"Sesungguhnya bukan tentang kepada siapa kebencian ini berlabuh, melainkan karena sebab dan akibat yang ditimbulkannya"
Kawan, masih ingatkah kau tentang rapuhnya iman jika disandingkan dengan sebuah hasrat? Bukan hasrat untuk senantiasa memperbaiki dan mendekatkan diri pada Ilahi, melainkan hasrat yang hanya berdasar pada kenyamanan dan buaian duniawi.
Kadang aku merasa terpuruk, enggan untuk beranjak. Tanda tanya masih saja berkelebat dan mengisi setiap ruang ingatan yang tersisa "Jerat, kapan kau melepaskanku? Aku sudah lelah menjadi seorang Hamba yang kian kufur dan melawan arus fitrah. Harus berapa kali ku titi jalanan baru yang terjal guna meraih maghfirah-Nya?"
Beberapa waktu kutahan amarah, tapi rasanya kini dinding pertahananku sudah terlanjur pecah. Wahai rumput liar yang tumbuh di ladang petani, aku sudah melarangmu keluar dari bawah tanah, sudah kujauhkan pula pupuk dan air yang senantiasa menyiangi dan menyirami tanaman di sekitarnya. Kini tinggal bagianmu, rumput liar, bisakah kau mengerti bahwa betapa tanah itu hanya membutuhkan sayur dan buah yang bisa mengenyangkan lagi memakmurkan?
Dunia, perbekalan harus ada. Hanya saja, aku tak tahu bagaimana cara mencari sumbernya, pun tak tahu bagaimana cara menguatkan pundak yang terlanjur malas bekerja. Bagaimana mungkin buah dan sayur itu bertumpuk saat rumput liar masih menjalari luasan tanah? Bagaimana mungkin pundak kokoh bertahan saat sedikit perbekalan itu bercampur dengan rumput yang justru menyakitkan badan?
Pak Petani, bisakah aku marah saja?
Atau setidaknya, berikan aku binatang ternak untuk memamah sang rumput liar.
O Allaah, perkuat pundakku, perkuat imanku, agar gejolak amarah sesegera mungkin menghilang.
O Allaah, izinkan kutanggung perbekalan ini seorang diri, untuk beberapa waktu saja...
Comments
Post a Comment