"Kamu ingat itu?" katanya sambil menunjuk ke arah sesuatu di belakangku. Kuputar bola mata mengikuti arah gerak telunjuknya, hingga sampailah perhatianku pada sebuah bangunan tua. Sebuah gedung bertingkat tiga dengan dinding masih berlapiskan semen dan pasir. Abu-abu. Belum jadi.
Aku mencoba menerka. Memoriku mencoba mengingat kembali. Sayang, hasilnya nihil. Kugelengkan kepala untuknya. Dia, si pemandu, hanya mendesah pelan.
Sore itu, kami berjalan menelusuri sebuah jalanan yang terasa asing bagiku. Aku lebih banyak diam, di dalam kepalaku ada banyak hal yang terasa masih mengganjal dan butuh perhatian. Sedangkan dia, sahabatku yang mengusulkan perjalanan ini, tengah asik menggandrungi setiap momen dan 'artefak' masa lalu yang entah mengapa tidak bisa kuingat meski hanya satu.
"Sih, kamu mikirin apa sih?" dia mulai protes. Aku balas tersenyum, berharap dia tidak marah.
"Kamu dari tadi diam, entah dengerin aku ngomong atau enggak. Kamu tahu enggak kebiasaan buruk kamu itu apa? Kamu selalu kebanyakan mikirin orang, bahkan sampai hal2 terkecil!"
Dia mendengus, terang sekali kekesalannya karena tak mendapat balasan serius dariku. Aku balas tersenyum. Lagi. Sahabatku, andaikan aku bisa meyakinkanmu bahwa hal tersebut bukanlah kebiasaan yang buruk, mungkin itu akan terasa lebih baik bagiku.
Kami melanjutkan perjalanan. Sesekali bersenandung ria menghibur hati kami yang sore itu sama2 terasa kalut. Angin sepoi menggelitik wajahku lalu menerbangkan kerudungku membentuk sayap layu. Ah, indahnya sebuah sore di taman ilalang.
Aku mulai memperhatikan sahabatku, wajahnya teduh menatap bebatuan yang kami lewati selama perjalanan. Aku tahu, dia juga memikirkan hal yang sama. Hanya saja cara kami memperlakukan 'ujian' ini begitu berbeda, dia masih santai seperti biasa sedang wajahku selalu memancarkan lapis2 kekalutan.
"Sih, waktu kita semakin terbatas. Setelah ini (masa perkuliahan: red) kita akan menjalani hidup masing2, aku dengan mimpiku dan kamu dengan mimpi S2-mu itu"
Sejenak kami berhenti. Dia masih menunduk, entah apa yang membuatnya begitu semelankolis ini.
"Ada apa?" Akhirnya kutanyakan juga.
"Kamu yakin kan kalo Allah itu Maha Pembolak-balik Hati?"
Aku tersenyum.
"Aku tahu usahamu sudah berjalan selama 6 tahun, setahun ini adalah kesempatan terakhirmu. Mungkin aku tidak bisa banyak membantu, tapi aku selalu berdoa semoga Allah memudahkan segala urusan dan mimpi2mu itu. Sih, pertimbangkan kata2ku tadi, mungkin Allah menghendaki kamu meraih keduanya" nasihatnya. Ini nasihat terpanjang yang pernah aku dengar darinya sejak 3 tahun lamanya kami saling berbagi.
Kini dia yang tersenyum. Senyuman tulus dari seorang sahabat yang begitu peduli.
"Kamu tahu enggak? Dengan kamu bilang gitu, aku jadi minder. Kamu jauh lebih dewasa dariku"
Tetiba kami tertawa keras. Entah apa yang kami tertawakan. Namun jelasnya, aku begitu bahagia berada di sekitar orang2 yang dekat dengan-Nya :')
Terimakasih sahabatku, terimakasih telah memberi sangat banyak.
Comments
Post a Comment