Sore itu kami termenung, duduk terpaku di atas anak tangga koridor timur Salman. Aku diam, dia yang sedari tadi duduk di depan menatapku tajam dan sesekali tangannya bergerak memelintir kerudungku yang kusut berantakan. Hati kecilku menduga bahwa dia mulai tak sabar.
"Jadi gimana?" tanyanya, lagi, setelah sekian lama pertanyaan itu hanya terlontar dan mengisi kekosongan ruang di antara kami.
"Kamu nyerah?" tegasnya.
Ah, tenggorokanku tercekat dan kedua mataku terasa panas. Aku yakin, sebentar lagi air asin itu akan keluar juga. Kuputuskan diam. lagi.
Dalam sekian detik air mukanya mulai berubah. Dan benar saja, tangisnya hadir mendahului jawabanku. Aku tak tahan, ingin sekali kucengkeram wajahku sendiri dan berteriak sekencang-kencangnya. Kekuatan yang sekian lama kupupuk, entah mengapa justru menghilang di saat seperti ini. Kawan, bukan saja kau sebagai pendengar, tapi begitu mengertinya dirimu akan kesedihan yang kini menderaku. Tapi apa dayaku?
Pilihan. Kata itu akan selalu ada, tak peduli betapa kaki telah jauh berlari dan jiwa bertolak mengingkari. Tapi tapi tapi... terkadang ia tak butuh keputusan, ia hanya butuh persetujuan. Aku sudah katakan bahwa hadirnya bukanlah di saat yang tepat, hanya saja Allah selalu tahu dan mengerti lebih baik. Kini penantianku hanya untuk satu hal, keputusan yang dipilihkan-Nya untukku.
Comments
Post a Comment