Saya teringat seorang kawan. Kami sering menghabiskan waktu berdua, sekadar bersender di punggung masing-masing sambil membaca, atau berceloteh mengenai sejarah para Sahabat di masa kejayaan Islam dahulu. Pernah pada suatu hari, saya bertanya dengan santai padanya, "Aku tahu nilai akademikmu tinggi, kenapa kamu tidak berusaha meniti karir yang bagus di luar Bandung?".
Dia, yang tak perlu saya sebutkan namanya, memang sering membuat saya merasa heran. Dia ini tak pernah neko-neko soal pekerjaan. Saya sering melihatnya hilir mudik di tempat kerja, begitupun di waktu libur masih dia habiskan untuk bekerja, padahal upah yang dia dapat sangat jauh dari kata layak menurut saya. Bahkan belakangan saya tahu, beberapa kali dia mengeluarkan uang dari dompet pribadi untuk membeli perlengkapan kerja yang terkadang tidak disediakan di kantornya. Pada saat itu, saya merasa bahwa saya berkewajiban menumbuhkan mimpi dalam dirinya. Dia punya potensi besar, maka dia harus mencari lingkungan besar yang juga bisa memberikan upah besar padanya.
Namun, Allah punya kehendak lain. Dengan rasa ringan dia menjawab, "Untuk apa? Aku bahagia di sini, menjadi pelayan ummat". Ah, sesak dada saya! Hari itu, bukan saya yang berhasil 'menyadarkan' dia, justru dia yang membuat kedua mata saya terbuka lebar.
Dia, yang tak perlu saya sebutkan namanya, memang sering membuat saya merasa heran. Dia ini tak pernah neko-neko soal pekerjaan. Saya sering melihatnya hilir mudik di tempat kerja, begitupun di waktu libur masih dia habiskan untuk bekerja, padahal upah yang dia dapat sangat jauh dari kata layak menurut saya. Bahkan belakangan saya tahu, beberapa kali dia mengeluarkan uang dari dompet pribadi untuk membeli perlengkapan kerja yang terkadang tidak disediakan di kantornya. Pada saat itu, saya merasa bahwa saya berkewajiban menumbuhkan mimpi dalam dirinya. Dia punya potensi besar, maka dia harus mencari lingkungan besar yang juga bisa memberikan upah besar padanya.
Namun, Allah punya kehendak lain. Dengan rasa ringan dia menjawab, "Untuk apa? Aku bahagia di sini, menjadi pelayan ummat". Ah, sesak dada saya! Hari itu, bukan saya yang berhasil 'menyadarkan' dia, justru dia yang membuat kedua mata saya terbuka lebar.
Comments
Post a Comment