"Kamu itu bagusnya hmmm..."
Dia kembali berpikir. Sangat dalam.
Siang itu, kami kembali berbincang. Tepat sehari setelah seminar tugas
akhir II-ku. Dia ingin ditemani makan siang, katanya. Ah, alasan! Bilang
saja kamu kangen ngobrol denganku, kataku dalam hati. Dia cerewet sekali,
membuka topik baru begitu sering, bertanya padaku tentang ini dan itu. Yah,
mungkin karena sudah beberapa waktu ini kami jarang bertemu. Dia sibuk dengan
timnya, aku sibuk dengan urusan akademikku. Begitulah, begitu banyak hal di
antara kami yang tidak kami saling ketahui kemudian.
Sejak lama nampaknya dia sudah tahu. Aku bersimpati padanya, begitupun dia,
kukira. Ini adalah sebuah hubungan yang sangat produktif bagiku. Seringnya kami
saling berjarak, bahkan tak mampu bertegur sapa meski lewat media sosial.
Namun, kami berkembang di dunia masing-masing. Dia menjadi seorang pemimpin
yang sangat tangguh, bahkan tak kusangka, kini dia mampu memberikan komando
dengan sangat baik dibandingkan 2 tahun lalu. Akupun begitu, meski tidak
gemilang sepertinya, aku merasa jauh lebih santai dalam menyikapi setiap
perkara, benar-benar mengambil sudut pandang yang baru. Berbeda dengan diriku dulu
yang cenderung tempramen dan sangat kekanakan. Aku yakin, dia juga tercengang
melihat perubahan yang sangat banyak pada caraku menyampaikan ide-ide serta
memaparkan semua yang telah kualami beberapa waktu ini.
Kadang ketika sendiri, aku memikirkannya. Betapa lucunya saat dia
benar-benar marah. Dia sering mengeluh tentang batapa cueknya aku, tak mampu
membedakan kapan orang lain serius atau bercanda, bahkan tak sadar saat
seseorang melimpahiku dengan perhatian yang begitu banyaknya. Memang, kami
sungguh jauh berbeda, dari karakter, hobi, bahkan visi. Namun, entah mengapa,
kami begitu nyaman berada di sisi satu sama lain. Dan mungkin akan selalu
begitu. Aamiin.
Comments
Post a Comment