Ini adalah hadiah teramat
besar, saat segala hikmah itu masuk secara leluasa ke dalam hati serta akal. Aku
menerima secara ikhlas diriku. Memang begini adanya. Allaah, betapa kecilnya
aku dan betapa besarnya Engkau. Engkau perjelas batas benar dan salah, seperti
tegasnya perbedaan hitam dan putih, meski tidak selalu nampak begitu di
beberapa waktu.
Cintaku pada-Mu meski tidak
layak, semoga masih menempatkan Engkau di persinggahan tahta dalam dada. Aku malu.
Teramat malu. Aku sering merenungi, saat cinta ini memang tersisih hanya
untuk-Mu, harusnya aku mampu membesarkan hati orang-orang di sekelilingku.
Nyatanya, untuk menjaga adik-adikku saja, aku belum mampu. Seringkali, hanya
tangis dan ratapan yang mampu kupersembahkan kehadapan-Mu. Adakah kebesaranku? Adakah
ibadahku begitu kukuh untuk-Mu? Allaah, masihkah ada keberkahan-Mu untukku?
Aku mulai menyusun setiap
episode baru, yang kupikir paling layak untuk direalisasikan dengan kondisi
seperti ini. Aku mulai berhenti memikirkan ujian-Mu beberapa tahun lalu. Aku
ikhlas, sungguh. Sebab yakinku, meski saat itu aku masih terlalu muda untuk
berpikir bijaksana, ujian itu telah membesarkan hati orang-orang yang
kusayangi; Ummi, Bapak, Dullah, Sahid, Gunawan, serta membuat kami sadar
bagaimana cara terbaik membesarkan dan membimbing Alif kecil. Aku tak marah,
sebab untuk apa? Mungkin iya, bahwa trauma itu masih ada. Tapi seiring waktu
hatiku pasti akan semakin lapang dan terus melapangkan diri.
Kini hanya jalan dan
keridhaan-Mu yang aku harapkan. Tak lain dan tak bukan agar keberkahan itu
terus berlimpah. Cukupkan aku dengan setitik pengharapan, agar pundak ini
semakin kuat menjadi sandaran. Aku ingin menjadi seorang hamba terbaik
untuk-Mu, meski apa yang kulakukan tidak selalu nampak begitu. Aku ingin
menemui-Mu dalam kesucian dan wajah yang cerah. Dan terkadang, rasaku waktunya
akan segera tiba. Cintai aku ya Allaah, sebab hanya dengan itu aku dapat
menemui Engkau dalam kelapangan. Sebentar lagi. Sebentar lagi.
Comments
Post a Comment