manusia dan bintang-bintang. Kedewasaanmu, dimanakah itu?
Sudikah jarak pandangmu sedikit menjauh, sekadar melihat nyata dunia di pelupuk mata? Sayang, Ummi sudah tidak setangkas dulu. Bapak telah lama melepas tiang peneduh untukmu. Hari terik. Mata hanya bisa berbalik dan mendelik. Sayang, lihatlah, di kejauhan bara masih setia membakar. Tidakkah kamu lelah dan bosan mencari sandaran?
Kamu, mestinya kini berpacu menemukan jalan.
Kamulah sandaran itu, yang disemai tuk menggenapkan segala harapan dan doa bagi mereka.
Mari, jangan lagi berpangku tangan. Sudah cukup waktu habis tuk kesia-siaan. Mari, sudah saatnya menghadapi realitas kehidupan, agar kebesaran di hati dan akalmu menjadi penanda bahwa hasratmu tak pernah terdiam.
Salam cinta untukmu selalu,
Bunga Agustus di tepi jalan.
-Bandung, 21 Mei 2015-
Comments
Post a Comment